Petugas mengitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11/2019). Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak dari Januari hingga Oktober 2019 hanya tumbuh 0,23 persen. | Aprilio Akbar/Antara

Kabar Utama

RI Dorong Kesepakatan Pajak Digital 

 

 

JAKARTA -- Pemerintah Indonesia terus mendorong negara-negara G-20 untuk mencapai kesepakatan mengenai pajak digital. Konsensus global dibutuhkan karena menarik pajak dari perusahaan teknologi digital tak bisa dilakukan satu pihak. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, ada banyak pandangan yang disampaikan dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara G-20 di Riyadh, Arab Saudi, akhir pekan kemarin. Tidak terkecuali dari Amerika Serikat (AS) yang menjadi pusat keberadaan perusahaan teknologi digital maupun negara lain sebagai konsumen transaksi digital. 

Sri mengatakan, pemerintah berharap konsensus global terkait prinsip pemajakan transaksi digital bisa tercapai sebelum akhir 2020. "Sehingga ini menciptakan kepastian, keadilan, dan juga transparansi perpajakan," kata Sri di gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (24/2). 

Sri menjelaskan,Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (Organizations for Economic Cooperation and Development/OECD) sudah menyampaikan perkembangan prinsip-prinsip pemajakan yang berpotensi dilakukan. Salah satunya, tidak lagi menjadikan bentuk usaha tetap (BUT) sebagai tolok ukur untuk menarik pajak. 

 
Artinya, Sri mengatakan, suatu negara dapat menarik pajak terhadap perusahaan digital yang mendapatkan penerimaan di negara mereka meskipun keberadaan fisiknya tidak ada. Pendekatan ini dikenal dengan significant economic presence
   

Sri menuturkan, kebijakan tersebut diambil dengan dasar perusahaan digital tidak lagi harus memiliki kantor fisik di suatu negara. "Ini dicarikan berbagai upayanya," ucap mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut. 

Meski sudah mengarah pada konsep significant economic presence, negara-negara G-20 masih harus membuat kebijakan yang lebih detail, khususnya mengenai pembagian profit antara negara asal dan negara penerima. Menurut Sri, ada sedikitnya tiga proposal yang disampaikan OECD dalam pertemuan G-20 kemarin. "Rencananya, dalam pertemuan G-20 Juli nanti akan dilaporkan kesepakatan yang diharapkan bisa terjadi," kata Sri. 

Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) John Hutagaol menjelaskan, pertemuan G-20 pada prinsipnya menerima hasil kemajuan pembahasan yang telah dicapai pada akhir Januari di OECD Paris.

Langkah selanjutnya adalah melakukan pembahasan lebih teknis dan operasional. "Pembahasan akan mengikutsertakan para stakeholders, seperti akademisi maupun kalangan dunia usaha," kata John ketika dihubungi Republika, Senin (24/2). 

John menuturkan, pembahasan tersebut dilakukan agar pemungutan pajak dilakukan secara adil, transparan, dan sederhana oleh semua negara terlibat. Selain itu, pemungutan dapat dijalankan secara efektif dan efisien, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa. 

Siapkan regulasi

Partner Tax Research & Training Services Danny Darussalam Tax Centre (DDTC) Bawono Kristiaji menuturkan, sebagai salah satu negara anggota G-20, Indonesia memang menjadi salah satu anggota yang aktif berpartisipasi dalam mencapai konsensus global. 

Namun, Pemerintah Indonesia perlu tetap bersiap seandainya konsensus belum tercapai atau belum bisa diimplementasikan. "Dalam hal ini, salah satunya sudah terlihat dari ketentuan mengenai //significant economic presence// dalam //omnibus law//," kata Bawono kepada //Republika//. 

Intinya, Bawono menekankan, pemerintah perlu mengikuti konsensus global bersama-sama, tetapi  tetap memiliki instrumen unilateral selama konsensus tersebut belum tercapai. Jika pemajakan ekonomi raksasa digital sudah efektif melalui konsensus, Bawono yakin kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan negara. 

Di sisi lain, langkah ini dapat menciptakan kepastian perlakuan pajak. "Kesetaraan //level of playing field// dengan pelaku ekonomi digital domestik juga tercapai," ujar Bawono. 

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Media Wahyudi, menganjurkan pemerintah untuk berfokus membuat regulasi dasar mengenai pajak transaksi digital. Aturan ini dapat dirancang sembari menunggu konsensus global yang masih bergulir.

Dia mengatakan, pajak digital bisa diatur dalam omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan. Upaya lainnya menyiapkan aturan-aturan serta sistem tertentu dengan tujuan memaksa perusahaan digital over the top (OTT) untuk melaporkan proyeksi, perkembangan bisnis, serta profit yang mereka dapatkan. "Jadi, kita wait and see, namun sambil bergerak," kata dia. 

 
Seperti diketahui, omnibus law perpajakan akan mematangkan definisi badan usaha tetap (BUT) berdasarkan significant economic presence. Artinya, perusahaan digital yang mengambil keuntungan dari pasar Indonesia dapat dikenakan pajak. 
   

Selama ini, Indonesia masih memperlakukan BUT berdasarkan physical presence. Hanya perusahaan digital yang memiliki bentuk fisik perusahaan atau anak perusahaan yang akan dikenakan pajak. 

Media menekankan, hal yang dibutuhkan adalah sistem regulasi perpajakan secara tepat, jelas, dan terukur. "Selain itu, mengurangi peraturan abu-abu yang justru dapat mematikan industri ekonomi digital Indonesia," katanya. 

Kebijakan pajak transaksi digital diyakini akan menimbulkan ragam reaksi dari investor. Namun, ia menekankan, pemerintah tetap harus percaya diri karena Indonesia merupakan salah satu pasar transaksi digital terbesar di dunia. "Potensi pasar tersebut sangat besar sehingga penerapan pajak digital tidak akan serta-merta merugikan pelaku usaha e-commerce di Indonesia," ujar Media. 

Kebijakan pajak digital harus menjadi prioritas pemerintah. Sebab, Media menjelaskan, ekspansi teknologi dalam ekonomi Indonesia jauh lebih cepat daripada perkembangan regulasi perpajakan di Indonesia. 

Apalagi, teknologi pada masa depan akan semakin memiliki dampak signifikan dalam perekonomian dunia. Dengan kata lain, cepat atau lambat, negara-negara di dunia pasti akan menyesuaikan aturan perpajakan di yurisdiksi masing-masing, terlepas dari ada atau tidaknya kesepakatan dalam organisasi G-20. 

Indef bersama Laboratorium Data Persada dengan dukungan Google telah melakukan riset mengenai ekonomi digital RI. Dalam riset tersebut disebutkan bahwa nilai ekonomi digital Indonesia akan naik dua kali lipat menjadi Rp 1.447 triliun dalam lima tahun mendatang. Pertumbuhan yang dicapai melalui digitalisasi ekonomi tersebut mampu meningkatkan daya saing Indonesia dan mempersempit kesenjangan antarwilayah, gender, dan antarsektor ekonomi. 

Ekonomi digital berkontribusi sebesar Rp 814 triliun atau 5,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) di tahun 2018. Ekonomi digital juga membuka setidaknya 5,7 juta lapangan kerja baru atau 4,5 persen dari total keseluruhan tenaga kerja. 

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan pernah menyatakan, estimasi total konsumsi jasa dan barang tak berwujud dari luar negeri melalui wadah digital di Indonesia mencapai Rp 93 triliun. Data tersebut berasal dari transaksi sepanjang 2018.

Sementara, berdasarkan studi dari Temasek dan Google, konsumsi jasa dan barang tak berwujud di Indonesia diperkirakan melonjak mencapai Rp 277 triliun pada 2025. Potensi pajak pertambahan nilai (PPN) dari transaksi tersebut diperkirakan mencapai Rp 27 triliun. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat