
Kisah Dalam Negeri
Kisah Peneror Pinjol di Ujung Ponsel
Gadis-gadis daerah kerap direkrut jadi peneror pinjaman daring.
Oleh INTAN PRATIWI
Jeratan pinjaman online ilegal tidak hanya mengimpit para debitur. Kisah pilu dan perhitungan upah yang tidak rasional membelit para penagih pinjaman online ilegal. Sistem kerja yang tidak masuk akal seperti tidak mengoperasikan ponsel pribadi di ruang kerja, ruangan kedap suara, bahkan jam kerja yang tidak diprediksi berkelindan menjejal para penagih pinjaman online ilegal.
Lidia mengepak pakaiannya ke dalam tas. Tawaran bekerja di Jakarta bagi anak gadis yang hanya tamat SMA mungkin hal yang biasa saja. Namun, bagi Lidia yang besar di pesisir pantai utara dan berjarak 229 kilometer dari Ibu Kota, mendapatkan tawaran mengubah nasib di Jakarta adalah pilihan yang menarik. Apalagi, dibandingkan harus mengulang lagi tragedi kawin paksa hanya untuk melunasi utang orang tua sama rentenir desa. Dua hari seusai ujian nasional SMA, Lidia terpaksa harus menikah dan menjadi istri ketiga dari rentenir di desanya, wilayah Totoran, Indramayu.
“Urang mau kabur Teh, tapi bagaimana? Urang kasian sama Abah,” kata Lidia, beberapa waktu lalu.
Lidia bercerita, ia hanya mampu bertahan enam bulan menjadi istri yang dimadu. Ia memutuskan kabur dari Indramayu saat kawannya, Ardi, mengajaknya ke Jakarta. “Kang Ardi bilang, ada kerjaan jadi call centre. Urang sama Indah sama Rizki jalan bareng Kang Ardi buat kerja,” kata Lidia.
Pada 2019 lalu, Lidia memeluk erat ibunya dan abahnya. Rentenir geram karena Lidia tak mampu menjadi istri. Abah Lidia dihardik tanpa ampun. Utang kembali digulung, ditambah dengan biaya pernikahan yang katanya tetap harus diganti karena gagalnya Lidia menjadi istri si rentenir.

“Urang bade bayar weh utang ini. 15 juta. Pas, Kang Ardi nawarin kerjaan. Apa we lah, penting urang dapet duit, Teh. Buat bayarin utang Abah,” tekad Lidia bulat. Meski ia tak tahu kerja apa yang akan dia lakoni di Jakarta. Tekad dia hanya satu, dia ingin membebaskan abahnya dari jeratan rentenir desa. Ia berjanji.
Perjalanan ke Jakarta ia tempuh dari satu bis ke bis lain bersama empat kawannya. Turun di Terminal Kampung Rambutan, lantas Lidia bertemu dengan bos. Bos yang Lidia maksud adalah kepala tim dari call centre yang dimaksud oleh Ardi. Namanya Frans, perawakannya tambun, rambutnya botak dan punya banyak tato. Lidia sempat gentar, ia takut kalau ia dijual sama Ardi ke Frans. Dia sempat ingin kabur, apalagi banyak cerita di kampung yang jadi TKI dan hidup sengsara di luar negeri.
“Tapi Kak Frans baik sih. Cuman tampilannya saja gahar banget.”
Frans seperti bisa membaca ketakutan Lidia dan dua rekan lainnya. Rizki, kata Lidia, yang meyakinkan Lidia dan Indah untuk tetap bersama saling membantu dan melindungi. “Sing penting duit,” ujar Rizki kala itu ke Lidia. Frans pun membawa mereka dengan mobil Avanza ke kawasan Duta Merlin.
“Sudah nggak zaman lagi jual-jual orang jadi TKI. Lagian nggak lah, gue nggak kayak begitu. Gue ada kerjaan yang jauh lebih bagus buat kalian. Halal kok,” ujar Frans.

Lidia pun lega. Tekad dia hanya satu. Bisa segera kerja supaya dapat uang buat bayar utang Abah.
Bukan hal yang mudah untuk mengajak Lidia bicara. Saya butuh waktu sekitar sebulan untuk meyakinkan Lidia bahwa dengan bercerita soal profesinya sebagai penagih pinjaman online bisa menjadi salah satu penyelamat bagi masyarakat untuk tidak terjerat pinjaman online ilegal. Lidia sempat ragu. Takut dirinya akan menjadi incaran bos bosnya karena membongkar cerita di balik pinjaman online.
Setahun ia bekerja menjadi penagih pun, ia tidak diberikan edukasi apakah itu pinjaman online. Apalagi, membedakan pinjaman online ilegal dan legal. Lidia bahkan tak tahu di negara ini ada lembaga bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Naon OJK, Teh? Nggak peduli urang,” ujar Lidia sambil tertawa.
Masih lekat di ingatan Lidia, ia menuju sebuah deretan pertokoan di kawasan Duta Merlin di Jakarta Pusat. Ruko ruko berjajar. Usang. Dia dibawa oleh Frans menuju tengah kawasan pertokoan. Tepat di depannya adalah kawasan perbelanjaan terkenal di Duta Merlin. Dua lot ruko itulah Lidia dan dua temannya berkantor.
Tak ada banner ataupun plakat yang menandakan nama kantor. Masuk ke dalam pintu, hanya ada satu meja panjang. Belakang meja tersedia dua kursi dan sekat dari triplek bertuliskan "Metin Bas Fund" berwarna merah. Tak ada simbol tertentu di sana.

Dibalik sekat tripleks berjajar loker-loker. Dua loker berwarna hijau, satu loker berwarna abu abu. Frans menunjukkan di mana loker Lidia, Indah dan Rizki. Loker 43 milik Lidia. Lidia tak diberi kunci. Kunci baru bisa diambil dan dikembalikan ke meja panjang di depan.
“Itu tempat buat nyimpen HP, tas. Semua. Jadi, kita di dalam disuruh matiin lokasi HP dan matiin HP-nya. HP kita semua dimasukin ke loker itu, sebelum ke atas,” ujar Lidia.
Naik ke lantai dua, sekat-sekat kini tak lagi terbuat dari tripleks. Tapi, terbuat dari kaca setengah badan. Ada beberapa kubikel di lantai dua. Sepi. Tak ada orang. “Mungkin pada libur. Hari Sabtu inget banget urang ke DM (sebutan Duta Merlin yang kerap dipakai oleh teman temannya),” kata Lidia mengingat kembali momen itu.
a digiring oleh Frans bertemu dengan ‘Pimpinan’. Pimpinan yang Lidia maksud adalah kepala tempat ia bekerja. Seorang perempuan paruh baya, gempal, rambut digulung ke atas menggunakan jepit. Memakai kaus longgar dan celana pendek.
“Ci Hansen namanya. Ada Kak Tesra yang nemenin. Ci Hansen nggak bisa bahasa Indonesia. Kak Tesra yang lebih sering tanya dan nyampaiin apa yang Ci Hansen bilang,” ujar Lidia.

Lidia bercerita, Hansen hanya bisa ngerti kata kata seperti “bodoh”, “anjing” dan “bangsat”. Hansen, kata Lidia, juga lebih sering menggunakan kata kata “you” dan “ai” ketika berbicara untuk menandakan aku dan kamu.
Tesra, kata Lidia, menyapanya ramah. Seperti tahu apa yang ada di benak Lidia dan dua temannya, seperti Frans, Tesra meyakinkan mereka bertiga bahwa pekerjaan yang akan dikerjakan bukan jual beli orang. Tesra, kata Lidia langsung menjelaskan jobdesk Lidia. Tesra hanya memastikan mereka bisa mengoperasikan komputer. Lidia mengingat ingat cara mengoperasikan komputer saat diajari di sekolahnya saat itu.
“Bisa, Teh,” kata Lidia ke Tesra.
Tesra kemudian menyalakan komputer. Tak seperti bayangan Lidia, komputer itu hanya berisi tiga icon. Whatsapp Desktop, Icon Bar ‘Composate Ltd’ dan Icon berlogo gagang telepon. Tesra memberikan headset dan microphone kepada mereka.
“Kamu nanti kerjanya nelfon-nelfonin orang. Nagih orang orang yang punya utang,” ujar Tesra singkat sembari mengajarkan kepada Lidia dan dua temannya cara mengoperasikan komputer tersebut.
Lidia kemudian membuka Composate Ltd. Icon tersebut merupakan fitur database dan di dalamnya ada jadwal kerja dan list data yang harus dikerjakan Lidia dalam satu hari. Muncul tampilan layar ada ratusan nama nama. Dari setiap nama yang ada ketika diklik munculah semua informasi. Baik itu data KTP, nomor telepon, alamat dan foto si pemilik nama. Ada bar yang menunjukkan phonebook, riwayat panggilan, dan transaksi harian.
Dalam Compasate Ltd tersebut, ada menu panggilan dengan logo icon bar gagang telepon dan pilihan kirim pesan.
“Nah, nanti ada folder harian. Ini kalau goal. Kamu tarik namanya ke folder goal. Kalau masih pada janji-janji, kamu masukkin folder eksekusi,” kata Tesra menjelaskan kepada Lidia. Hari itu Lidia disuruh segera mencari kos di sekitar Duta Merlin. Karena ia tak membawa banyak uang ke Ibu Kota. Ia memutuskan ngekos di sebuah kamar kos seharga Rp 400.000 berdua dengan Indah dan Rizki. Kamar kos seluas 4x6 meter itu ia jejali bersama dua temannya selama dua bulan pertama.
Senin, Lidia diperintahkan datang pagi pagi sekali ke kantor oleh Tesra. Hari itu, dia tak langsung bekerja. Berbanding terbalik pada Sabtu kemarin. Senin itu, semua karyawan yang masuk ke kantor wajib mematikan lokasi handphone-nya dan mematikan HP-nya. Kondisi HP mati tersebut ditujukan kepada penjaga di meja panjang di muka kantor barulah diberikan kunci loker. Setelah menaruh ponsel dan tas, kunci loker wajib dikembalikan ke petugas meja panjang.

Semua karyawan naik ke lantai tiga. Satu ruangan yang berisi puluhan komputer berjajar. Tembok penuh ditempel busa peredam suara. Warnanya abu-abu. Tak ada kaca. Semuanya tertutup rapat. Hanya ada tiga buah AC, satu dispenser. Pagi, riuh ramai lantai tiga terasa sekali.
Karyawan yang lebih dulu senior, mengajak Lidia duduk di sebelahnya. Lidia hari itu hanya disuruh memperhatikan cara kerja mereka. Pagi pagi, tak jarang, kata Lidia, kata-kata makian sudah memenuhi semua ruangan. Bentakan. Amarah. Hardik. Binatang. Pelacur. Maling adalah kata kata yang kerap keluar di ruangan lantai 3 itu.
Lidia gemetar. Ia teringat momen momen saat orang tuanya dihardik si rentenir, mantan suaminya. Air mata menetes di pipi Lidia. “Jangan nangis. Lo harus kuat mental kalau mau hidup di Jakarta. Kerjaan kita gini. Sudah lo kuat kuatin saja,” kalimat itu yang telontar dari mulut si senior.
“Kalau diinget-inget pas mau nagih gak tega Teh. Saya kalau abis nagih-nagih orang saya kata-katain itu jadi inget Abah. Jadi inget si muka rentenir itu,” ujar Lidia.

Sehari Lidia harus bisa sampai target. Gak cuma orangnya, tapi jumlahnya. “Sehari itu, di folder task saya harus neleponin dan Whatsapp-in 30 orang. Targetnya, dari 30 orang itu dalam satu hari paling nggak harus ada 10 orang yang bayar utangnya. Kalau gak bisa capai target 10 orang bayar lunas. Artinya, saya harus bisa dapat katakanlah 20 orang yang masukin duit ke kantor minimal Rp 1.000.000.”
Lidia tidak diberi tahu oleh Tesra maupun Hansen berapa jam kerja. Pokoknya, yang Hansen mau tahu hari itu Lidia harus bisa membuat 20 orang menyetor masing-masing satu juta atau 10 orang membayar lunas utangnya.
“Jadi, kadang strateginya, saya cari orang yang pinjamannya di bawah dua juta. Saya kejar saja mereka supaya bisa bayar secepatnya. Supaya saya bisa cepat selesai,” kata Lidia.
Tak hanya orang. Lidia harus betul-betul memperhatikan si orang yang dia tagih ini meminjam di aplikasi yang mana. Karena, kata Lidia, kantornya ini memberikan pinjaman ke orang dari 28 lebih nama aplikasi.
“Lidia kan suka keder ya. Makanya, Lidia template saja. Cari yang minjem PinjamanHits, Uang Express, BankOrangUtan sama DanaSegar,” kata Lidia.

Lidia mengatakan, dalam satu nasabah yang mengirimkan uang ke kantornya, Lidia mendapatkan bayaran Rp 85.000. Namun, sial. Kata Lidia, jika ada 20 nama yang dia pilih dan dimasukan ke folder kerjanya hari itu tidak ada yang membayar utangnya, Lidia di denda Rp 50.000 per orang. Jika sedang tidak beruntung, artinya, Lidia harus membayar Rp 1.000.000. Nominal tersebut memang tidak dibayarkan oleh Lidia hari itu. Tapi, itu masuk dalam sistem yang nantinya akan menghitung nominal berapa yang akan dibayarkan kepada Lidia pada dua pekan mendatang.
“Gajiannya setiap dua minggu sekali tergantung nanti bagaimana itu di hasil rekapan,” ujar Lidia. Namun, jika hari itu ia berhasil mencapai target, Lidia mengatakan, ia bisa mendapatkan bonus kerja Rp 2.500.000.
“Ya namanya orang ya. Kadang ada untungnya kadang lagi apes saja. Males urang Teh ngitungnya. Biasanya setiap dua minggu Lidia bisa dapat Rp 2 juta. Kadang-kadang pernah Rp 5 juta pas lagi hoki mah,” kata Lidia.
Pada 2020, saat pandemi melanda, Hansen sempat naik ke lantai 3. Di lantai 3, Lidia dan 32 orang penagih lainnya bekerja. November 2020, Hansen bilang kalau upah mereka naik menjadi Rp 100.000 per orang. Tentu saja Hansen tak bicara sendiri, apa yang dibilang Hansen, diterjemahkan langsung oleh Tesra. “Semangat ya kerjanya,” teriak Tesra sambil menepuk tangannya.
Lidia merasa senang. Tapi ternyata, saat pandemi melanda menagih orang tidak semudah itu. Jangankan menyuruh 10 orang untuk membayar utang. Hari itu ada yang satu orang yang membayar utangnya saja menurut Lidia adalah anugerah. Paling tidak, ia tidak harus berutang sama kantor.

“Pernah Lidia itu nggak dapat orang sama sekali satu hari. Akhirnya pernah satu bulan itu Lidia gak gajian. Karena memang ya udah minus saja begitu di laporan harian Lidia,” ujar Lidia.
Para pekerja seperti Lidia juga bahkan tidak diperbolehkan bekerja dari rumah. “Karena nggak ada komputernya itu. Semuanya itu di situ,” ujar Lidia. “Banyak teman Lidia yang disuruh berhenti kerja. Soalnya waktu itu juga banyak yang kena Covid,” katanya.
Pertobatan
Kala itu, malam hari Lidia membulatkan tekad untuk bertemu dengan saya di sebuah warung kopi di wilayah Kedoya, Jakarta Barat. Lidia tampak resah. Kerap tengok kanan kiri. Atau menebar pandangannya ke sekeliling warung kopi. Perawakannya yang kecil, hidung mancung, jilbab cokelat melingkar di kepalanya dan wajah yang polos tak mengisyaratkan bahwa sosok seperti Lidialah yang kerap membentak dan berkata kata kasar ke debitur pinjaman online.
Tidak mudah bagi saya mendapatkan nomor telepon pribadi Lidia. Lidia pun mengatakan ia tidak bisa menjelaskan secara detail ke saya, awalnya. Ia selalu berganti ganti nomor telepon ketika menghubungi saya lewat Whatsapp.
“P” pesan pembuka itu yang biasanya mendarat di ponsel saya, yang menandakan itu Lidia. Saya memang tidak bisa menghubungi dia. Pesan terakhir saya waktu itu hanya meyakinkan dia untuk bertemu dengan saya untuk ngobrol. Saya bilang, Lidia bisa menghubungi saya kapan saja ke saya dengan nomor ponsel pribadinya jika tidak sedang di dalam kantor.
Lidia tidak bisa langsung merespons ajakan saya untuk cerita kala itu melalui pesan singkat saat menagih utang. Lidia hanya membalas. “Jangan banyak mulut.”
Namun, tak lama, nomor asing mengirimkan pesan singkat ke saya. “Teh, ini urang, Jennie Uang Ekspress yang kemarin,” tulis Lidia menyebutkan nama samarannya di pekerjaan. “Teteh wartawan ya? Urang mau cerita, Teh,” katanya. Bergegas saya telpon nomor itu dan suara yang saya kenal ada di ujung sana. Saya meyakinkan Lidia bahwa saya tidak akan membahayakan dirinya. Apa yang mau dia ceritakan ke saya, saya akan mendengarkannya. Ia tak begitu tahu apa itu tulisan berita dan seperti apa pekerjaan wartawan.
“Teh, urang nggak mau dipidio ya,” kata Lidia. Lidia hanya tahu wartawan adalah pekerjaan yang mengejar artis artis seperti infotainment yang ia kerap lihat di televisi.
Kami sempat janjian sepekan sebelum pertemuan saya. Ia mengatakan pukul 20.00 akan menghampiri saya. Dua kali janjian pertemuan Lidia gagal menghampiri saya. Tapi, ternyata dia bukan tidak menghampiri. Ia bertandang di lokasi kami janjian. Hanya saja dia tidak menghampiri saya.

“Lidia takut Teteh intel apa polisi. Lidia takut kalau Teteh temannya Kak Frans,” ujar Lidia kepada saya, ternyata dua kali janji pertemuan sebelumnya Lidia hanya melihat saya dari kejauhan dan memastikan apakah saya orang yang aman atau tidak untuk dia.
Di pertengahan mengobrol, Lidia menyempatkan shalat. “Mau minta ampun ka Gusti,” disempili tertawa kecil Lidia.
Lidia menyebutkan hari harinya sepanjang dua tahun lebih ini terasa gelap. Pagi pagi, ia bahkan harus memasang wajah garang dan mengumpulkan amarah. Saat tahun lalu target dipasang lebih tinggi oleh si Hansen, Lidia sempat ambruk. Jatuh sakit. Tapi, dokter tidak bisa mendeteksi secara jelas apa penyakit Lidia. Lidia hanya mengeluh kerap merasa sakit kepala bukan main. Tak jarang, sepulang kerja Lidia selalu muntah muntah. Ia pikir asam lambung, tapi perutnya baik-baik saja kata dokter. Sakit kepala seperti dipukul palu, kata dokter dampak dari stres. Lidia kerap tidak bisa tidur pulas.
“Apalagi kan katanya di berita berita itu Teh banyak yang bunuh diri ya gara-gara pinjol. Lidia kepikiran, Teh. Nggak kuat kadang. Mau berhenti saja. Tapi, utang Abah Teh masih weh ada. Amit-amit jabang bayi kalau urang kudu balik ka imah jadi wadonan si rentenir,” Lidia bergidik.
“Heh! Utang itu harus dibayar. Dasar pel*cur lo ya. Kalau gak bisa bayar utang jual diri saja lo. Jual saja ginjal lo. Dasar Bego,” kata kata itu menjadi ucapan sehari hari yang Lidia keluarkan dari mulutnya untuk menghardik jika yang utang adalah seorang perempuan. Tak peduli masih muda ataupun sudah paruh baya. Lidia mengaku yang banyak utang memang biasanya ibu-ibu.

Lidia hanya memberikan waktu 15 menit bagi si debitur untuk melunasi utangnya. Sembari menunggu bukti bayar, Lidia kerap membuat tulisan tulisan kasar. “Sudah ada templatenya itu poster. Tinggal masukin foto si orangnya, terus tulis weh apa yang ada di kepala. Maling lah, pembawa kabur uang perusahaan lah. Pokoknya itu poster sudah siap kirim,” kata Lidia.
“Dasar Bandit! Bayar utang lo segera dasar Maling. Segera bayarkan utang Anda kalau tidak saya akan sebar foto Anda ke seluruh kontak Anda,” tulis Lidia melalui fitur pesan Whatsapp yang ada di dashbord Composate Ltd miliknya.
Lidia mengaku, dalam laman buku telepon sudah tersedia semua nomor kontak yang ada di ponsel si debitur. “Ada yang ratusan. Ada yang ribuan. Tinggal Lidia pilih weh, formatnya sudah lidia bikin pakai poster. Kirim foto KTP sama foto selfie-nya orang itu. Tinggal klik nomor mana yang mau Lidia kirim. Nanti otomatis komputer yang ngirim,” kata Lidia.
Tak hanya membombardir melalui Whatsapp, Lidia juga selalu membanjiri ponsel si debitur dengan panggilan telepon. “Sehari 15 kali nelfon ke satu nomor. Pokoknya apa saja Lidia lakuin biar nyampe target hari itu,” ujar dia.
Lidia mengaku banyak menghadapi berbagai jenis nasabah. Dari ibu rumah tangga, pengemudi ojek online, mahasiswa bahkan karyawan swasta yang kata Lidia alamat kantornya berada di kawasan elite SCBD. Tingkat pendidikan para debitur juga bahkan beragam, dari tingkat SD hingga S-2. Dari yang foto selfie-nya buram sampai yang jernih seperti jepretan ponsel pintar harga mahal. Semua profil debitur diketahui oleh Lidia. Baik dari jenis penamaan nomor kontak relasinya maupun jenis transaksi.

“Ada tulisannya di dashboard urang. Jadi, kita teh tahu ini orang punya duit apa enggak di ATM yang didaftarin ke aplikasi kita,” ujar Lidia.
Namun, kata Lidia, aplikasi yang ada di komputer Lidia hanya menyediakan informasi transaksi perbankan nasabah. Lidia tidak bisa melakukan penarikan ataupun transfer. “Jadi, Lidia juga juga bisa lihat, ini misalnya dia sudah punya duit. Tapi dia bilang nggak punya duit. Langsung Lidia teror saja. Lidia sebar ke kontak. Soalnya, cara itu yang biasanya paling ampuh,” kata Lidia.
Lidia mengaku tak sampai hati jika harus mengedit wajah debitur dengan foto-foto porno. Kata Lidia, cara itu biasanya kerap dilakukan oleh penagih pria dalam tim Lidia. Lidia juga mengatakan tak jarang para penagih pria mengirimkan pesan suara mendesah atau tawaran untuk melakukan seks.
Lidia mengaku kadang jengah dengan ini semua. Rasanya, ia ingin menyudahi pekerjaannya sebagai penagih utang. Terlebih, banyaknya grebekan yang menyasar kantor pinjaman online ilegal. Kantor Lidia sempat menghentikan operasional kerja selama satu bulan. Lidia sadar betul bahwa ia bekerja di bawah perusahaan yang tidak jelas juntrungannya.
Jangankan jaminan keamanan kerja, BPJS pun tidak ada. Lidia juga baru sadar bahwa 28 nama aplikasi pinjaman online yang kantornya naungi adalah ilegal atau tak mendapatkan izin resmi dari pemerintah.
“Kayaknya mah tinggal tunggu giliran saja. Belum apes saja kayaknya. Soalnya Lidia percaya karma. Banyak orang yang susah yang Lidia maki-maki. Lidia juga takut kalau Lidia kena tulah. Tapi, Lidia harus bisa bantu Abah di rumah. Bismillah ya Teh. Kalau ada kerjaan lain, Lidia mau banget,” kata Lidia.
Lidia menyeruput minumannya. Satu mangkuk mi instan tandas ia lahap. Satu gelas es cokelat habis. Lidia berpamit pulang. Ia enggan memberi tahu di mana letak ia tinggal sekarang. Lidia hanya melambaikan tangannya dan mengucapkan terima kasih. “Lidia lega, Teh. Semoga Gusti ngampunin sagala dosa-dosa urang,” kata Lidia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
OJK Selidiki Kasus Dugaan Teror Pinjol Berujung Maut
AdaKami menyatakan siap mengikuti penyelidikan yang tengah dilakukan.
SELENGKAPNYATerjerat Pinjol demi Hedon
Sekitar 60 persen pengguna pinjol berusia antara 19 hingga 24 tahun.
SELENGKAPNYA