
Mujadid
Syaikhul Islam dari Bumi Minang
Haji Ilyas Yakub turut berjuang melawan kolonialisme. Sampai-sampai, diri dan keluarganya diasingkan ke Digul.
Haji Ilyas Yakub—sering kali ditulis “Ilyas Yacoub” atau “Ilyas Ya'kub”—merupakan seorang ulama Minangkabau yang berjulukan syaikhul Islam. Tidak hanya berperan di dunia dakwah dan pendidikan Islam. Lelaki kelahiran 14 Juni 1903 M itu juga berkarya di dunia jurnalistik dan politik pergerakan. Alumnus Universitas al-Azhar itu pernah menjadi wartawan yang menulis banyak artikel di surat-surat kabar terbitan Kairo.
Ilyas Yakub berasal dari daerah Asam Kumbang, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Ia adalah putra ketiga dari pasangan Haji Yakub dan Siti Hajir. Ayahnya merupakan seorang pedagang kain yang akrab dengan lingkungan syiar Islam. Maka, sejak kecil dirinya memperoleh pendidikan yang amat baik.
Yakub kecil sudah belajar ilmu-ilmu agama kepada kakeknya, Syekh Abdurrahman, di Bayang. Saat itu, kampung halamannya menjadi sentra pengajaran Islam. Ia juga menempuh pendidikan umum di Gouvernement Inlandsche School Asam Kumbang. Setelah lulus dari sekolah itu, dirinya bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Antara tahun 1917 dan 1919, Yakub muda bekerja sebagai seorang juru tulis pada perusahaan tambang batu bara Ombilin Sawahlunto Sijunjung. Namun, ia kemudian memutuskan untuk keluar dari perusahaan tersebut. Hal itu dilakukannya sebagai bentuk protes terhadap pimpinan perusahaan asing itu, yang memperlakukan kaum buruh lokal dengan sewenang-wenang.
Saat usianya menginjak 16 tahun, Yakub akhirnya membulatkan tekad untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman kepada Syekh Abdul Wahab—guru yang kelak menjadi mertuanya. Melihat bakat Yakub, sang syekh mengajaknya ikut ke Tanah Suci. Di Makkah, pemuda itu tidak sekadar menunaikan ibadah haji. Ia juga menimba ilmu dari para ulama Masjidil Haram.
Memasuki tahun kedua di Makkah, Yakub mendapatkan pesan dari gurunya di Tanah Air yang disampaikan melalui seorang jamaah haji Minangkabau. Ia disarankan untuk berangkat ke Mesir guna melanjutkan pendidikan. Dalam surat itu, sang guru mengutarakan kekhawatiran, jika ia terlalu lama di Makkah, mungkin akan dipengaruhi paham Wahabi. Memang, aliran keislaman itu mulai menguat di Hijaz kala itu.
Pada 1923, Yakub mematuhi saran itu. Ia pun melanjutkan pendidikannya ke Mesir. Masa-masa di Negeri Piramida inilah yang membuatnya semakin tertarik dengan gagasan nasionalisme.
Saat menjadi mahasiswa di Mesir, Yakub terlibat dalam Hizbul Wathan, sebuah partai berpaham nasionalisme yang disokong Mustafa Kamal. Kemudian, ia menjabat ketua Perkumpulan Mahasiswa Indonesia dan Malaysia (PMIM) Mesir.
Tulisan-tulisan Yakub dipublikasikan pada berbagai surat kabar di Kairo. Bersama seorang temannya yang bernama Muchtar Lutfi, ia mendirikan dan memimpin redaksi majalah Seruan Al-Azhar dan Pilihan Timur. Yang pertama itu terbit bulanan dan menyasar kalangan mahasiswa. Adapun yang kedua, merupakan majalah tentang politik.
Pergerakan Yakub di ranah jurnalistik dan politik terdengar oleh pemerintah kolonial Belanda. Melalui perwakilannya di Mesir, rezim penjajah itu menganggap Yakub sebagai seorang radikalis dan ekstremis.

Berjuang
Pada 1929, Haji Ilyas Yakub akhirnya pulang ke Tanah Air. Kembali ke Sumbar, ia telah menjalin komunikasi dengan teman-teman seperjuangan di Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Syarikat Islam (PSI). Dirinya berusaha menggabungkan perjuangan politik dan jurnalisme.
Di jalur politik, ia mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Itu dilakukan bersama dengan sahabatnya, Haji Muchtar Lutfi. Untuk bidang jurnalistik, ia turut menerbitkan pers Tabloid Medan Rakyat sebagai alat penyadaran rakyat.
Permi dibentuk Haji Yakub dengan tujuan menegakkan Islam dan memperkuat wawasan kebangsaan. Artinya, dalam pandangannya Islam dan nasionalisme bukanlah untuk dibentur-benturkan. Dengan dasar Islam dan kebangsaan, Permi menjalankan sikap politik yang non-kooperatif terhadap rezim kolonial.
Permi awalnya bernama Partai Muslimin Indonesia (PMI) pada 1930. Partai ini berbasis pada dunia pendidikan Islam, khususnya yang mengorbit dengan lembaga Sumatera Thawalib dan Diniyah School. Ide awal pendiriannya adalah pemberdayaan sekolah-sekolah agama dengan berbagai inovasi ke arah sistem modern.
Kemudian, PMI mengadakan konsolidasi lebih lanjut untuk menampung visi kebangsaan Indonesia. Sinergi tersebut terwujud dalam bentuk kongres besar yang bertempat di dekat kampung halaman Ilyas Yakub, yaitu Koto Marapak, Bayang, Pesisir Selatan.
Rapat akbar ini dihadiri seluruh pengurus cabang se-Sumatera. Ada yang berasal dari Tapanuli Selatan, Bengkulu, Palembang, Lampung, dan daerah lainnya. Dari Kongres itu, PMI akhirnya diubah namanya menjadi Permi. Kantornya berada di gedung perguruan Islamic College, Alang Lawas, Padang.
Dengan mendirikan partai ini, Ilyas Yakub tidak mengenal kompromi dengan kekuatan politik-ekonomi apa pun yang mempunyai perilaku imperialisme dan kolonialisme. Permi secara prinsipil menegaskan, kapitalisme dan imperialisme sebagai penyebab penderitaan rakyat Indonesia.
Karena dianggap berbahaya, Permi ditetapkan pemerintah kolonial Belanda sebagai organisasi terlarang. Bahkan, tokoh-tokohnya kemudian ditangkap dan dipenjara. Ilyas Yakub bersama dua temannya, Mukhtar Luthfi dan Janan Thaib, turut ditahan.
Setelah sembilan bulan mendekam di Penjara Muaro Padang, Ilyas Yakub diasingkan selama 10 tahun, mulai 1934 hingga 1944. Bouven Digul, Papua, merupakan tempat pengasingannya. Selama di daerah terpencil itu, ia selalu didampingi oleh istrinya, Tinur.

Pada masa awal penjajahan Jepang di Indonesia, kondisi para tahanan di Digul semakin memprihatinkan. Kemudian, sisa-sisa aparat kolonial di sana memindahkan mereka ke daerah pedalaman Papua, tepatnya Kali Bina Wantaka. Sesudah itu, mereka diasingkan jauh ke Australia.
Ilyas Yakub selalu dibujuk untuk berkompromi dengan pemerintah kolonial. Namun, semangat jihad tidak pernah pudar. Pada Oktober 1945, para tahanan perang dipulangkan dari Australia ke Indonesia dengan kapal Experence Bey Oktober.
Seperti diceritakan dalam buku Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan: Seri Perjuangan ex-Digul (1977), begitu kapal berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta, Ilyas Yakub dan sejumlah tahanan lainnya ternyata dilarang turun.
Haji Ilyas Yakub kembali ditahan dan diasingkan bersama istrinya selama sembilan bulan. Dia berpindah-pindah dari Kupang, Serawak, Brunei Darussalam, hingga ke Singapura. Di negara-pulau itulah, anaknya yang bernama Iqbal wafat.
Pada 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI atas nama bangsa Indonesia. Pada 1948, Ilyas ikut bergerilya dan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Oleh Mr Syafruddin Prawiranegara selaku ketua PDRI, Ilyas ditugaskan menghimpun kekuatan politik dari seluruh partai di Sumatra untuk melawan Belanda.
Setelah pengakuan kedaulatan RI, Yakub mengabdikan diri untuk negara dan daerahnya melalui parlemen. Ia pernah menjabat sebagai Ketua DPR Sumatera Tengah, kemudian terpilih lagi sebagai anggota DPRD wakil Masyumi dan merangkap sebagai penasihat Gubernur Sumatera Tengah bidang politik dan agama.
Saffron, Khasiatnya Setara dengan Harganya
Terlepas dari kegunaan kulinernya, saffron juga telah digunakan untuk tujuan pengobatan selama ribuan tahun.
SELENGKAPNYAIstithaah Kesehatan dalam Berhaji
Menurut ijtima, pelaksanaan haji seseorang dapat ditunda jika menderita penyakit tertentu yang berbahaya, tetapi berpe luang sembuh.
SELENGKAPNYAProfesor Oldroyd Buktikan tak Ada Gen Gay
Laporan mengenai gen homoseksualitas manusia itu gagal untuk diteliti.
SELENGKAPNYA