
Tuntunan
Istithaah Kesehatan dalam Berhaji
Menurut ijtima, pelaksanaan haji seseorang dapat ditunda jika menderita penyakit tertentu yang berbahaya, tetapi berpe luang sembuh.
Kasus wafatnya jamaah selama penyelenggaraan haji 1444H/2023 tergolong tinggi. Jamaah haji Indonesia yang wafat mencapai 752 orang. Jumlah ini mencatat rekor karena merupakan jumlah tertinggi setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir.
Faktor kesehatan pun menjadi salah satu poin utama yang harus diperhatikan untuk berhaji. Meski wafat di Tanah Suci bagi sebagian Muslim merupakan satu ke utamaan, pulang ke Tanah Air dalam keadaan selamat dan mabrur akan lebih bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat.

Dalam ajaran Islam, ibadah haji diwajibkan bagi Muslim yang mampu. Dalam kata lain, yakni Istithaah. Mampu menjadi salah satu syarat wajib haji yang mencakup aspek finansial (biaya perjalanan dan bekal untuk keluarga yang ditinggalkan) dan keamanan. Aspek kesehatan serta ke mampuan jasmani dan rohani juga merupakan sesuatu yang harus diperhatikan calon jamaah.
Haji merupakan kewajiban kepada Allah SWT. Namun, Allah pun berfirman jika haji hanya ba gi orang yang sanggup menjalankannya. "Padanya terdapat tan da-tanda yang nyata, (di antara nya) maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji). Maka, sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS Ali Imran: 97).
Rasulullah pernah bersabda tentang konteks dari ayat ini. Dari Yunus dari al-Hasan, ber kata: Ketika turun ayat tersebut, ada seorang laki-laki bertanya: Ya Rasulullah, apakah yang disebut sabil (jalan) itu? Rasulullah menjawab: bekal dan kendaraan. "(HR al-Daruquthni). Atas dasar itu, Ijtima Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2018 mengungkapkan, kesehatan merupakan syarat ada' (pelaksanaan) haji. Bukan merupakan syarat wajib. Seseorang yang telah istitaah dalam aspek finansial dan keamanan, tetapi mengalami gangguan kesehatan, tetap berkewajiban untuk berhaji.
Ijtima juga menjelaskan, seseorang yang dinyatakan mampu untuk melaksanakan ibadah haji secara mandiri bila sehat dan mental untuk menempuh perjalanan ke Tanah Suci dan melaksanakan ibadah haji. Apabila seseorang mengalami uzur syar'i untuk melaksanakan ibadah haji karena penyakit yang diderita atau kondisi tertentu yang menghalanginya untuk berhaji secara mandiri padahal punya kemampuan finansial kewajiban, hajinya tidak gugur. Pelaksanaannya bisa ditunda atau dibadalkan.

Menurut ijtima, pelaksanaan haji seseorang dapat ditunda jika menderita penyakit tertentu yang berbahaya, tetapi berpeluang sembuh. Penundaan juga bisa dilakukan jika calon jamaah haji hamil sehingga kondisinya bisa membahayakan diri sendiri dan janinnya. Begitu juga bagi orang yang men derita penyakit menular berbahaya dan mereka yang terhalang bepergian untuk sementara.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa ra, ia berkata : Fadl bin Abbas pernah membonceng di belakang Rasulullah Saw, tiba-tiba seorang wanita dari Khats'am meminta fatwa kepada beliau. Fadll menengok kepada perempuan itu dan perempuan itu pun menengok Fadll. Maka, Ra sulullah SAW memalingkan wajah Fadll ke arah lain. Perempuan itu berkata : Wahai Rasulullah! Kewajiban untuk menunaikan haji terpikul atas bapakku yang sudah tua renta. Ia tidak lagi sanggup duduk di atas kendaraan. Bolehkah aku menggantikannya?" beliau menjawab: "Boleh." Dan, hal itu terjadi pada saat haji wada.' (HR. Muslim).
Kemampuan (qudrah, istitha`ah) itu ada kalanya berupa kemampuan (kesehatan) badan, kemampuan materi, atau keduanya sekaligus. Pendapat pertama adalah pendapat Imam Malik. Menurutnya, haji wajib bagi orang yang mampu berjalan dan kasab (mencari bekal) dalam perjalanannya.
Pendapat kedua adalah pendapat Imam Syafi'i. Oleh karena itu, Imam Syafi'i mewajibkan orang lumpuh untuk men cari pengganti (yang menghajikannya) jika ia mempunyai biaya untuk mengupahnya. Penda pat ketiga adalah pendapat imam kami yang agung (Abu Hanifah ra). Pendapat terakhir ini didkung oleh sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Baihaqi dan lainnya dari Ibnu Abbas, ia ber kata: "Jalan" (yang dimaksudkan dalam ayat Alquran) adalah kesehatan badan seseorang dan ia mempunyai uang untuk (memperoleh) bekal dan kendaraan tanpa harus berdesak-desakan.

Ada pun uzur syar'i yang me nyebabkan haji seseorang dibadalkan (inabati al ghair) adalah Orang yang mempunyai kemampuan finansial, tetapi meninggal sebelum melaksanakan ibadah haji, tua renta, dan lemah kondisi fisik terus-menerus akibat penya kit menahun. Penyakit berat yang tidak bisa diharapkan kesembuh annya. Terhalang untuk bepergian secara terus menerus.
Sementara itu, syarat untuk menjadi badal haji di antaranya, yakni akil baligh, tidak berhaji untuk dirinya, sudah melaksana kan ibadah haji untuk dirinya, bisa dipercaya melaksanakan iba dah haji untuk orang yang dibadalkan, tidak terhalang untuk melaksanakan ibadah haji, satu orang yang menjadi badal haji hanya boleh melaksanakan haji untuk satu orang. Syarat terakhir, yakni pemerintah (ulil amri) me miliki kewenangan untuk tidak mengizinkan calon jamaah haji melaksanakan ibadah haji karena alasan kesehatan berdasarkan pertimbangan syar'i dan medis. Wallahu a'lam.
Pemerintah Gusur Paksa Rakyatnya, Apa Pendapat Ulama?
Penggusuran harus dipastikan memang demi kepentingan umum, bukan pribadi.
SELENGKAPNYAPuskes Haji Revisi Permenkes Istithaah Kesehatan
Puskes Haji tengah melakukan sedikit revisi terkait kriteria tingkat keparahan penyakitnya.
SELENGKAPNYAIPHI: Jamaah tak Lolos Istithaah tak Boleh Berangkat Haji dengan Cara Apa Pun
Semua calon jamaah haji musim 2024 akan menjalani pemeriksaan kesehatan.
SELENGKAPNYA