
Internasional
Profesor Oldroyd Buktikan tak Ada Gen Gay
Laporan mengenai gen homoseksualitas manusia itu gagal untuk diteliti.
Oleh RAHMA SULISTYA
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pada abad yang lalu, ketika kondisi kaum LGBT jauh lebih buruk daripada saat ini, terdapat anggapan luas bahwa perilaku homoseksual adalah sebuah pilihan. Seorang homoseksual dikatakan bisa mengubah cara hidupnya dan menjadi heteroseksual.
Dilansir dari the Guardian, Senin (18/9/2023), profesor emeritus genetika perilaku di Universitas Sydney, Benjamin Oldroyd, menerbitkan Beyond DNA – How Epigenetics is Transforming our Understanding of Evolution.

Maka dari itu, ketika ada laporan yang mengatakan tentang "gen gay", hal tersebut disambut baik oleh banyak orang progresif. Keberadaan gen-gen itu seolah menunjukkan bahwa homoseksualitas bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah konsekuensi tak terelakkan dari perkembangan dan genetika.
Anehnya, laporan mengenai gen homoseksualitas manusia itu (dan banyak perilaku manusia lainnya) gagal untuk diteliti. Tidak ada yang namanya gen gay, dalam arti belum ada yang mengidentifikasi penanda genetik atau gen yang menyebabkan seseorang bisa menjadi LGBT dari gen manusia.
Belum ada yang mengidentifikasi penanda genetik atau gen yang menyebabkan seseorang bisa menjadi LGBT dari gen manusia.
Selain itu, homoseksualitas pada umumnya dianggap mengurangi hasil reproduksi seseorang, alel (varian gen) yang secara langsung menyebabkan homoseksualitas, kemungkinan besar tidak akan menyebar dalam suatu populasi. Meski demikian, LGBT kini sudah tersebar luas, begitu pula di dunia hewan. Sebuah penelitian memperkirakan bahwa 3,2 persen populasi manusia di Australia mengidentifikasi dirinya sebagai gay atau lesbian. Sebuah frekuensi yang umum terjadi di seluruh dunia.
Meluasnya kejadian homoseksualitas pada manusia dan hewan lainnya, ditambah dengan heritabilitas yang tinggi, tapi faktor genetikanya tidak dapat diprediksi dan terdapat kekurangan penanda genetik. Hal tersebut merupakan teka-teki biologis yang signifikan.
Ada tiga hipotesis utama mengenai keberadaan umum homoseksualitas dalam populasi manusia. Pertama, berdasarkan seleksi kerabat. Kedua, berdasarkan alel antagonis seksual, dan terakhir berdasarkan pewarisan epigenetik.
Secara singkat, gagasan seleksi kerabat menyiratkan hal yang mendorong perilaku homoseksual dapat menyebar dalam suatu populasi. Dorongan tersebut yaitu jika seorang homoseksual memberikan kontribusi atau pengaruh yang signifikan terhadap reproduksi kerabat dekatnya. Meski gagasan itu masuk akal, ada yang beranggapan bahwa jika tidak memiliki gen gay maka seseorang tidak akan menjadi LGBT.
Gagasan alel antagonis adalah bahwa ada gen-gen tertentu yang diseleksi dalam arah yang berbeda, yaitu diseleksi secara positif pada laki-laki, tetapi diseleksi secara negatif pada perempuan, begitu pula sebaliknya.

Secara hipotetis, karena gen itu belum teridentifikasi, gen yang mendorong produksi testosteron akan memiliki keunggulan selektif pada laki-laki jika gen itu mendorong sifat-sifat seperti perkembangan otot, pengambilan risiko, ketertarikan seksual terhadap lawan jenis, dan peningkatan daya tarik seksual pada perempuan.
Namun, jika gen yang sama diekspresikan dengan cara yang sama pada perempuan, hal ini mungkin merugikan karena alasan timbal balik. Artinya, seleksi dapat menarik pria dan wanita ke arah yang berbeda sehingga mempertahankan varian gen yang berbeda dalam suatu populasi.
Terakhir, epigenetik adalah transfer informasi genetik antargenerasi yang tidak dikodekan dalam DNA. Pada sebagian besar mamalia, perkembangan seksual jantan ditentukan oleh SrY, sebuah gen pada kromosom Y. SrY memberi kode protein yang berinteraksi dengan gen lain untuk membalikkan perkembangan default gonad embrio dari ovarium penghasil estrogen menjadi testis penghasil testosteron.
Jadi, jika janin dimandikan dengan estrogen yang diproduksi oleh ovarium bawaannya, ia akan mengembangkan tubuh wanita. Namun, jika ia diberi testosteron dari testisnya yang baru bertumbuh, ia akan berkembang menjadi laki-laki. Tapi, itu hanyalah kisah tentang determinisme genetik.
Kecuali jika memiliki sindrom langka, seperti kekurangan enzim 5α-reduktase. Enzim itu mengubah testosteron menjadi hormon penentu pria yang lebih kuat. Anak-anak ini, yang memiliki kromosom laki-laki, dilahirkan dengan alat kelamin ganda dan sering kali dibesarkan sebagai perempuan. Mereka kemudian berubah menjadi fenotip laki-laki saat pubertas dengan pelepasan testosteron yang terkait.
Dengan demikian, sebagian besar tanda epigenetik spesifik jenis kelamin pada gen yang terlibat dalam sensitivitas testosteron dihilangkan dan dibentuk kembali dalam pola spesifik jenis kelamin yang dapat diandalkan jauh sebelum gonad berdiferensiasi menjadi testis atau ovarium.

Namun, tidak semua tanda epigenetik terhapus seluruhnya selama perkembangan embrio. Oleh karena itu, mungkin saja terdapat transfer transgenerasi pengaturan epigenetik untuk sensitivitas testosteron. Hal itu dapat memengaruhi fenotipe seksual, identitas seksual, dan ketertarikan seksual.
Ini merupakan gagasan yang berpotensi penting karena dapat menjelaskan kecenderungan yang kuat pada anak kembar untuk memiliki preferensi seksual yang serupa, tapi kecenderungan ini tidak lebih kuat pada kembar identik dibandingkan pada kembar non-identik. Hal ini menunjukkan pewarisan epigenetik dari salah satu orang tua, namun bukan pewarisan genetik.
Jika hal ini semata-mata disebabkan oleh faktor genetik, kita bisa menduga bahwa orang kembar identik mempunyai kemungkinan lebih besar untuk memiliki preferensi seksual yang sama dibandingkan orang kembar yang tidak identik. Jadi, sejauh mana homoseksualitas manusia menjadi pertanyaannya, pewarisan epigenetik masih merupakan kemungkinan yang menggiurkan.
Buku-Buku LGBT Mulai Ditarik dari Sekolah di AS
Sekitar 300 buku berisi materi LGBT ditarik di Florida.
SELENGKAPNYAMenteri Attal, Pendukung LGBT yang Larang Abaya Bagi Muslimah
Beberapa media Prancis juga melaporkan jika Attal menjalin cinta sesama jenis dengan Stephane Sejourne
SELENGKAPNYAGender Dysporia Anak Akibat Propaganda LGBT
Orang tua perlu membimbing saat anak menginjak usia remaja, yakni 10-15 tahun.
SELENGKAPNYA