
Dunia Islam
Kepingan Daulah Islam Terakhir di Andalusia
Runtuhnya Taifa Granada membuka jalan bagi meletusnya peristiwa Reconquista.
Semenanjung Iberia mulai menjadi bagian dari wilayah Islam sejak masa Kekhalifahan Umayyah pada 711 M. Jazirah yang menjadi tempat Spanyol dan Portugal modern itu pun masih berada dalam genggaman Umayyah sesudah munculnya Dinasti Abbasiyah pada 750 M.
Seperti siklus, tidak selamanya Islam berjaya di Andalusia--sebutan bagi Iberia Muslim. Memasuki abad ke-11 M, tiada lagi tokoh Umayyah yang cukup berwibawa untuk memimpin seluruh wilayah tersebut. Akhirnya, daulah Islam di Iberia terpecah-belah menjadi negara-negara kecil, yang disebut sebagai taifa.
Masing-masing taifa itu mengeklaim independensi. Satu sama lain saling sikut-sikutan. Lebih parah lagi, ada pula taifa yang justru bekerja sama dengan kerajaan Kristen untuk menekan taifa saingannya.
Munculnya dinasti-dinasti kecil lambat laun menjadikan Muslimin Andalusia kian lemah secara politik. Hal itu menjadi kesempatan besar bagi kerajaan-kerajaan Kristen di sekitarnya untuk menyerang.
"Hilangnya" pengaruh Islam di seluruh Andalusia sempat tertunda dengan kedatangan Dinasti Murabithun dan Muwahiddun. Berturut-turut, kedua wangsa Muslim asal Maroko itu mampu melindungi taifa-taifa Muslim di Iberia dari agresi Salibis.
Barulah sejak medio abad ke-13 M, keadaan kembali genting bagi Muslimin Andalusia. Sebab, perhatian Dinasti Muwahiddun telah bergeser, menjadi kian tercurah pada daerah-daerah kekuasaannya di Afrika utara, alih-alih Iberia. Terlebih lagi, pascawafatnya raja Abdul A’la Idris al-Ma’mun pada 1228, wangsa tersebut kehilangan sama sekali pengaruhnya di Eropa.

Alhasil, keadaan anarki muncul kembali di banyak taifa. Bagaikan rumah kartu yang terguncang, satu per satu taifa takluk akibat diserang aliansi kerajaan Kristen.
Pada 1238, Kordoba jatuh. Sekira 10 tahun kemudian, Sevilla bernasib serupa. Hanya satu taifa yang terus bertahan hingga dua setengah abad berikutnya. Itulah Granada.
Sekilas sejarah
Riwayat taifa terakhir itu bermula pada tahun 1230. Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf bin Nashr merupakan penguasa pertama Granada. Dialah yang mendirikan Bani Nashr, yang pada akhirnya secara turun temurun memimpin kerajaan Islam tersebut. Nama lain kabilah itu adalah Bani Ahmar, yang merujuk pada leluhur Muhammad, yakni Yusuf al-Ahmar.
Beberapa sejarawan mencatat, Muhammad merupakan seorang Arab kelahiran Arjona, sebuah kota kecil di sekitar Sungai Guadalquivir, Spanyol. Walaupun berasal dari keluarga yang bersahaja, nasabnya bukan sembarangan. Silsilahnya sampai pada seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Sa’d bin Ubadah, dari Bani Khazraj—salah satu kelompok etnis terkemuka di Madinah.
Pada masa jayanya, Muhammad sukses menguasai bukan hanya Granada, tetapi juga Jaen, Almeira, Malaga, dan Valencia. Sebagai pemimpin Muslim, ia juga berjuang melawan serangan Kerajaan Kastilla serta memadamkan pemberontakan kaum mudajjan.
Salah satu legasinya adalah Istana al-Hamra atau Alhambra. Bangunan nan megah itu berdiri di atas Bukit Sabika, dekat Pegunungan Sierra Nevada. Hingga kini, Alhambra masih dapat dijumpai sebagai representasi pencapaian arsitektur Islam era Andalusia.
Pada 1273, Muhammad tutup usia. Anak keturunannya mengembangkan wilayah kekuasaan Bani Nashr. Alhasil, semakin banyak warga yang hijrah ke negeri tersebut. Ada yang berasal dari taifa-taifa tetangga. Mereka umumnya adalah para pengungsi yang negerinya telah dicaplok kerajaan Kristen. Tidak sedikit pula imigran yang datang dari Maghribiyah atau Tunis.
Selama dua abad, Granada di bawah kepemimpinan raja-raja Bani Nashr terus bertahan. As-Sirjani mengatakan, pada masa itu Granada merupakan kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Di antara warga setempat, terdapat kaum cerdik cendekia. Mereka ikut menopang peradaban Islam, sedangkan penguasa Muslim setempat pun mendukung kemajuan. Berdirinya masjid-masjid, perpustakaan-perpustakaan umum, dan universitas di sana merupakan segelintir contoh komitmen demikian.

Dalam jangka waktu 200 tahun itu, Granada tidak sepi dari ancaman. Berkali-kali, koalisi kerajaan Kristen menggempur perbatasan taifa tersebut. Untuk menjaga kekuatan militer, raja Bani Nashr meningkatkan hubungan dengan negeri-negeri jiran Muslim, semisal Bani Marin. Dinasti yang berpusat di Maghribiyah itu mengirimkan bantuan persenjataan dan pasukan setiap kali Granada diserang musuh.
Menurut as-Sirjani, faktor lainnya yang membuat Granada bertahan cukup lama adalah keandalan benteng-benteng perbatasannya. Memang, pada akhirnya tembok pertahanan itu runtuh akibat terus diserang kerajaan-kerajaan Kristen sekitarnya. Terlebih lagi, pada abad ke-15 faksi-faksi Salibis mulai bersatu sehingga meningkatkan daya serang terhadap taifa ini.
Bagaimanapun, “masa tenang” selama lebih dari satu abad itu cukup untuk memunculkan banyak pencapaian peradaban Islam di Granada. Dari kota tersebut, lahirlah sejumlah ilmuwan dengan karya-karya yang memukau. Industri kertas, tekstil, garmen, dan pembuatan kapal juga bergeliat sehingga menambah pundi-pundi pemasukan negara.
Peternak Kian Tertekan Harga Pakan
Harga pakan berkontribusi lebih dari 50 persen terhadap biaya produksi.
SELENGKAPNYANU tak Mau Jauh dari Jokowi
Hubungan Jokowi dengan NU selama ini berjalan hangat dan bersahabat.
SELENGKAPNYAKisah Murabithun Menyelamatkan Andalusia
Para cendekiawan dan juga beberapa raja taifa di Andalusia bersurat kepada penguasa Murabithun agar memimpin jihad melawan Salibis.
SELENGKAPNYA