
Kitab
Tuntunan Akhlak Sufistik
Melalui buku ini, akademisi Aceh Prof Aboebakar memaparkan bagaimana pendidikan diri seorang Muslim ala sufi
Prof Haji Aboebakar Atceh (ejaan disempurnakan: Abu Bakar Aceh) merupakan seorang seorang ulama dan sekaligus penulis Muslim yang prolifik di Indonesia. Ia menulis banyak karya bukan hanya tentang Islam, melainkan juga filsafat, sejarah, dan budaya.
Konon, sebutan “Aceh” di belakang nama dirinya itu merupakan pemberian presiden pertama RI, Sukarno. Sebab, Bung Karno pada 1960 menyatakan kagum terhadap keluasan ilmu putra daerah Aceh ini. “Ensiklopedia Berjalan” itulah pula sebutan dari para koleganya yang mengakui luasnya cakrawala ilmu pengetahuan Prof H Aboebakar Atjeh.
Salah satu karyanya yang masyhur ialah Pendidikan Sufi. Seperti tampak pada judulnya, buku tersebut membahas tentang petuah-petuah kebajikan dari kalangan penggiat tasawuf.
Dalam kalam pembuka buku itu, Prof Aboebakar menulis, di antara cara pandang kaum sufi adalah selalu mengutamakan Allah. Bagi mereka, dunia tempat manusia kini berada adalah satu fase saja dalam perjalanan panjang menuju Diri-Nya. Karena itu, lanjutnya, orang-orang salik selalu melihat berbagai kerusuhan di dunia ini terjadi karena dua hal.
Pertama, manusia tidak mengakui percaya kepada Tuhan. Ketidakpercayaan itu berarti enggan mengenal-Nya. Bagi orang-orang yang masih mengaku beriman, hal itu pun dapat dimaknai sebagai tidak takut atau tidak patuhnya kepada perintah dan larangan Allah.
Kedua, rasa cinta manusia yang terlalu besar pada dirinya sendiri. Hal itu menimbulkan ketamakan, kemubaziran, dan sikap apatisme. Padahal, sejatinya semua orang adalah sama. Sebab, segala kekayaan, kesehatan, dan ilmu yang diperoleh hanyalah milik Allah, dan cepat atau lambat akan kembali kepada-Nya.
Dalam buku ini, Aboebakar menyuguhkan beberapa nasihat yang dipetiknya dari kehidupan kaum sufi. Ketika pokok soal sudah diketahui, jawaban atas masalah itu pun dapat ditemukan. Menurut dia, perbaikan baru dapat dilakukan setelah keyakinan kepada Tuhan tertanam dalam diri manusia.

“Apabila kepercayaan kepada Tuhan itu sudah tebal, lahirlah cinta, lahirlah taat dan patuh, lahirlah takut, yang dapat mengontrol dan mengawasi segala amal perbuatan,” tulisnya (hlm 12).
Maka dari itu, pendidikan sufistik pertama-tama menyasar pada perbaikan budi pekerti. Modelnya adalah Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis, beliau menegaskan bahwa dirinya diutus oleh Allah Ta’ala untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Rasulullah SAW juga berpesan, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
Karakteristik seseorang sukar diubah dalam sekejap mata. Karena itu, pendidik memerlukan proses, yang bisa berlangsung dalam kurun waktu tertentu atau bahkan seumur hidup. Aboebakar mengatakan, salah satu bentuk tempaan untuk memperbaiki budi pekerti adalah riadat lapar.
Ya, rasa lapar adalah latihan yang baik untuk pendidikan rohani. Sebab, perut kenyang—apalagi kekenyangan—cenderung mengalpakan seseorang dari Tuhannya. Dalam hal ini, membiasakan puasa adalah pilihan yang bijaksana.
Ketika mental sudah siap, seseorang dapat memasuki rihlah sufistik yang terdiri atas dua dasar. Dasar yang pertama adalah mengosongkan diri dari kecenderungan hawa nafsu keduniawian. Kaum salik menamakan fase ini sebagai takhliyah. Dalam tahapan ini, orang dituntut untuk menjauhkan diri dari segala maksiat, baik lahir maupun batin.
Adapun dasar yang kedua adalah mengisi kembali jiwa dengan sifat-sifat yang terpuji. Inilah tahapan tahliyah. Sufi biasanya menerapkan disiplin ketat pada fase ini untuk selalu menaati perintah Allah SWT, baik wajib maupun sunah, sesuai kemampuan yang ada.
Dalam pengajaran sufistik, pokok yang didahulukan adalah menghindarkan diri dari maksiat, barulah kemudian peningkatan ketaatan. Sebab, menurut Aboebakar, yang pertama itu lebih sukar dilakukan daripada yang belakangan. Hal itu sejalan dengan pendapat sang Hujjatul Islam, Imam Ghazali, yang menerangkan, dalam agama terdapat dua dasar tarbiah.
Pertama, meninggalkan segala hal yang terlarang. Kedua, mengerjakan segala kebajikan yang diperintahkan. Untuk menaati segala perintah-Nya atau amal ibadah itu, tiap orang sanggup sekadar kuasanya. Namun, mengendalikan syahwat atau hawa nafsu itu tidaklah dapat dikerjakan sembarang orang. Hanya mereka yang sudah memindahkan jiwanya dari suasana kejahatan kepada nuansa gemar kebaikan, itulah yang mudah mengontrol gejolak nafsu.
Seorang sufi atau yang berperspektif tasawuf selalu mengupayakan dirinya agar bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya manusia. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain,” begitu pesan Nabi SAW.
Yang ditekankan adalah sikap egoistis dan pamer diri dalam mengejar kebermanfaatan itu. Karena itu, kaum sufi menjauh dari apa yang disebut jah. Imam Ghazali berkata, jah adalah mencari kemasyhuran dengan sengaja untuk membesarkan diri. Singkatnya, semakin puas apabila namanya populer. Sebaliknya, ia menjadi cemas apabila namanya kurang atau bahkan tak lagi diingat oleh publik luas.
Hendaklah engkau selalu merendahkan dirimu. Jangan mencari kemasyhuran.Ali bin Abi Thalib
Tentang hal itu, Aboebakar mengutip sebuah petuah dari Ali bin Abi Thalib, “Hendaklah engkau selalu merendahkan dirimu. Jangan mencari kemasyhuran. Jangan mengangkat-angkat dirimu dengan membangga-banggakan ilmu pengetahuanmu dan lain-lain. Biasakan tenang dan berdiam diri.”
“Orang sufi dalam pendidikannya mengajarkan, jangan banyak berbicara yang tidak perlu. Bahkan, diperintahkan diam dalam segala keadaan kecuali yang ada faedahnya buat agama dan kepentingan umum,” tulisnya (hlm 42).
Aboebakar juga mengingatkan pembaca pada satu sifat khas sufi, yakni zuhud. Itu tidak berarti keterbelakangan atau kemiskinan. Sebab, rumusnya bukan mengabaikan, tetapi tidak terbawa arus dunia. Mengutip Imam al-Junaid dalam Madarij as-Salikin, “Orang yang zuhud tidak menjadi bangga karena memiliki dunia dan tidak menjadi sedih karena kehilangan dunia.”
“Orang yang zuhud menunjukkan seluruh hidupnya untuk akhirat. Oleh karena itu, (dia) mengerjakan ibadah sebanyak mungkin dengan tidak memedulikan kesenangan dirinya. Ia memakan sekadar untuk hidup, dan memakai pakaian sekadar untuk menutupi auratnya,” demikian tulis cendekiawan asal Aceh (hlm 48).
Akhirnya, buku Pendidikan Sufi ini sangat tepat menjadi kawan untuk merenung, memikirkan kembali, dan bahkan mengevaluasi kehidupan. Tidak hanya itu, karya Aboebakar ini—wafat tahun 1979—juga menguraikan pembahasan tentang asal usul istilah sufi secara ringkas.
Riwayat Sang Pejuang dari Bawean
KH Asyiq Mukri dikenal sebagai pejuang di Pulau Bawean bahkan hingga Singapura
SELENGKAPNYAPulihkan Diri dari Hubungan Beracun
Penyembuhan diri dari hubungan yang beracun melibatkan
SELENGKAPNYAKDRT, Ironi Klasik dalam Keluarga
Semua jenis kekerasan dalam rumah tangga sangat jarang dilaporkan.
SELENGKAPNYA