
Mujadid
Dua Sasaran Kritik Imam Ghazali
Imam Ghazali dalam beberapa karyanya mengarahkan kritik pada filsafat Yunani dan aliran kebatinan.
Al-Hujjatul Islam, Imam Ghazali, merupakan cendekiawan Muslim dari abad ke-12 M. Karya-karyanya menjadi inspirasi bukan hanya bagi kaum Muslimin, tetapi juga non-Muslim, termasuk kalangan orientalis Barat era modern.
Kritik Imam Ghazali terhadap filsafat, misalnya, terus menjadi bahan kajian dan diskursus hingga kini. Dalam menelaah apa yang disebutnya "kelemahan-kelemahan" filsafat, sang Hujjatul Islam mengoptimalkan argumen-argumen kritis dan bahkan tetap dengan cara-cara filsafat pula.
Argumentasinya menitikberatkan pada sejumlah kerancuan pemikiran para filsuf Yunani Kuno dan pengikut mereka, termasuk dari kalangan sarjana Islam pada masa itu, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Maqashid al-Falasifah merupakan salah satu karya besarnya yang dimaksudkan untuk menyerang kaum filsuf demikian.
Pada abad pertengahan, buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Dominicus Gundissalimus dengan judul Logica et Philosophia al-Gazelis Arabis. Sejak saat itu, nama ulama besar kelahiran Tus (Iran) itu kian dikenal masyarakat Barat.
Kritiknya terhadap filsafat Yunani Kuno—yakni metafisika—didetailkan lagi dalam Tahafut al-Falasifah. Dikatakan detail, sebab Imam Ghazali memperinci setidaknya 10 pendapat filsuf yang, dalam pandangannya, bertentangan dengan ajaran Islam.
Adapun pendapat-pendapat itu sebagai berikut: Tuhan dikatakan tidak mempunyai sifat; Tuhan mempunyai substansi sederhana (basith) dan tidak mempunyai hakikat (mahiyah); Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang partikular (juz’iyyah); Tuhan tidak dapat diberi sifat jenis dan spesies (al-fasl); planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan; jiwa planet-planet mengetahui semua juz’iyyah; hukum alam tidak berubah; pembangkitan jasmaniah tak ada; alam ini tak bermula; dan bahwa alam ini kekal.

Beberapa di antara argumentasi para filsuf itu, menurut Imam Ghazali, bahkan dapat menyebabkan jatuhnya status seseorang menjadi kafir. Misalnya, pandangan bahwa pengetahuan Tuhan tak sampai pada hal-hal perinci atau bahwa pembangkitan jasmani kelak di akhirat tak ada.
Alquran surah al-Hujurat ayat 16, misalnya, sudah menunjukkan, Allah Mahamengetahui segala sesuatu. “Katakanlah: ‘Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu?’”, demikian terjemah ayat itu.
Poin kesembilan dan yang terakhir juga menuai masalah. Bagi kaum filsuf, alam semesta tak berawal, padahal hanya Allah SWT yang tak memiliki permulaan (qadim), berwujud tanpa sebab. Mengatakan bahwa alam semesta itu qadim berarti mengingkari Allah sebagai Pencipta.
Berbeda dengan para filsuf itu. Imam Ghazali menegaskan, baik ruang dan waktu adalah mustahil tanpa penciptaan. Keduanya menjadi ada pada momen yang sama, yakni diadakan oleh Allah Ta’ala. Pengetahuan awal—yakni yang mendahului eksistensi ruang dan waktu—diketahui Tuhan sehingga tak ada yang namanya “perubahan kesadaran Tuhan” dalam setiap peristiwa dalam waktu yang berjalan (ongoing).
Filsuf-filsuf yang terpengaruh metafisika Yunani Kuno juga meyakini, hanya roh (jiwa) yang abadi, sedangkan jasmani akan hancur. Hal ini bertolak belakang dengan banyak ayat Alquran yang menyebut soal pembangkitan dengan deskripsi yang bersifat materiil.
Dalam arti, jiwa kelak akan dikembalikan kepada tubuh masing-masing. Apakah tubuh itu akan diperbarukan oleh Allah atau tubuh semula, hanya Dia yang Mahaberkehendak. Maka dari itu, menurut Imam Ghazali, mempercayai tak adanya pembangkitan jasmani berarti menolak kebenaran wahyu Ilahi.
Pena ulama abad ke-11 ini juga tajam mengkritik kalangan pengikut aliran kebatinan. Mereka mempercayai adanya sosok-sosok yang mahfudh, yakni orang alim yang terpelihara dari dosa—persis seperti Nabi Muhammad SAW.

Yusuf al-Qardhawi dalam Al-Imam al-Ghazaly baina Madihihi wa Naqidihi (terjemahan bahasa Indonesia oleh Prof Achmad Satori Ismail: Pro-kontra Pemikiran al-Ghazali) menjelaskan perihal ini. Bagi Imam Ghazali, aliran kebatinan lebih berbahaya daripada pengikut filsafat (metafisika/materialisme) Yunani Kuno. Sebab, kaum filsuf biasanya hidup bak di menara gading. Sementara, orang-orang kebatinan berada di tengah masyarakat.
Mula-mula, mereka tak menampakkan keyakinan itu sehingga kehadirannya tak ubahnya Muslim pada umumnya: meyakini eksistensi Allah SWT dan kerasulan Muhammad SAW. Namun, seruan mereka terhadap imam yang dianggapnya ma’shum itulah potensi marabahaya di tengah umat.
Untuk membantah aliran kebatinan, Imam Ghazali menulis sejumlah kitab, misalnya, Fadhaihul Bathiniyah (Kesalahan-kesalahan Aliran Kebatinan). Pada masa itu, mengecam secara terbuka kelompok kebatinan sungguh membutuhkan nyali. Sebab, mereka tak segan-segan berekayasa untuk mencelakakan siapapun tokoh yang dianggap membahayakan kepercayaan bathiniyyah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Dahsyatnya Kalimat Tauhid
Dua kisah ini menegaskan, betapa berat bobot kalimat tauhid, laa ilaaha illa Allah.
SELENGKAPNYAHudzaifah bin al-Yaman, Penjaga Rahasia Nabi
Hudzaifah bin al-Yaman diberi tahu oleh Nabi Muhammad SAW tentang siapa saja di sekitar beliau yang tergolong munafik.
SELENGKAPNYA