Ancaman AI pada demokrasi dan pemilu 2024 (ilustrasi) | Unsplash/Elemen5 Digital

Inovasi

Berebut Sentimen Pemilih Lewat Teknologi AI

Perilaku pemilih yang emosional cenderung lebih mudah dipengaruhi melalui penggunaan kecerdasan buatan (AI).

Dekatnya pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) telah menarik perhatian terhadap penggunaan teknologi AI dalam platform media sosial. Pemanfaatan teknologi ini dikhawatirkan berpotensi memengaruhi sentimen pemilih.

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam media sosial, telah diidentifikasi sebagai potensi ancaman yang dapat memengaruhi sentimen pemilih dalam Pemilihan Presiden AS 2024 mendatang. Beberapa perusahaan teknologi besar dan lembaga Pemerintah AS telah secara aktif memantau situasi terkait disinformasi.

Pada 7 September 2023, sebuah unit penelitian di Microsoft, Microsoft Threat Analysis Center merilis laporan yang menunjukkan adanya "aktor yang berafiliasi dengan Cina", yang menggunakan teknologi AI untuk kampanye. Laporan ini menekankan topik-topik politik kontroversial, seperti kekerasan senjata dan penghinaan terhadap tokoh politik dan simbol AS.

photo
Presiden AS Joe Biden menyapa para pendukungnya setelah menggembar-gemborkan upaya ekonomi pemerintahannya, yang ia sebut sebagai Bidenomics, di Prince Georges Community College di Largo, Maryland, AS, 14 September 2023. Biden menggunakan istilah MAGAnomics untuk menggambarkan usulan pemotongan anggaran Partai Republik, ke depan kemungkinan penutupan pemerintahan. - (EPA-EFE/JIM LO SCALZO)

Laporan tersebut juga mengindikasikan Cina mungkin terus mengembangkan teknologi ini, di mana penggunaannya dalam skala besar untuk tujuan serupa masih harus diamati. Sementara itu, AI juga digunakan untuk mendeteksi disinformasi di media sosial.

Pada 29 Agustus 2023, Accrete AI mendapatkan kontrak dari US.Special Operations Command untuk menggunakan perangkat lunak kecerdasan buatan dalam memprediksi ancaman disinformasi secara real-time di platform media sosial. Pendiri dan CEO Accrete, Prashant Bhuyan, menyoroti seriusnya ancaman yang ditimbulkan oleh deepfake dan aplikasi AI di media sosial.

“Media sosial secara luas dianggap sebagai lingkungan yang tidak diatur, di mana pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sering memanfaatkan kelemahan penalaran dan memanipulasi perilaku melalui disinformasi yang disengaja,” kata Bhuyan, dilansir Cointelegraph, Kamis (14/9/2023).

photo
Pemilu di era kecerdasan buatan dan misinformasi (ilustrasi) - (Unsplash/Elemen5 Digital )

Pada Pemilihan Presiden AS 2020, menurut Massachusetts Institute of Technology (MIT), aktivitas "peternakan troll" mencapai 140 juta orang Amerika setiap bulannya. "Peternakan troll" merujuk pada kelompok troll internet yang beroperasi secara terorganisasi, dengan tujuan mengganggu opini politik dan pengambilan keputusan. 

Regulator di AS telah mencari cara untuk mengatasi penyebaran informasi palsu menjelang pemilihan. Pada 10 Agustus, US Federal Election Commission dengan suara bulat memutuskan untuk mengajukan petisi yang akan mengatur iklan politik yang menggunakan AI.

Salah satu anggota komisi yang mendukung langkah ini menyebut deepfake sebagai "ancaman signifikan terhadap demokrasi". Google juga mengumumkan pada 7 September bahwa mereka memperbarui kebijakan konten politiknya pada pertengahan November 2023, yang akan mewajibkan pengungkapan penggunaan AI dalam iklan kampanye politik jika iklan tersebut mengandung "konten sintetis yang secara tidak autentik menggambarkan orang atau peristiwa nyata atau realistis."

Perilaku Pemilih

photo
Maskot Pemilu 2024 Sulu dan Sura berjalan saat serah terima kirab Pemilu 2024 di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (9/9/2023). Kirab Pemilu 2024 dari KPU Banyumas kepada KPU Kabupaten Tegal itu sebagai sosialisasi pelaksanaan pemilu 2024 serta untuk mengingatkan partisipasi masyarakat akan kesadaran menggunakan hak suara pada pemilu mendatang. - (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Perilaku pemilih dalam pemilihan umum sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pertimbangan rasional terhadap program, ikatan primordial, seperti agama dan etnis, jaringan sosial, bahkan emosi saat itu. Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Sunyoto Usman, menyebutkan bahwa perilaku pemilih yang emosional cenderung lebih mudah dipengaruhi melalui penggunaan kecerdasan buatan (AI). “Dugaan saya, perilaku pemilih emosional mudah dipengaruhi melalui AI,” kata Sunyoto kepada Republika, Kamis (14/9/2023).

Sosiolog Roby Muhammad juga menyebut regulasi untuk penggunaan AI, termasuk di Indonesia, menjadi sangat penting. Dalam waktu dekat, negara-negara di seluruh dunia akan mulai mengimplementasikan regulasi semacam ini, karena dampak AI sangat luas, termasuk dalam bidang ekonomi, pekerjaan, dan sosial.

Roby juga berpendapat bahwa regulasi AI perlu dibangun secara bertahap, dengan fokus pada penggunaan AI yang paling mendesak. Salah satu aspek yang sangat penting adalah penggunaan AI dalam menyebarkan misinformasi dan hoaks, terutama yang terkait dengan pemilihan umum.

photo
Pedagang menyelesaikan pembuatan kaos alat peraga kampanye partai politik di salah satu kios di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (16/5/2023).Menjelang musim Pemilu serentak dan Pilpres 2024, sejunlah pedagang mengaku mengalami kenaikan jumlah permintaan hingga 40 persen. Dalam sekali pesanan, pedagang mampu mengerjakan hingga ribuan kaos dan ratusan kemeja dengan harga dibandrol sekitar Rp80rb hingga Rp150 rb. - (Republika/Thoudy Badai)

Ia menyarankan agar regulasi AI tidak dibuat secara menyeluruh sekaligus, tetapi harus dimulai dengan hal-hal spesifik yang paling mendesak. Sebagai contoh, dalam konteks pemilihan umum, aturan harus diatur terkait dengan penggunaan AI dalam kampanye politik.

Sebagai langkah awal, semua tim kampanye yang menggunakan gambar atau foto AI harus mencantumkan watermark, yang mengindikasikan bahwa itu adalah hasil AI. Dalam menyikapi Pemilihan Umum 2024 di Indonesia, Roby menekankan pentingnya peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam mengatur penggunaan AI. “Kalau spesifik pemilu, butuh aturan, dan KPU dan Bawaslu harus mulai mengatur AI,” ujar dia.

Roby menyatakan, KPU dan Bawaslu harus segera mulai membuat aturan yang bersifat spesifik terkait penggunaan AI dalam konteks pemilihan umum. Dengan demikian, penggunaan teknologi AI dalam pemilihan umum dapat diawasi dengan lebih baik. “Justru kita harus mendesak KPU dan Bawaslu mulai membuat aturan dalam AI. Itu tanggung jawab mereka, mulai dari hal kecil spesifik dulu,” kata Roby. 

 

 
Regulasi AI perlu dibangun secara bertahap. 
 
ROBY MUHAMMAD, Sosiolog. 
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Semar Ikut Pemilu

Caleg jaman dulu sering turun ke masyarakat.

SELENGKAPNYA

Pemilu untuk Merawat Kemajemukan

Wawasan pemilu untuk merawat kemajemukan Indonesia menjadi sangat strategis.

SELENGKAPNYA

KPU: Pemilu 2009 dan 2014 Syaratnya 35 Tahun

Batas usia minimum 35 tahun pernah diterapkan dalam Pilpres 2009 dan 2014.

SELENGKAPNYA