
Nostalgia
Semar Ikut Pemilu
Caleg jaman dulu sering turun ke masyarakat.
Oleh ALWI SHAHAB
Bulan Bintang Masyumi
Palu Arit PKI
Kepala Banteng PNI
Syair di atas merupakan lagu yang terkenal menjelang Pemilu pertama 1955. Lagu itu berasal dari lagu film Anna produksi Italia yang dibintangi oleh Silvano Mangano, namun liriknya diganti dan dipelesetkan dengan tema Pemilu.
Pada November 1945, Wakil Presiden DR Mohamad Hatta mengeluarkan Maklumat bernomor X, menganjurkan agar masyarakat mendirikan parpol. Karena itu, menjelang Pemilu 1955, pada 29 September, terasa sekali banyaknya parpol.
Selain berasaskan ideologi, seperti nasilonalis, agama dan komunis, ada juga parpol yang berasaskan kesukuan dan aliran kepercayaan. Bahkan namanya pun aneh-aneh, seperti Partai Semar. Entah apa alasan penggunaan nama tokoh punakawan, tokoh wayang asli Indonesia, itu. Tokoh berbadan pendek dan berperut buncit itu tidak terdapat dalam kitab Ramayana maupun Mahabrata.
Jika Pemilu 2009 mendatang diramalkan akan berjalan lesu, tidak demikian dengan Pemilu 1955. Meskipun tidak ada pembagian kaos dan politik uang, tapi dari 39 juta pemilih yang terdaftar, 91 persen memberikan hak suaranya. Saat itu tidak dikenal adanya Golput.

Terjadi kejutan pada Pemilu 1955. PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang dipimpin Sutan Sjahrir ambruk dan hanya merebut 10 kursi. Padahal, PSI didukung surat-surat kabar besar seperti Pedoman, Indonesia Raya dan Keng Po. Tapi, pada masa Orba tokoh-tokoh PSI berperan mengarsiteki pembangunan.
Pada tahun 1950-an, surat-surat kabar berorientasi pada parpol. Surat kabar Abadi berorientasi pada Masyumi, Suluh Indonesia pada PNI, Harian Rakyat pada PKI, dan Bintang Timur pada Partindo.
Empat besar hasil Pemilu 1955 adalah PNI (119 kursi), Masyumi (112 kursi), NU (91 kursi) dan PKI (60 kursi). Masyumi unggul di Jakarta, mengalahkan PNI sebagai kontestan yang dijagokan Presiden Soekarno.
Para birokrat, khususnya camat dan lurah, di Jakarta umumnya orang PNI. Rupanya mereka tidak benar-benar netral. Sejak Orba mereka pun diharuskan untuk memenangkan Golkar.
Antusiasme masyarakat Jakarta menyambut kampanye Pemilu 1955 tergambar dalam laporan Harian Pemandangan. Rakyat di kampung-kampung banyak yang berbondong-bondong menyaksikan kedatangan mobil-mobil kampanye dari Kementerian Penerangan.
Para pimpinan parpol lebih sering turun ke kampung-kampung untuk berbicara langsung dengan simpatisannya.
Pada masa kampanye, para pimpinan parpol lebih sering turun ke kampung-kampung untuk berbicara langsung dengan simpatisannya. Ketua Umum Masyumi Mohammad Natsir, Sukarni (Murba), dan Sutan Sjahrir (PSI), pernah datang ke Kampung Kwitang, Jakarta Pusat. Mereka berbincang dan bersalaman dengan orang kampung, serta menyalami para tukang becak.
Persaingan sengit terjadi antara Masyumi dan PKI. Seorang jurkam PKI dalam kampanye di Lapangan Banteng menyatakan, "Jangan pilih Masyumi. Kalau Masyumi menang Lapangan Bantewng akan diubah menjadi Lapangan Onta."
Kemudian, dalam kampanye yang sama di lapangan tersebut, jurkam Masyumi membalas, "Jangan pilih PKI. Kalau PKI menang Lapangan Banteng akan diubah jadi Lapangan Merah atau Lapangan Kremlin." Nyatanya, sekalipun Masyumi menang di Jakarta, Lapangan Banteng tetap Lapangan Banteng.
Kerasnya persaingan itu dikemukakan oleh KH Firdaus AN yang pada Pemilu 1955 menjadi caleg dan jurkam Masyumi. "Ketika saya dan tokoh Masyumi KH Isa Anshari berkampanye di Tanjung Priok, tiba-tiba pengeras suara mati disabotase oleh buruh-buruh pelabuhan yang kebanyakan orang PKI," katanya. "Yang saya tidak habis pikir, begitu hebatnya persaingan waktu itu, tidak ada satu orangpun yang menjadi korban," tambahnya.
Waktu itu para jurkam menonjolkan arti dan ciri-ciri tanda gambar mereka masing-masing. PNI membanggakan tanda gambar bangtengnya sebagai lambang kaum nasionalis Indonesia, dengan meniru slogan Bung Karno, "Kita adalah bangsa banteng."
Masyumi dengan bulan bintangnya digambarkan tidak pernah putus-putusnya menyinari bumi sepanjang hari. Sedangkan jurkam NU mempunyai tafsiran tentang tanda gambar mereka: bola bumi yang dikelilingi sampul dengan sembilan bintang di pinggirnya, melambangkan Wali Songo, sembilan wali yang menyiarkan Islam di Indosnesia.
Prestasi NU cukup menyolok dalam Pemilu 1955, mengingat partai ini baru saja memisahkanm diri dari Masyumi. Sementara, KH Isa Anshari, tokoh Masyumi, mendapat julukan sebagai singa podium dan Napoleonnya Masyumi. Isa yang bertubuh pendek dan gempal seperti Napolean dikenal pidato-pidatonya sangat berani dan berapi-api.
Bukan hanya tudingan soal Lapangan Banteng, PKI juga menuding Masyumi sebagai kaki tangan DI/TII, antek imperialis dan masih banyak lagi. Sementara, Masyumi menuding partai berhaluan kiri itu sebagai kaki tangan Soviet, RR Cina, dan anti Tuhan, hingga tidak layak hidup di Indonesia.
Itulah sekelumit kisah Pemilu 1955. Sekalipun persaingan antar parpol begitu keras, tapi merupakan Pemilu yang bersih dan aman. Padahal alat-alat keamanan tidak disibukkan untuk menjaga keamanan seperti sekarang.
Seperti dikemukakan KH Firdaus AN, tidak ada jadwal kampanye seperti pemilu berikutnya. ''Pokoknya, kami bebas untuk berkampanye di sepanjang tempat dan sembarang waktu. Tidak perlu meminta izin pada aparat keamanan. Paling-paling kami mengatur tempat dan lapangan,'' kata Firdaus AN.
Disadur dari Harian Republika edisi 20 Juli 2008. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020.
‘Langkah Sesat’ Menunda Pengusutan Korupsi Caleg
Jaksa Agung menerbitkan memo untuk menunda pengusutan kasus korupsi yang menyeret caleg.
SELENGKAPNYADeretan Caleg 2024, dari Menteri Hingga Kepala Badan
Lima menteri, empat wakil menteri, dan satu kepala badan masuk DCS Pemilu 2024.
SELENGKAPNYA