
Mujadid
Sang Teladan dari Tanah Betawi
KH Abdul Madjid dijuluki sebagai gurunya para ulama Betawi.
Jakarta bukan hanya tentang kota metropolitan. Dalam sejarahnya, Tanah Betawi melahirkan banyak alim ulama. Salah seorang di antaranya yang masyhur ialah Guru Madjid Pekojan.
Seperti tampak pada namanya, ia aktif berdakwah di Pekojan--kini termasuk wilayah Tambora, Jakarta Barat. Bersama dengan Kiai Syam’un Kampung Mauk dan Guru Manshur Jembatan Lima, lelaki yang bernama asli Abdul Madjid itu giat melakukan syiar Islam, terutama melalui pengajian-pengajian yang bertempat di Masjid Langgar Tinggi.
Tokoh berjulukan “gurunya para kiai ibu kota" itu lahir pada 1887. Putra KH Abdurrahman bin Sulaiman itu masih keturunan Pangeran Diponegoro, melalui buyutnya yang bernama Rahmatullah.
Pada mulanya, Abdul Madjid belajar agama kepada ayahnya sendiri. Pada 1897, dirinya memulai perjalanan ke Makkah al-Mukarramah. Waktu itu, usianya masih 10 tahun.
Di Tanah Suci, Abdul Madjid kecil belajar kepada sejumlah ulama terkemuka. Di antara guru-gurunya adalah Syekh Mukhtar Atharid, Syekh Said al-Yamani, Syekh Umar Bajunaid al-Hadrami, serta Syekh Ali al-Maliki.
Selama di Haramain, Abdul Madjid mempelajari ilmu fikih, usul fikih, tafsir, hadis, gramatika bahasa Arab, tasawuf, dan falak. Selain itu, ia juga menghafalkan Alquran 30 juz dengan baik sekali.
Setelah 20 tahun bermukim di Makkah, Abdul Madjid kembali ke Tanah Air pada 1917. Ia langsung mengabdikan ilmunya pada masyarakat Muslimin Batavia--sebutan Jakarta kala itu.
Guru Madjid menjalani aktivitas dakwahnya selama 30 tahun. Majelis taklimnya tersebar di banyak kawasan di Batavia. Sebut saja, Sawah Besar, Petojo, Batu Tulis, Tanjung Priok, dan Kramat Senen.
Di Masjid Langgar Tinggi, Pekojan, ia juga membuka pengajian. Dirinya mengajar setiap hari, mulai dari pukul 08.00 WIB hingga 11.00 WIB.
Di antara para santri Guru Madjid yang akhirnya menjadi ulama-ulama besar adalah KH Abdul Ghani, KH Abdul Rozak Ma’mun, KH Abdul Rahman, dan KH Soleh. Di samping itu, ada KH Abdullah Syafi’i, KH Nahwari, KH. Sa’idi, KH Najib, dan KH Bakir. Tercatat pula nama-nama seperti KH Tohir Rohili, KH Mas’ud, serta KH Muhammad Muhadjirin Amsar ad-Darry—pendiri Pondok Pesantren an-Nida al-Islamy Kota Bekasi.
Sebagai seorang alim yang menekuni dunia tasawuf, sosok Guru Madjid juga dikaitkan dengan cerita-cerita ajaib yang menunjukkan karamahnya. Rakhmad Zailani Kini dalam buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi menjelaskan, para murid sang syekh sering melihat kejadian aneh nan menakjubkan pada diri ulama tersebut.
Para murid sang syekh sering melihat kejadian aneh nan menakjubkan pada diri ulama tersebut (Guru Madjid).NAMA TOKOH
Keajaiban, yang dalam bahasa Arab disebut khariqul ‘adah, itu dapat dilihat dalam beberapa kisah. Misalnya ketika sang kiai selamat dari reruntuhan masjid di jalan Pecenongan. Padahal, bangunan tempat ibadah itu sedang digunakannya untuk mengaji.
Diceritakan pula, pada suatu ketika Guru Madjid sedang mengajar para santri. Ia ditemani seorang ulama, KH Abdurrahman. Tiba-tiba, ia memperoleh firasat untuk memindahkan acara pengajian dari dalam ruangan ke serambi masjid. Sekitar 15 menit kemudian, bangunan utama masjid itu tiba-tiba roboh dan tinggal serambinya saja yang masih utuh.
Di tengah kesibukannya berdakwah, Guru Madjid juga aktif di sejumlah organisasi masyarakat (ormas) keislaman. Misalnya, Majelis Syuro Muslimin Indonesia dan Nahdlatul Ulama (NU). Ketika Jepang menguasai Tanah Air, sang alim sempat menjadi seorang anggota Cosangiin atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta.
Guru Madjid juga termasuk produktif dalam menghasilkan karya-karya tulis. Ada beberapa buku yang ditulisnya. Misalnya, Taqwimun Nayyirain yang membahas ilmu falak.
Untuk mata pencaharian, dirinya juga bekerja sebagai pedagang. Di antara komoditas jualannya ialah tekstil atau pakaian.
Di Jakarta tempo itu, ada lima pakar silat kenamaan. Selain Guru Madjid, ialah KH Mohammad Mansur dari Jembatan Lima, KH Ahmad Kholid dari Gondangdia, KH Mahmud Romli dari Menteng Dalam, KH Ahmad Marzuki dari Klender, dan KH Abdul Mughni dari Kuningan, Jakarta Selatan.
Guru Madjid wafat pada 27 Juni 1947 dalam usia 60 tahun. Ia dimakamkan di sekitar Masjid Al Musari’in, kampung Basmol, Kembangan Utara, Jakarta Barat.
Sebelum wafat, sang alim sempat meminta kepada seorang muridnya, KH Abdul Ghani. Ia ingin agar jenazahnya dimakamkan di lingkungan masjid binaan Kiai Abdul Ghani.
Meskipun telah lama wafat, hingga kini jasa-jasanya masih terus dikenang. Setiap tahun, masyarakat Jakarta menggelar haul atau peringatan tahunan hari meninggal dunia. Untuknya, itu dihelat rutin pada setiap pertengahan bulan Sya’ban.
Kisah teladan
KH Abdul Madjid merupakan seorang ulama besar. Alumnus Masjidil Haram itu juga memiliki watak yang rendah hati. Tidak sedikitpun perasaan sombong tumbuh dalam diri mubaligh tersebut.
Kisah berikut ini menggambarkan sifatnya yang patut diteladani. Seperti disampaikan Al-Hafiz Kurniawan dalam artikelnya di laman NU, “Guru Madjid dan Tukang Cukur”, pada suatu hari mubaligh itu sedang menjalankan rutinitasnya dalam mencari nafkah, yakni berdagang kain.
Di pasar sekitar Pekojan, ia menggelar dagangannya. Lantas, datanglah seorang tukang cukur keliling. Si ahli pangkas rambut itu lalu mengeluhkan sepinya pelanggan.
Keduanya biasa berbincang-bincang tentang usaha masing-masing. Di lain waktu, percakapan pun mengaitkan pedagang lain yang juga mangkal di sepanjang pinggir jalan. Mereka sudah lama saling kenal.
Sebagaimana umumnya orang-orang di pasar, para pedagang itu tidak sampai detail mengenal diri kawannya masing-masing. Akan tetapi, tukang kain dan tukang cukur itu tampak begitu akrab. Mungkin, hal itu disebabkan tempat keduanya berjualan memang persis bersebelahan.
Suatu pagi, tukang kain mengundang kawannya itu untuk datang ke rumahnya. Si tukang cukur pun menyambangi rumah temannya itu. Hari beranjak siang. Sekitar sejam sebelum azan zuhur berkumandang, tukang kain mengajak si tukang cukur untuk ke masjid.

Karena merasa sungkan apabila menolak, maka sang tamu menurut saja. Sesampainya di masjid, keduanya sempat terpisah. Si tukang cukur terkejut karena menyaksikan masjid itu penuh sesak orang-orang yang berpakaian rapi. Banyak pula di antara mereka yang memegang kitab.
Tukang pangkas rambut ini merasa kurang nyaman. Sebab, dirinya memasuki masjid dengan pakaian ala kadarnya, seperti orang mau ke pasar saja. “Astagfirullah, ini para kiai, mau ngapain? Kalau mau mengaji, siapa gurunya?” tanyanya dalam hati.
Lebih terkejut lagi tukang cukur itu saat menyaksikan si tukang kain duduk mengambil posisi di mimbar masjid. “Ya Kariim, siapa ini orang? Kok dia berani-beraninya duduk di tempat guru?” katanya.
Maka tersadarlah ia kemudian. Kawan yang dijumpainya sehari-hari berdagang kain ternyata adalah guru para kiai itu. Dan namanya adalah KH Abdul Madjid.
Pascabanjir Bandang Derna Libya
Jumlah korban tewas akibat banjir dahsyat di kota Derna, Libya timur, telah meningkat menjadi 5.300 orang.
SELENGKAPNYAMasa Depan Manusia, Alam, dan Teknologi dalam Industri Kreatif
Brightspot Market tahun ini menghadirkan jenama lokal dari berbagai kota di seluruh Indonesia.
SELENGKAPNYADigitalisasi Dokumen Perusahaan Kini Semakin Mudah
Infomedia menerima tantangan zaman dengan menyiapkan platform digital untuk penyimpanan.
SELENGKAPNYA