Kerusuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023). | Dok Republika

Kisah Dalam Negeri

Warga Rempang Mohon Dihargai

Masyarakat Pulau Rempang tidak menolak pembangunan di tempat kelahiran mereka.

JAKARTA — Masyarakat Pulau Rempang tidak menolak rencana BP Batam dan pemerintah dalam pembangunan zona industri serta investasi Rempang Eco-City di Kepulauan Riau tersebut. Namun, warga setempat tak menghendaki penggusuran yang dilakukan tanpa musyawarah. Sebanyak 8.000 orang warga di kawasan tersebut meminta agar mereka tak dipindahkan.

“Kami tidak menolak pembangunan, tapi hargai jugalah kami ini sebagai masyarakat yang sudah dari kakek, nenek, buyut kami sudah tinggal di sini,” kata Suhardi saat dihubungi Republika dari Jakarta, Jumat (8/9/2023).

Suhardi adalah seorang nelayan 60-an tahun, kepala keluarga generasi ketiga dari etnis Melayu Tua yang sejak orok sudah hidup di Pulau Rempang. Sebagai warga yang juga memiliki hak atas sejumlah lahan untuk hidup biasa sehari-hari, ia merasa diabaikan dan dibuang. Ia mengaku tak pernah melihat ada dialog dan musyawarah dengan warga setempat mengenai rencana pembangunan zona industri Rempang Eco-City.

“Selama ini yang ada disampaikan BP Batam ke kami hanya diminta kosongkan Rempang dan nanti disediakan rumah gantinya di Galang,” kata Suhardi. Pulau Galang adalah kawasan tetangga sisi selatan Pulau Rempang.

photo
Sejumlah warga melakukan aksi pemblokiran jalan di Jembatan 4 Rempang, Galang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (21/8/2023). - (Antara/Teguh Prihatna)

Suhardi mengingat ketika pihak BP Batam "menyatroni" satu per satu keluarga di Rempang mengenai tawaran itu. “Yang pertama kali itu dijanjikan rumah tipe 45, luasnya 200 meter. Yang terakhir itu ditawari rumah tipe 45, tanahnya 500 meter,” kata Suhardi.

Tetapi, kata Suhardi, warga tak ada yang berminat. Menurut dia, bukan ganti-mengganti atau pindah-memindah yang menjadi soal. Akan tetapi, dikatakan dia, penolakan warga lantaran adanya keterikatan batin masyarakat yang mayoritas dari 16 suku Melayu Tua dengan Pulau Rempang.

“Ini kan tanah leluhur nenek moyang kami, atok-atok (kakek, nenek, buyut) kami sudah menetap di sini sebelum Indonesia merdeka. Kami menjaga turun-temurun tanah-tanah kami. Kami bersyukur kalau ada pembangunan, tetapi jangan pindahkan kami,” kata Suhardi.

Tim Pendampingan Hukum Warga di Pulau Rempang, Petrus Selestinus, mengatakan, penolakan warga Rempang dan Galang atas sikap memaksa Otoritas Batam dan pemerintah dalam pembangunan Rempang Eco-City sudah menjadi konflik agraria yang sebetulnya tak perlu terjadi. Dia mengatakan, konflik tersebut justru hanya memberikan keuntungan kepada pihak ketiga.

“Sangat disayangkan sekali BP Batam, Polri, dan TNI kita malah disuruh untuk merelokasi paksa (gusur) warga yang sudah turun-temurun ada hidup di sana,” kata Petrus.

Kerusuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023). - (Dok Republika)

Dari catatannya, Petrus mengatakan, 16 suku Melayu Tua yang berada di Pulau Rempang sudah menghuni kawasan tersebut sejak 1834. “Mereka hanya tidak ingin dipindahkan dari tanah leluhur mereka,” ujar Petrus. Petrus menjelaskan, penguasaan lahan di Pulau Rempang oleh masyarakat setempat pun punya dasar hukum yang jelas.

Dikatakan Petrus, pada 1993, ada perjanjian antara otoritas Kepulauan Riau dan Kementerian Agraria menyangkut soal hak-hak dan keberadaan masyarakat Melayu Tua di Pulau Rempang. Perjanjian tersebut mengakui hak-hak dan keberadaan masyarakat di Pulau Rempang dengan mewajibkan BP Batam dan pihak pengembang untuk melakukan musyawarah dan kesepakatan untuk mengganti kerugian kepada masyarakat setempat apabila dilakukan pemanfaatan atas wilayah tersebut.

Namun, meski ada perjanjian tersebut, kata Petrus, masyarakat di Pulau Rempang tak pernah sekali pun ditempatkan ke dalam forum musyawarah untuk membahas rencana BP Batam dan pemerintah membangun Rempang Eco-City. “Dari 17 ribu hektare itu, ada 1.700 hektare yang merupakan tempat tinggal turun-temurun bagi masyarakat 16 suku Melayu Tua sejak 1843 yang ada di Pulau Rempang itu,” ungkap Petrus.

Sepuluh persen wilayah milik warga tersebut yang saat ini dipertahankan oleh masyarakat setempat. “Tidak ada warga di sana yang menolak kalau mau pembangunan. Mereka cuma minta tidak digusur. Mereka juga tidak mau menerima ganti rugi yang ditawarkan BP Batam,” kata Petrus.

photo
Sejumlah warga melakukan aksi pemblokiran jalan di Jembatan 4 Rempang, Galang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (21/8/2023). - (Antara/Teguh Prihatna)

Pulau Rempang di Batam, Kepulauan Riau, dijadikan target oleh pemerintahan Presiden Jokowi untuk proyek nasional Rempang Eco-City. Proyek tersebut bagian dari Program Pengembangan Kawasan Rempang yang masuk dalam Rencana Induk Pengembangan KPBPB Batam, Bintan, dan Karimun oleh BP Batam.

Masyarakat Melayu Tua sudah mendiami wilayah tersebut sejak 1843. Sejak proyeksi Rempang Eco-City dikampanyekan pemerintah, masyarakat adat Melayu Tua kerap melakukan aksi-aksi penolakan rencana pemerintah mengapitalisasi kawasan adat mereka. Puncaknya, pada Kamis (7/9/2023), BP Migas mengerahkan seribuan anggota satpol PP bersama pasukan aparat keamanan gabungan TNI AL dan Polri ke permukiman warga di Pulau Rempang untuk melakukan penggusuran.

Aksi sepihak tersebut mendapatkan perlawanan dari warga Pulau Rempang hingga terjadi bentrokan. Tak ada korban meninggal dunia dalam bentrokan warga dengan aparat keamanan gabungan TNI, Polri, dan satpol PP tersebut. Tetapi, puluhan warga biasa dikabarkan mengalami luka-luka karena dipukuli aparat. Kepolisian juga menyerang warga dengan tembakan gas air mata yang menyebabkan beberapa warga dilarikan ke rumah sakit.

Serangan gas air mata tersebut pun menembus ruang-ruang kelas siswa sekolah yang sedang belajar saat bentrokan tersebut terjadi. Akibatnya, 14 murid-murid sekolah tak sadarkan diri karena sesak napas dan iritasi mata. Kini, 14 siswa-siswi tersebut sudah kembali ke rumah masing-masing tanpa ada keluhan lagi.

Kerusuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023). - (Dok Republika)

Badan Pengusahaan (BP) Batam berdalih adanya provokasi dari kubu warga yang menyebabkan aparat gabungan bersikap represif. Tanggapan BP Batam disampaikan seiring beredarnya informasi tindakan represif tim gabungan yang terdiri atas Polri, TNI, Ditpam BP Batam, dan satpol PP terhadap masyarakat yang menghalangi jalannya personel pada Kamis (7/9/2023). "Peristiwa yang sebenarnya terjadi tidak demikian," kata Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait.

Ariastuty mengeklaim masyarakat yang mengatasnamakan warga Rempang terlebih dulu melemparkan batu dan botol kaca ke arah personel gabungan yang akan memasuki wilayah Jembatan 4 Barelang. "Pelemparan ini terus terjadi meski aparat telah mengimbau melalui pengeras suara agar barisan massa tidak gegabah dalam mengambil tindakan," ucap Ariastuty.

Dari kejadian itu, Ariastuty mengungkapkan adanya provokator dari kubu warga yang diciduk aparat kepolisian. "Informasi dari tim di lapangan, sudah ada beberapa oknum provokator yang ditangkap pihak kepolisian. Beberapa di antaranya bahkan didapati membawa parang dan sudah berhasil diamankan," ujar Ariastuty.

Komnas HAM menyatakan tengah menjadi mediator atas masalah tersebut. Komnas HAM telah menerima surat pengaduan dari ketua Koordinator Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) pada 2 Juni 2023. Isi suratnya perihal permohonan legalitas lahan masyarakat kampung-kampung di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru. "Komnas HAM sedang menangani kasus tersebut melalui mekanisme mediasi HAM," kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro.

photo
Warga Batam yang tergabung dalam Himpunan Masyarakat Adat Pulau Rempang-Galang (Himad Purelang) menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Badan Intelijen Negara (BIN), Jakarta Selatan, Rabu (2/3). Dalam aksinya tersebut, mereka memohon kepada BIN untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan khusus terhadap pelabuhan-pelabuhan tanpa izin di atas tanah negara yang terletak di Kota Batam, antara lain Pulau Tonton, Nipah, Setokok, Rempang, dan Galang. - (Republika)

Atnike menjelaskan, proses mediasi HAM perlu melibatkan sejumlah pihak yang terlibat. Komnas HAM sudah meminta kesediaan wali kota Batam, kepala BP Batam, kapolda Kepulauan Riau, dan Kantor Kepala Pertanahan Kota Batam guna mengikuti mediasi ini. "Komnas HAM telah mengirimkan surat kepada pihak terkait untuk permintaan klarifikasi dan mediasi," ujar Atnike.

Berdasarkan penelusuran sementara, Atnike mengungkapkan, kasus tersebut bermula dari adanya rencana relokasi warga di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru dalam mengembangkan investasi di Pulau Rempang menjadi kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang terintegrasi. "Kemudian akan dilakukan relokasi warga di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru yang diperkirakan antara 7.000 sampai 10 ribu jiwa," ucap Atnike.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta polisi menangani aksi massa di Rempang dengan penuh kemanusiaan. “Kita tetap secara hukum minta aparat penegak hukum untuk menangani masalah kerumunan orang itu atau aksi unjuk rasa atau yang menghalang-halangi eksekusi hak atas hukum itu supaya ditangani dengan baik dan penuh kemanusiaan,” kata Mahfud.

Kerusuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023). - (Republika)

Dia mengatakan, Polri tentu telah memiliki prosedur pengamanan yang perlu menjadi pedoman bagi setiap polisi ketika bertugas, terutama saat menghadapi aksi protes masyarakat. “Itu sudah ada standarnya. Itu masalah tindakan pemerintah dan tindakan aparat supaya Polri hati-hati. Sudah ada SOP-nya, nanti kita tinggal lihat saja,” kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Aktivitas Sekolah di Rempang Berhenti Pascabentrokan

Sampai hari ini aktivitas lalu-lalang truk-truk polisi dan TNI masih terjadi.

SELENGKAPNYA

Kapolri: Bentrok Rempang Buntut Penolakan Warga

Enam warga dilaporkan ditangkap dan puluhan lainnya mengalami luka.

SELENGKAPNYA

Membangun Pulau Rempang, Melindungi Masyarakat Lokal

Membangun Rempang idealnya harus melindungi masyarakat lokal yang ada di sana.

SELENGKAPNYA