
Opini
Membangun Pulau Rempang, Melindungi Masyarakat Lokal
Membangun Rempang idealnya harus melindungi masyarakat lokal yang ada di sana.
Oleh DEDI ARMAN, Peneliti Pusat Riset Kewilayahan-Badan Riset Inovasi Nasional
Masyarakat Pulau Rempang dan Pulau Galang, Kota Batam (Provinsi Kepri) dalam beberapa bulan belakangan hidup dalam suasana penuh kecemasan. Hal ini terkait pengembangan Pulau Rempang dan Galang menjadi kawasan ekonomi baru.
Proyek strategis nasional dengan nama Rempang Eco City dibangun PT Megah Elok Graha (MEG), anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata sebagai kawasan industri, jasa dan pariwisata. Dampaknya adalah ribuan warga yang tinggal di 16 kampung yang ada di dua kelurahan, yakni Kelurahan Rempang Cate dan Sembulang terancam direlokasi.
Penolakan masyarakat dibuktikan aksi unjuk rasa ribuan warga dari sejumlah kampung tua di Batam menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), Rabu (23/8/2023). Ada empat poin tuntutan warga. Yakni, warga menolak tegas relokasi 16 titik kampung tua yang berada di wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang. Warga juga meminta BP Batam dibubarkan, meminta pemerintah mengakui tanah adat dan ulayat warga, dan meminta pemerintah menghentikan intimidasi terhadap masyarakat yang menolak relokasi Kampung Tua, Rempang Galang. (Tempo, 24/8/2023).
Penolakan masyarakat dibuktikan aksi unjuk rasa ribuan warga dari sejumlah kampung tua di Batam.
Kesejarahan Rempang
Adanya penolakan masyarakat Rempang dan Galang pindah dari kampung halamannya sesuatu yang wajar. Mereka sudah mendiami daerah tersebut sudah ratusan tahun. Sementara, BP Batam yang dulunya bernama Otorita Batam baru lahir tahun 1970-an dan mulai membangun Batam. Dari sini lahirlah istilah kampung tua. Diartikan kampung yang sudah ada sebelum Otorita Batam (OB) atau BP Batam terbentuk tahun 1971.
Kesejarahan Rempang-Galang masa lampau bisa dilihat dalam catatan arsip Belanda dan Kesultanan Riau Lingga. Setidaknya sejak Abad 19, sejumlah sumber Belanda dan arsip Kesultanan Riau Lingga menunjukkan daerah Rempang dan Galang sudah ramai penduduknya. Catatan Elisha Netscher dalam Beschrijving van Een Gedeelte Der Residentie Riouw (1854), ada 18 pabrik pengolahan gambir (bangsal) di Kepulauan Riau tahun 1848.
Diantaranya ada di Galang, Sembulang, Duriangkang, dan Mukakuning. Pemilik bangsal gambir ini adalah orang Tionghoa. Tidak hanya gambir, perkebunan lada juga ada di wilayah Galang dan Rempang, serta Batam.
Tahun 1861, Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau X, Raja Muhammad Yusuf atas nama Sultan Riau Lingga dan disetujui Residen Belanda di Tanjungpinang mengeluarkan plakat, memberikan izin kepada tauke Tionghoa untuk membuka ladang gambir di Pulau Cembul, Pulau Bulang dan wilayah lain di Batam. Dalam plakat itu ditegaskan, pihak Kerajaan Riau Lingga akan menghukum seberat-beratnya siapa saja yang mengganggu usaha gambir orang Tionghoa itu.
Ada dua kelompok masyarakat yang mendiami Rempang-Galang sejak abad ke-19 tersebut.
Plakat ini menjadi dasar legalitas lahan untuk perkebunan. Ada dua kelompok masyarakat yang mendiami Rempang-Galang sejak abad ke-19 tersebut. Pertama, masyarakat Melayu dan Tionghoa. Masyarakat Tionghoa menjadi tauke gambir, lada dan ikan.
Sementara, masyarakat Melayu banyak bekerja sebagai nelayan, selain menjadi pekerja di perkebunan gambir dan lada. Kedua, masyarakat adat yang mendiami Pulau Rempang-Galang, yakni Orang Darat dan Orang Laut. Orang Darat mendiami daerah Kampung Sadap di Rempang Cate. Sementara, Orang Laut mendiami daerah pesisir Rempang-Galang dan pulau-pulau sekitarnya. (Arman, 2023).
Secara administrasi wilayah Rempang-Galang dulunya masuk dalam kekuasaan Belanda. Pasca bubarnya Kesultanan Riau Lingga tahun 1913, seluruh daerah Riau-Lingga termasuk Rempang- Galang diakui tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Pasca Indonesia merdeka, wilayah Rempang-Galang masuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau. Saat terbentuknya Kotamadya Batam tahun 1983, wilayah Rempang-Galang bergabung dan berpisah dari Kabupaten Kepri.
Memikirkan ulang relokasi
Adanya penolakan keras dari masyarakat menunjukkan pola pembangunan top down (atas ke bawah) dengan alasan proyek strategis nasional, tanpa melibatkan masyarakat lokal berpotensi pada tingkat konflik yang tinggi. Paradigma pembangunan di negara-negara berkembang sejak era tahun 80-an bertumpu kepada pembangunan ekonomi dengan output berupa pertumbuhan ekonomi. Model pembangunan prokapital seperti ini menghasilkan suatu kondisi kemiskinan, deprivasi, dan eksklusi sosial. Pilihan konsep pembangunan demikian oleh sebagian dikritik karena hanya menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi semata, seperti tingkat pertumbuhan gross domestic product (GDP), dan kurang memerhitungkan aspek-aspek nonekonomis. (Warsilah, 2015).
Adanya penolakan keras dari masyarakat menunjukkan pola pembangunan top down.
Hal ini dapat terlihat dari pernyataan sejumlah menteri yang datang ke Batam, seperti Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadia yang selalu membahas Pulau Rempang dari nilai investasi dan calon investor yang akan berinvestasi. Gubernur Kepri dan Walikota Batam/ Kepala BP Batam dalam berbagai pernyataannya mendukung pengembangan Pulau Rempang karena proyek strategis nasional dengan harapan menjadikan Batam makin maju.
Dari permasalahan Rempang ini, ada sejumlah poin bisa jadi catatan. Pertama, apakah sudah ada kajian akademis tentang dampak sosial ekonomi dan budaya terhadap masyarakat akibat dampak pembangunan Rempang Eco City ini ? Kedua, apa yang jadi dasar untuk memilih relokasi jadi pilihan, apakah sudah ada kajian atau hanya kebijakan dari atas. Ketiga, apakah pemerintah sudah mendata secara riil jumlah warga yang terdampak pengembangan Pulau Rempang. Data tersebut misalnya status tanah, jumlah fasilitas umum, seperti sarana pendidikan, pemakaman. Termasuk berbagai jenis usaha masyarakat yang ada, seperti pertanian, perkebunan dan peternakan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia relokasi diartikan pemindahan tempat rencana industri pada suatu daerah untuk segera diwujudkan (kbbi.web.id). Pendapat lainnya, relokasi ialah kebijakan yang membatasi kegiatan pemerintah atau kegiatan bisnis dengan biaya yang menyertainya dan persyaratan administrasi. Terkait relokasi apakah sudah dikaji secara akademis lokasi tempat relokasi warga di daerah baru. Ini bukan hanya masalah kesiapan lahan, pembangunan rumah namun juga harus memperhatikan aspek masa depan kawasan tersebut. Mengambil kebijakan relokasi tanpa didasari kajian yang mendalam akan menjadi bom waktu dan memunculkan permasalahan di kemudian hari.
Membangun Rempang idealnya harus melindungi masyarakat lokal yang ada di sana.
Membangun Rempang idealnya harus melindungi masyarakat lokal yang ada di sana. Rencana relokasi harus dipikirkan matang-matang dan dengan kajian mendalam. Dalam pembangunan Rempang ini, jangan semata aspek bisnis yang dikedepankan. Jangan menjadi urusan Kemenko Perekonomian, Kemenko Kemaritiman, Kementerian ATR dan Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian Investasi dan BPKM saja. Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Hukum dan HAM juga harus dilibatkan karena menyangkut masalah sosial kemasyarakatan, kemanusiaan, terkait masyarakat adat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga harus mengambil peran karena menyangkut nasib ribuan masyarakat yang terancam tergusur dari tanah tumpah darahnya. Investasi harus didukung, tapi kebijakan membangun Rempang juga perlu dikritisi. Membangun Rempang dan rencana merelokasi warganya perlu ada alasan dan pertimbangan yang matang. Apa alasannya? Untuk kepentingan apa dan siapa? Penguasa, pengusaha atau untuk masyarakat?
Kapolri: Bentrok Rempang Buntut Penolakan Warga
Enam warga dilaporkan ditangkap dan puluhan lainnya mengalami luka.
SELENGKAPNYAEkspor Pasir dan Proyek-Proyek di Rempang
Sejumlah proyek ambisius diwacanakan di Pulau Rempang.
SELENGKAPNYA