Hikmah hari ini | Republika

Hikmah

Manusia Tunakuasa

Mengapa manusia yang tunakuasa berubah menjadi berkuasa sekali?

Oleh ABDUL MUID BADRUN

Harus diakui bahwa kekuasaan telah menjadi teaser dan tujuan utama sebagian besar manusia modern. Setelah dia kaya, memiliki segalanya, tetap saja ingin berkuasa melebihi yang lainnya.

Syahwat kuasa ini (jika tidak terkendali) akan menjelma menjadi nafsu syahwat kekuasaan yang semakin menjauhkan dirinya dari tujuan mulia kekuasaan. Maka, wajar arena kekuasaan seperti pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan rektor, pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati selalu menarik untuk diberitakan.

Lalu, bagaimana dengan kekuasaan manusia? Mengapa manusia yang hakikatnya tuna kuasa berubah menjadi berkuasa sekali atas apapun di dunia ini?

 
Mengapa manusia yang hakikatnya tuna kuasa berubah menjadi berkuasa sekali atas apapun di dunia ini?
 
 

Manusia sejatinya tidak punya kuasa apapun. Selain, karena ia dikehendaki oleh Allah SWT. Hal ini dijelaskan secara apik dalam Alquran Surah Ali Imran: 26. Itu artinya, mulai dari tingkat RT, RW, kepala desa, camat, bupati, wali kota, gubernur, presiden, lalu rektor, dekan, kaprodi, komut, dirut dan apapun jabatannya hanyalah alat untuk menjalankan semua kehendak Allah SWT.

Kekuasaan manusia ini sekali lagi hanya alat yang diberikan Allah SWT untuk sebesar-besarnya bagi tegaknya keadilan (QS an-Nahl: 90). Karena, dengan berlaku adil inilah jalan termudah menuju takwa (QS al-Maidah: 8).

Jika semua menyadari postulat ini sejak awal, bagi yang sudah berkuasa atau yang mau berkuasa, maka niat berkuasa akan menjadi baik dan benar. Berkuasa dalam level dan bidang apapun, selalu dipahami sebagai alat untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Bukan untuk menumpuk harta dan melanggenggkan jabatan.

Pentingnya bagi kita semua kesadaran bersama bahwa yang berkuasa itu Allah SWT, bukan manusia. Maka, manusia hendaknya mendekati-Nya, membujuk dan merayu-Nya agar ketika kuasa itu diberikan tidak sampai lupa diri dan lupa daratan.

Lalu, apa sejatinya tugas kita sebagai manusia? Tugas manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi.

Hal ini dapat dipahami dari firman Allah yang artinya, ”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan (manusia) seorang khalifah di muka bumi.' Mereka berkata, 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman, 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui'.” (QS al-Baqarah: 30).

 
Sedekahnya pemimpin adalah kebijakan. Maka, jadikan setiap kebijakan yang diambil bertumpu pada keadilan dan berproses pada jalan kebenaran.
 
 

Mengapa Allah SWT meminta manusia yang jelas-jelas banyak sekali kelemahan? Ini dijelaskan dalam QS Fathir: 39 dan QS al-An'am: 165, “Allah mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi”.

Lalu, manusia adalah makhluk yang termulia di antara makh­luk-makhluk yang lain (QS al-Isra’: 70) dan ia dijadikan oleh Allah SWT dalam sebaik-baik bentuk atau kejadian, baik fisik maupun psikis (QS al-Tin: 5).

Karena itulah maka sudah selayaknya manusia menyandang tugas sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi. Tugas manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi, antara lain, menyangkut tugas mewujudkan kemakmuran di muka bumi (QS Hud: 61), mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan hidup di muka bumi (QS al-Maidah: 16), dengan cara beriman dan beramal saleh (QS al-Ra’d: 29), bekerja ­sama dalam menegakkan kebenaran dan bekerja sama dalam mene­gakkan kesabaran (QS al-’Ashr: 1-3).

Karena itu tugas kekhalifahan merupakan tugas suci dan amanah dari Allah SWT sejak manusia pertama hingga manusia pada akhir zaman. Dari sinilah bahwa jabatan yang diemban ketika menjauhi keadilan, kebenaran, dan kemakmuran, segeralah bertobat dan kembali pada-Nya.

Dengan bahasa sederhana, apapun jabatan dan dimanapun amanah kekuasaan itu diberikan, yang utama dan pertama dilakukan adalah bagaimana kebijakan yang diambil mendekatkan pada keadilan dan kebenaran atau tidak.

Karena, sedekahnya pemimpin adalah kebijakan. Maka, jadikan setiap kebijakan yang diambil bertumpu pada keadilan dan berproses pada jalan kebenaran.

Wallahu a'lam.

Kerinduan Menista Agama Tuhan

Apa salahnya hidup damai, tenang dan rukun?

SELENGKAPNYA

Mewaspadai Jerat Judi

Seorang bermain judi, tapi tidak merasa sedang berjudi.

SELENGKAPNYA

Tiga Ahli Amal Terjerumus Neraka

Ketiga orang ini rajin beramal selama di dunia, tetapi tidak dilandasi niat karena Allah.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya