Hikmah
Mewaspadai Jerat Judi
Seorang bermain judi, tapi tidak merasa sedang berjudi.
Oleh AHMAD RIFAI
Judi termasuk dosa klasik yang tetap eksis hingga kini. Dengan perkembangan teknologi, permainan judi juga semakin canggih.
Karena kecanggihannya pula, keberadaan judi sangat terselubung dan tersamarkan. Alhasil, seorang bermain judi, tapi tidak merasa sedang berjudi.
Padahal, judi termasuk dosa besar. Mudharat dan kerusakannya juga sangat tinggi. Selain menambah dosa, juga merusak akal, menimbulkan permusuhan, dan merusak perekonomian. Allah SWT secara tegas menyebutkan judi adalah perbuatan setan yang menjadi sumber beragam keburukan.
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS al-Maidah: 90-91).
Mencermati bahaya judi --sebagaimana termaktub pada ayat di atas-- menjadi sangat urgen mengenali hakikat perjudian. Terlebih suatu keburukan memang terkadang sengaja disamarkan oleh para pelopornya. Tetapi dengan mengenali hakikatnya, judi tetap dapat dideteksi meski telah dibalut dengan kemasan yang memukau.
Dengan mengenali hakikatnya, judi tetap dapat dideteksi meski telah dibalut dengan kemasan yang memukau.
Karenanya para ulama telah membekali kita dengan beragam kaidah agar tidak salah dalam menilai suatu praktik muamalah dan permaianan. Salah satunya adalah kaidah fiqih yang berbunyi, “Al ibrah bil ma’ani la bil alfadz" (Menilai suatu praktik muamalah itu dengan mengacu pada substansi bukan pada lafaznya). (Al Qawaid Al Fiqhiah, Muhammad Bakar Ismail, Hal 39).
Berdasarkan kaidah di atas, menilai suatu permainan tidak cukup hanya mengacu pada nama permainan itu. Yang dilihat adalah substansinya. Meski namanya indah dan kedengaran bagus, tapi substansi judi ada di dalamnya maka tetap itu adalah judi.
Berkaitan hakikat judi, para ulama berbeda pendapat dalam menarasikannya. Ibnu Abil Fath Alhanbali menjelaskan, “Judi adalah permainan dengan harta (dari para pemain) dan pemenang mengambil harta dan yang kalah kehilangan harta." (Al Mathla, 256-257).
Almawardi dari madzhab Syafi’i berkata, “Judi adalah segala sesuatu yang memasukinya berarti memasuki dua kemungkinan, untung jika menang dan rugi jika kalah.” (Al Hawi Al Kabir, 19/225).
Mencermati defenisi di atas kita perlu waspada aneka permainan yang bermunculan. Termasuk permainan melalui aplikasi smartphone. Jika kriteria di atas ada pada suatu permaianan maka dipastikan itu judi sehingga wajib dijauhi. Jika tidak, maka beragam kerusakan dan keburukan akan bermunculan.
Ibnu Taimiyah berkata, "Maka jelaslah, perjudian itu mengandung dua kerusakan. Pertama, kerusakan pada harta berupa memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Kedua, kerusakan pada amalan. Dalam perjuadian selain kerusakan harta juga keruskan hati, akal sehat dan permusuhan dengan sesama.” (Majmu Fatawa, 32/237).
Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari beragam praktik perjuadian.
Kejinya Perbuatan Homoseksual
Alquran, hadis, dan ijma ulama tegas mengharamkan perbuatan liwath.
SELENGKAPNYASang Pendidik dari Banjarnegara
KH Abdul Fatah mendirikan pondok pesantren di Parakancanggah, Banjarnegara, Jateng.
SELENGKAPNYAMengenal Sejarah Islam di China
Dalam buku ini, berbagai fakta sejarah yang menarik disajikan terkait hubungan China dan Islam.
SELENGKAPNYA