Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Novasi Subjektif Menurut Fatwa DSN MUI

Skema novasi atau pergantian akad menurut Fatwa DSN.

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saya ingin mendapatkan penjelasan terkait novasi (pergantian akad) yang sesuai syariah seperti apa. Bagaimana skema dan ketentuannya menurut fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)? Mohon penjelasan Ustaz. -- Mardani, Lampung

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Pertama, sebagai mukadimah, perlu dijelaskan bahwa selama ini yang menjadi referensi termasuk di perbankan syariah (bagian legal perbankan syariah) itu hukum perdata. Oleh karena itu, jika ingin membahas novasi dari sudut pandang syariah, maka harus menyertakan fatwa-fatwa DSN MUI terkait sebagai rujukan seperti Fatwa DSN MUI No 103/DSN-MUI/X/2016 tentang Novasi Subjektif Berdasarkan Prinsip Syariah.

Kedua, agar mudah memahami apa itu novasi subjektif, sesungguhnya ada dua kata kuncinya.

[1] Ada pergantian kreditur atau debitur sebagai pihak dalam transaksi, di mana kreditur lama diganti dengan kreditur baru atau debitur lama diganti dengan debitur baru.

[2] Karena ada kreditur atau debitur digantikan, sehingga dalam novasi perjanjian lama ditutup atau dihentikan, kemudian dibuat perjanjian baru.

Ketiga, jika kreditur diganti dengan kreditur baru, dan perjanjian lama ditutup, maka dinamakan novasi aktif. Tetapi jika yang diganti adalah debitur dan perjanjian lama ditutup, maka dinamakan novasi pasif.

Dari sisi ketentaun hukumnya, novasi subjektif aktif yang berupa penggantian kreditur itu dibolehkan saat diberlakukan ketentuan hawalat al-haqq. Sedangkan novasi subjektif pasif yang berupa penggantian debitur itu dibolehkan saat diberlakukan ketentuan fikih tentang hawalat al-dain.

Selain bentuk akad di atas (hawalat al-haqq dan hawalat al-dain) juga memenuhi ketentuan berikut. (a) Kehendak untuk mengadakan novasi subjektif harus dinyatakan secara tegas dan jelas oleh para pihak dalam akta perjanjian. (b) Dalam akta perjanjian novasi subjektif pasif harus dinyatakan secara tegas mengenai pembebasan debitur lama dari utangnya atau pembebasan kreditur lama dari piutangnya.

(c) Mekanisme penggantian debitur dapat dilakukan dengan menggunakan akad hawalah bil ujrah dengan berpedoman pada fatwa DSN-MUI Nomor 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah. (d) Novasi subjektif hanya boleh dilakukan atas utang-piutang yang sah berdasarkan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (e) Ketentuan mengenai jaminan dan pengikatannya diatur sesuai dengan kesepakatan.

Keempat, seperti apa ilustrasi hawalatul haq, bisa dijelaskan dalam ilustrasi --sebagaimana dalam fatwa DSN MUI.

(a) Contoh tanpa kompensasi. Kreditur (LKS A) memiliki piutang kepada debitur (nasabah). Kreditur (LKS A/kreditur lama) mengajukan penawaran kepada pihak lain (calon kreditur baru) untuk mengalihkan piutangnya dan calon kreditur baru menyetujuinya. LKS A (muhil) dan kreditur baru (muhal lahu) melakukan akad novasi pengalihan piutang. Kreditur baru menerima pembayaran dari nasabah secara bertahap sesuai kesepakatan.

(b) Contoh dengan kompensasi (Muqabil). Kreditur (LKS A) memiliki piutang kepada debitur (nasabah). Kreditur (LKS A) mengajukan penawaran kepada pihak lain (calon kreditur) untuk mengalihkan piutangnya dan calon kreditur menyetujuinya.

LKS A (muhil) dan kreditur baru (muhal lahu) melakukan akad pengalihan piutang uang dengan proses berikut: (1) Kreditur baru membeli barang dari pihak ketiga untuk membayar piutang uang kepada LKS A (dalam hal belum mempunyai barang). (2) Kreditur baru membayar atau melunasi piutang dengan menyerahkan barang (sebagai tsaman [kompensasi]) kepada LKS A.

(3) Para pihak setuju dan sepakat untuk membebaskan kreditur lama (LKS A) dari hak tagih atas piutangnya. Kreditur baru menerima pembayaran dari nasabah secara bertahap sesuai kesepakatan.

Kelima, seperti apa ilustrasi hawalatu ad-dain, sederhananya seperti melanjutkan utang pihak lain. Detailnya dijelaskan dalam ilustrasi --sebagaimana dalam fatwa DSN MUI.

(a) Contoh tanpa kompensasi. Debitur A mempunyai utang kepada LKS. Debitur A mengajukan permohonan kepada pihak lain (calon debitur) untuk melanjutkan pembayaran utang kepada LKS dan calon debitur menyetujuinya.

Calon debitur dan debitur A melakukan akad (perjanjian) novasi atas persetujuan LKS serta para pihak setuju dan sepakat untuk membatalkan akad (perjanjian) sebelumnya. Debitur baru dan LKS membuat akad (perjanjian) terkait kesanggupan dan kesediaan debitur baru untuk membayar utang debitur lama secara bertahap sesuai perjanjian. Debitur baru membayar utang debitur lama kepada LKS secara bertahap sesuai perjanjian.

(b) Contoh dengan objek pembiayaan murabahah. Debitur A mempunyai utang kepada LKS. Debitur A (debitur lama) mengajukan permohonan kepada pihak lain (calon debitur baru) untuk melanjutkan pembayaran utang kepada LKS dan calon debitur baru menyetujuinya.

Calon debitur baru dan debitur A (debitur lama) melakukan akad jual-beli objek murabahah (sebelumnya) atas persetujuan LKS serta para pihak setuju dan sepakat untuk membebaskan debitur lama dari utangnya.

Debitur baru dan LKS membuat akad terkait kesanggupan debitur baru untuk membayar utang debitur lama secara bertahap sesuai perjanjian. Debitur baru membayar utang debitur lama kepada LKS secara bertahap sesuai perjanjian.

Wallahu a’lam.

Radikalisme tak Muncul dari Tempat Ibadah

Pemerintah tidak bisa mengontrol tempat ibadah atas dasar radikalisme

SELENGKAPNYA

Rakyat Kecil tentang Wajah Bopeng Politik Indonesia

Elite politik dan elite polisi sudah tidak peduli lagi dengan dosa dan dusta.

SELENGKAPNYA

Malu dan Iman

Malu dan iman merupakan dua hal identik yang senantiasa berjalan beriringan.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya