Ahmad Syafii Maarif | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Rakyat Kecil tentang Wajah Bopeng Politik Indonesia

Elite politik dan elite polisi sudah tidak peduli lagi dengan dosa dan dusta.

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

Saya bertanya kepada para sopir taksi, saya bertanya kepada jamaah masjid, saya bertanya kepada rakyat biasa, saya bertanya kepada polisi pangkat rendah, saya bertanya kepada banyak pihak yang muak dengan keadaan. Tentang apa?

Tentang wajah politik Indonesia sekarang ini dengan para politisinya. Jawab mereka serentak tanpa dikomandoi: buruk dan busuk. Jawaban ini sekaligus telah menampar seluruh elite politik yang tercabut dari akar kultural bangsa, demi pragmatisme politik yang tunamoral.

Elite politik dan elite polisi sudah tidak peduli lagi dengan dosa dan dusta. Semakin karam dalam dosa dan dusta itu, akan semakin berontak batin rakyat kecil yang hampir putus asa menonton segala anomali ini. Alangkah rendahnya peradaban politik bangsa ini.

Rasa muak ini terasa di mana-mana, di kota dan di pelosok, tetapi mengapa kita tidak juga sadar akan kemerosotan kultur elite ini? Apakah akan kita biarkan bangsa ini meluncur terus ke jurang kebangkrutan moral dan kelumpuhan nurani para politisi ini?

 
Elite politik dan elite polisi sudah tidak peduli lagi dengan dosa dan dusta.
 
 

Di kalangan elite politik, perdebatan tentang masalah-masalah besar yang mengelilingi bangsa dan negara ini, seperti patriotisme, nasionalisme, demokrasi, cengkeraman asing atas sumber-sumber ekonomi bangsa, mental budak yang semakin masif, dan nilai-nilai luhur Pancasila yang semakin tenggelam, sudah berada di luar perhatian mereka.

Jika kecenderungan semacam ini tidak disetop sekarang dan untuk selama-lamanya, saya cemas bahwa Indonesia yang elok ini memang sedang menggali kuburan masa depannya. Saat sekarang kesadaran kebangsaan rakyat kecil jauh lebih kuat dibandingkan para elitenya. Situasinya akan sangat kontras jika disandingkan dengan era pergerakan nasional di mana kaum elitelah yang selalu memberi pencerahan kebangsaan kepada rakyat di akar rumput.

Mengapa semuanya menjadi serba terbalik? Dari bacaan saya, pascarezim otoritarian sejak 16 tahun yang lalu, politisi yang naik panggung hampir semuanya tidak mengalami latihan dan pendidikan politik yang berarti. Memang ada beberapa doktor ilmu politik, tamatan Barat atau domestik, tetapi kebanyakan mereka buta peta bangsanya sendiri.

Selama rezim otoritarian (1959-1998) memang tidak ada ruang nasional dan lokal untuk mencari dan memikirkan alternatif baru yang lebih segar bagi Indonesia. Semuanya takluk kepada “sabda pendeta ratu”, kebenaran politik adalah tunggal. Di luar itu adalah kepalsuan belaka. Era yang serba bercorak komando tunggal itu nyaris melumpuhkan pemikiran-pemikiran kreatif dan alternatif bagi Indonesia. Ini adalah tragedi sejarah modern Indonesia. Saya sendiri sebagai peminat sejarah juga terlalu terlambat menyadari semua penyakit kultural yang menghinggapi kehidupan elite ini.

 
Dalam pantauan saya, rata-rata politisi kita dari semua partai politik tidak mengenal Indonesia secara dalam dan luas.
 
 

Dalam pantauan saya, rata-rata politisi kita dari semua partai politik tidak mengenal Indonesia secara dalam dan luas. Akibatnya, dalam merumuskan perjuangan dan program partai tidak jarang mereka melompat dari sebuah kekosongan sejarah bangsanya. Dalam ungkapan lain, pengetahuan politisi tentang sejarah Indonesia amatlah minim.

Padahal, jika mereka mau membaca, sumber-sumber tentang kelampauan bangsa dan negara ini tidak sulit didapatkan. Apalagi, di era informasi teknologi, semuanya menjadi mudah. Musuh utamanya adalah malas membaca sehingga secara intelektual mereka tidak berkembang.

Untuk ke depan, saya sarankan para elite ini mau membaca tulisan-tulisan HOS Tjokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara, Agus Salim, Tan Malaka, Bung Karno, Bung Hatta, Arnold Mononutu, Ali Sastroamidjojo, Sutan Sjahrir, dan banyak lain sehingga wawasan keindonesiaan mereka tidak cetek seperti sekarang ini. Tanpa pengetahuan yang memadai tentang bangsa yang kini berpenduduk sekitar 250 juta ini, kegaduhan politik karena masalah-masalah kecil, seperti pertarungan Polri lawan KPK, tidak mungkin ditengok dalam perspektif kebangsaan yang lebih luas.

Penglihatan elite dengan memakai kacamata kuda akan dengan mudah dibaca oleh rakyat kecil karena nurani belum tercemar, sekalipun pengetahuan mereka serbaterbatas. Di mata rakyat kecil, wajah bopeng para elite ini semakin melukai batin mereka yang sebagian besar masih sengsara. 

Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 10 Februari 2015. Buya Ahmad Syafii Maarif (1935–2022) adalah ketua umum PP Muhammadiyah pada periode 1998-2005.

Eks Politikus PDIP Dieksekusi ke Lapas Sukamiskin

Mardani Maming dijebloskan ke penjara selama 12 tahun atas kasus suap.

SELENGKAPNYA

Cak Imin Digandeng Anies, PBNU Tegaskan tak Berpolitik

PBNU menekankan tak mendukung capres manapun.

SELENGKAPNYA

Etika Politik Islam tak Ajarkan Permusuhan

Etika politik Islam mengalirkan perilaku politik yang baik.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya