Malu erat kaitannya dengan akhlak mulia dalam diri seseorang. | Republika

Hikmah

Malu dan Iman

Malu dan iman merupakan dua hal identik yang senantiasa berjalan beriringan.

Oleh SAFWANNUR

Malu adalah anugerah bernilai tinggi pada diri seorang hamba yang merupakan salah satu cabang keimanan. Adanya rasa malu mengindikasikan bahwa iman masih tertancap kuat dalam dada seorang insan. Oleh sebab itu, sifat malu harus senantiasa dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Iman itu mempunyai tujuh puluh sekian cabang pintu, yang paling utama adalah ucapan "La Ilaha illallah", dan yang paling ringan adalah membuang duri dari jalan, dan malu adalah cabang dari iman.” (HR Ahmad).

Malu yang dimaksud tentu saja malu untuk melakukan hal-hal yang dipandang tidak etis secara agama dan melenceng dari tatakrama yang berlaku. Malu erat kaitannya dengan akhlak mulia dalam diri seseorang. Jika rasa malu ada pada diri seseorang, maka dia tidak akan berani melanggar aturan Allah, apalagi secara terang-terangan.

 
Malu erat kaitannya dengan akhlak mulia dalam diri seseorang. Jika rasa malu ada pada diri seseorang, maka dia tidak akan berani melanggar aturan Allah, apalagi secara terang-terangan.
 
 

Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR Ibnu Majah).

Islam sangat menekankan umatnya untuk memelihara rasa malu. Dalam suatu kesempatan Rasulullah SAW menasihati para sahabat dengan bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.”

Para sahabat berkata, “Kami malu kepada Allah wahai Rasulullah, alhamdulillah.”
Nabi SAW bersabda, “Bukan itu, orang yang malu kepada Allah dengan sebenarnya hendaknya menjaga kepala dan yang berada di sekitar kepala, menjaga perut dan apa saja yang masuk ke perut, menjaga kemaluan, dua tangan, dan dua kaki. Dan hendaklah ia mengingat mati dan kehancuran.

Barangsiapa yang menginginkan akhirat, niscaya ia meninggalkan perhiasan hidup di dunia dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan sebenarnya.” (HR at-Tirmidzi).

Malu dan iman merupakan dua hal identik yang senantiasa berjalan beriringan. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya. Demikian dikatakan oleh Abdullah bin Umar sebagaimana diriwayatkan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad.

Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri berkata, “Sesungguhnya sebagian yang masih diingat orang dari ajaran para nabi terdahulu adalah jika tidak malu maka berbuatlah sesukamu.” (HR al-Bukhari).

 
Hadis ini sekilas terlihat seperti perintah, padahal sejatinya hadis ini menunjukan peringatan keras bagi orang yang tidak memiliki rasa malu untuk melakukan apa pun sekehendak hatinya.
 
 

Hadis ini sekilas terlihat seperti perintah, padahal sejatinya hadis ini menunjukan peringatan keras bagi orang yang tidak memiliki rasa malu untuk melakukan apa pun sekehendak hatinya. Dia tidak merasa malu kepada Allah atas kemaksiatan yang terang-terangan dilakukan, bahkan dengan rasa bangga dipublikasikan.

Orang yang tidak memiliki sifat malu, akan mudah tenggelam dalam lautan perbuatan keji dan mungkar. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitab ad-Da’ wa ad-Dawa’ (hal 169) menyebutkan bahwa tumpukan dosa akan melemahkan rasa malu, bahkan bisa menghilangkannya secara keseluruhan dari diri seorang hamba.

Akibatnya, pelakunya tidak lagi peka atau merasa risih meskipun perilaku buruknya diketahui banyak orang. Mereka menganggap itu hal bisa, bahkan menceritakan keburukannya kepada orang lain yang seharusnya itu merupakan aib yang harus ditutupi.

Allah SWT memuji sifat malu putri Nabi Syu’aib saat menemui Nabi Musa untuk menyampaikan pesan dari ayahandanya. Hal ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah perhiasan termahal bagi kaum hawa.

Allah SWT berfirman, “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan malu-malu, ia berkata: 'Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami'.” (QS al-Qasas [28]: 25).

Wallahu a’lam.

Menyemai Generasi Peneliti

Menyemai generasi peneliti bisa dilakukan dengan terus menciptakan kondisi akademik.

SELENGKAPNYA

Kemuliaan Abadi

Kemuliaan abadi hanyalah ada dalam mengikuti Kitabullah, Sunnah Rasul, dan mendalami agama.

SELENGKAPNYA

Kesaksian Abu Hurairah Ihwal Keberkahan Nabi

Abu Hurairah menyaksikan, susu yang biasanya dapat mengenyangkan satu orang saja, kini dapat dinikmati banyak sahabat Nabi yang kelaparan.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya