Pengunjung mengamati sejumlah karya dalam Pameran Komik Moderasi Beragama ModeArt di Kawasan Pusaka Masjid Raya Baiturrahman, Simpang Lima Semarang, Jawa Tengah. | ANTARA FOTO/Aji Styawan

Liputan Khusus

Tantangan Moderasi Beragama di Era Digital

Aktualisasi moderasi beragama perlu lebih masif di dunia maya, khususnya menjelang “tahun politik.”

Oleh Hasanul Rizqa

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mencanangkan “Indonesia Maju” sebagai Visi Indonesia 2045. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, moderasi beragama menjadi salah satu strategi pembangunan karakter sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Tujuan utamanya mengukuhkan kerukunan antarumat agama-agama di Tanah Air.

Menurut peneliti Prof Muhammad Murtadlo, Kementerian Agama (Kemenag) RI telah menggulirkan wacana dan konsep moderasi beragama sejak 2016. Program ini digaungkan pemerintah sebagai jawaban strategis untuk menangani isu intoleransi atau absennya tenggang rasa di tengah masyarakat.

Secara kebahasaan, istilah moderasi berarti “penghindaran keekstreman” atau sikap tengah-tengah di antara beberapa ekstremitas. Terminologi itu mirip dengan wasathiyah atau tawasuth dalam bahasa Arab. “Moderasi yang dimaksud adalah berada dalam bidang nonteologis, yakni bidang kehidupan saat para pemeluk agama berinteraksi,” kata Murtadlo, seperti dikutip Republika dari naskah pidato pengukuhan profesor riset Kemenag bertajuk “Pendidikan Moderasi Beragama: Membangun Harmoni, Memajukan Negeri” (2021).

Sikap keberagamaan yang moderat mengandaikan kesediaan untuk hidup bersama dalam ikatan kebangsaan sekalipun berbeda iman atau keyakinan. Direktur Jenderal Bina Masyarakat Islam Kemenag Kamaruddin Amin mengatakan, moderasi selama ini menjadi karakteristik utama mayoritas umat agama-agama di Tanah Air. Dengan cara itu, kerukunan dapat terjalin. 

Sikap keberagamaan yang moderat mengandaikan kesediaan untuk hidup bersama dalam ikatan kebangsaan.
    

Bagaimanapun, tantangan untuk terus mengupayakan moderasi beragama di Tanah Air tidaklah mudah. Sejarah mencatat, cukup banyak fenomena sosial yang cenderung mendisrupsi kerukunan masyarakat Indonesia. Dampak buruknya bisa mereka rasakan bukan hanya dalam konteks hubungan antarumat, melainkan juga di internal kaum pemeluk agama.

Kamaruddin membenarkan, maraknya penggunaan internet menjadi tantangan tersendiri untuk penguatan moderasi beragama. Menurut survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 78,19 persen atau menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi yang sebesar 275.773.901 jiwa pada 2023.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by APJII (@apjii)

Survei yang sama pun menunjukkan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara masyarakat kota dan perdesaan mengenai kebiasaan mengakses internet. Tingkat penetrasi internet pada klasifikasi penduduk urban diketahui sebesar 77,36 persen dari jumlah populasi, sedangkan pada kalangan rural sebesar 79,79 persen dari jumlah populasi daerah perdesaan.

Kamaruddin mengingatkan tentang hasil penelitian yang dirilis Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah beberapa tahun lalu. Riset ini menjaring data dari dua platform media sosial, Twitter dan Youtube, dalam rentang 2009-2019. Temuan akhir menunjukkan adanya dominasi narasi paham konservatif di media sosial walaupun pemahaman keagamaan lain masih mewarnai, terutama di Twitter. Dengung konservatisme menguasai perbincangan di ranah maya dengan persentase sebesar 67,2 persen, disusul paham moderat (22,2 persen), liberal (6,1 persen), dan Islamis (4,5 persen).

“Artinya, ‘pertarungan’ di media sosial (saat itu) sudah dikuasai oleh kelompok-kelompok ekstrem. Untungnya, trennya saat ini mulai berimbang,” ujar Kamaruddin saat dihubungi Republika beberapa waktu lalu.

Adab bermedsos

“Terus Melaju Untuk Indonesia Maju” sebagai tema peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 RI memang menyiratkan optimisme. Semangat perlu untuk bangsa ini menuju Visi Indonesia Emas 2045. Akan tetapi, kabut pesimisme boleh jadi menyeruak dari jagat internet, tempat sebagian (besar) masyarakat Tanah Air memperoleh informasi dan berinteraksi sosial.

Idealnya, perilaku moderat selalu ditunjukkan seorang pemeluk agama di ruang maya—apatah lagi dunia sosial nyata. Sayangnya, rata-rata orang Indonesia sebagai pengguna internet belum membiasakan diri untuk berwatak toleran. Hal itu tampak dari hasil survei “Indeks Keadaban Digital” (Digital Civility Index/DCI) 2020 yang dirilis Microsoft pada Februari 2021 lalu.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Dewan TIK Nasional (@wantiknas)

Melalui survei itu, Microsoft mengumpulkan lebih dari 16 ribu responden dari 32 negara. Sebanyak 503 orang di antaranya berasal dari Indonesia. Mereka kemudian ditanya tentang 21 risiko daring (//online risks//) yang terbagi ke dalam empat kategori, yaitu perilaku, seksual, reputasi, dan pribadi mengganggu. Sistem penilaiannya menggunakan rentang skor nol hingga 100. Skor terendah mengindikasikan kesopanan (//civility//) yang baik.

Pada tahun awal survei (2016), tiap negara memulai dengan 100 poin. Seiring dengan berjalannya penelitian ini, poin tersebut berubah-ubah hingga menjelang akhir masa survei. Sebanyak 47 persen dari seluruh responden Indonesia terlibat dalam perundungan (bullying). Yang mengaku menjadi target bullying itu mencapai 19 persen. Adapun sumber-sumber penyebar ujaran kebencian sebanyak 48 persen berasal dari akun-akun anonim di media sosial (medsos).

Secara keseluruhan, hasil DCI 2020 menunjukkan, skor netizens Indonesia hanya sebesar 76 poin. Artinya, RI menempati urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei atau menjadi yang “terburuk” untuk kawasan Asia Pasifik.

Berkaca dari itu, krisis akhlak di jagat maya semestinya menjadi perhatian bersama, khususnya kaum Muslimin sebagai elemen mayoritas bangsa Indonesia. Menurut Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti, umat Islam harus menjadi yang terdepan dalam mengampanyekan keadaban, baik di dunia nyata maupun digital. Persyarikatan, misalnya, melalui Majelis Pustaka dan Informasi telah mengeluarkan Kode Etik Netizen Muhammadiyah (NetizMu) pada 2017 silam. Kemudian, pada 2019, Majelis Tarjih dan Tajdid meluncurkan Fikih Informasi sebagai tuntunan akhlak islami untuk, antara lain, bermedsos.

“Dalam era digital dan dunia yang semakin terbuka, sangat penting untuk terus menjaga akhlak,” kata Abdul Mu’ti saat dihubungi Republika, baru-baru ini. 

Dalam era digital dan dunia yang semakin terbuka, sangat penting untuk terus menjaga akhlak.
Prof Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah 

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Fahrur Rozi mengingatkan tentang pentingnya adab bermedsos, terutama kini menjelang “tahun politik” 2024. Jangan sampai perbedaan pendapat yang ada dan preferensi pilihan politik berujung pada pembelahan ekstrem di tengah masyarakat. Polarisasi itu dapat kian meruncing akibat konten-konten hoaks, disinformasi, atau bahkan fitnah yang dibuat atau disebarluaskan warganet yang tidak bertanggung jawab.

“Hindari kampanye hitam. Jangan menyebarkan kebohongan ke ruang publik, baik di langsung (dunia nyata) maupun maya, yang akan membuat rakyat terbelah dan membahayakan kerukunan warga bangsa,” ujar kiai yang akrab disapa Gus Fahrur ini kepada Republika kemarin.

Tugas bersama

Besarnya tantangan yang dihadirkan internet mengisyaratkan pentingnya moderasi beragama dilaksanakan lebih intens lagi dalam rangka meningkatkan keadaban digital masyarakat. Ustaz Abdul Somad (UAS) mengatakan, bagi umat Islam, penguatan adab selalu berkaitan dengan tiga hal yang tak terpisahkan satu sama lain, yakni akidah, ibadah, dan muamalah.

“Muslim yang beradab berarti menyembah Allah dan takut kepada-Nya, kemudian baik pula ibadahnya. Meskipun ada orang sangat ramah dan santun pada sesama, bila tidak melaksanakan shalat, maka ia belum tentu baik,” kata UAS dalam pesan seluler kepada Republika, kemarin.

photo
Sejumlah remaja berswafoto dengan latar belakang mural di Terowongan Kendal, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Adab bermedia sosial hendaknya ditumbuhkan sejak dini. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Lebih lanjut, peningkatan keadaban adalah tugas bersama yang tidak mungkin dilakukan kalangan ulama saja, tetapi juga negara (umara). Di satu sisi, para dai dapat memberikan pencerahan kepada umat mengenai persoalan-persoalan akidah, ibadah, dan muamalah mereka. Di sisi lain, negara berperan dalam menjamin kebebasan berpendapat Muslimin sebagai warga bangsa, seperti tertuang dalam UUD 1945—walaupun penyampaian pendapat itu tetapi harus mematuhi peraturan yang ada di Indonesia.

“Kalau benar adabnya, ia (orang Islam) tidak akan menggunakan media sosial untuk hal-hal yang tanpa faedah, melakukan penipuan, sebar hoaks, adu domba, atau kejahatan lainnya. Cerdas dalam bermedia sosial itu juga bagian dari kesalehan seorang Muslim,” ujar peraih anugerah Tokoh Perubahan Republika 2017 itu.

Khususnya dalam menyongsong Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, alumnus Universitas al-Azhar itu mengimbau umat Islam untuk selalu menjaga kedamaian. Islam melarang keras perbuatan membuat dan menyebarkan hoaks. Agama ini pun menekankan pentingnya sikap moderat, semisal dengan melakukan konfirmasi (tabayun) terlebih dahulu saat menghadapi kabar yang belum pasti atau diduga dusta.

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu,” demikian UAS menuliskan ulang terjemah Alquran surah al-Hujurat ayat keenam. 

photo
Foto ilustrasi media sosial dan muslim. - (Republika/Yogi Ardhi)

Anak muda adalah ‘Kunci’

Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat sebanyak 210 juta orang pengguna internet di Tanah Air pada 2022. Lembaga yang sama melakukan survei terhadap 7.568 responden yang tersebar di 34 provinsi. Hasilnya, diketahui bahwa penetrasi internet paling dominan terjadi pada kelompok usia 13-18 tahun, yakni 99,16 persen dari total 905 responden. Di bawahnya terdapat kelompok usia 19-34 tahun (98,64 persen/3.012 responden), 35-54 tahun (87,3 persen/3.009 responden), 5-12 tahun (62,43 persen), dan 55 tahun ke atas (51,73 persen/641 responden).

Banyaknya anak-anak dan remaja yang menggunakan internet merupakan fenomena yang perlu disikapi dengan cermat oleh negara. Di satu sisi, berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), angka literasi digital di Indonesia terus mengalami kenaikan. Ada peningkatan sebesar 0,05 poin dari 3,49 pada 2021 menjadi 3,54 pada 2022.

Di sisi lain, tren positif itu tidak diimbangi dengan peningkatan tingkat kegemaran membaca (TGM). Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Koordinasi bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) pada 2021, masyarakat Indonesia yang berusia 25 tahun ke atas (golongan pekerja) secara rata-rata memiliki TGM yang tinggi, yakni lebih dari 60 poin. Sebaliknya, mereka yang berusia di bawah 25 tahun (golongan pelajar dan mahasiswa) mempunyai nilai TGM kurang dari 60 poin.

Adanya paradoks antara penggunaan internet yang tinggi dan kegemaran membaca yang rendah mengindikasikan kerentanan. Anak dan remaja cenderung lebih berpotensi terpapar konten-konten negatif atau penggunaan internet yang kurang produktif dan menyia-nyiakan waktu. Pada poin inilah lingkungan keluarga berperan sangat penting.

Statistika Pemuda Indonesia - (Republika)  ​

Pendakwah yang juga seorang pegiat media sosial, Habib Jafar Al Hadar, menyarankan para orang tua agar cermat sebelum memberikan gawai kepada buah hati mereka. Khususnya kepada anak-anak yang beranjak remaja, pahamkan bahwa internet bisa menimbulkan dampak positif atau negatif, bergantung pada cara mereka menggunakannya.

“Pemahaman ini penting, apalagi untuk anak muda yang secara emosional dan lain-lain belum sematang orang tua. Ironisnya, justru merekalah yang paling akrab dengan internet dan menguasai media sosial,” ujar Habib Jafar saat dihubungi Republika beberapa waktu lalu.

Menurut dia, anak-anak muda adalah kunci untuk lebih meningkatkan literasi digital masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Karena itu, mereka perlu diajak untuk selalu berpikir kritis dan reflektif ketika mendapatkan informasi di media-media sosial. Salah satu caranya adalah dengan memastikan “4K”, yakni kebenaran, kebaikan, kebermanfaatan, dan ketepatan waktu konten yang diperolehnya.

photo
Habib Husein Jafar Al Hadar berjalan keluar usai menyampaikan tausiah pada Festival Hijriah di Masjid Pusdai, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (27/7/2023).  - (ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

“Misal ada satu saja yang tidak terpenuhi dari keempat ‘K’ itu, maka jangan share. Ingat kata Imam Malik, ‘Aku dapati diriku kadang salah saat berbicara, tetapi tak pernah salah saat diam. Alquran mengajarkan, Sayyidah Maryam (ibunda Nabi Isa) saat difitnah karena hamil tanpa suami memilih diam saat bicara tak lagi berguna,” tutur alumnus UIN Syarif Hidayatullah itu.

Untuk mendukung situasi kondusif dalam masa menjelang dan ketika “tahun politik” 2024, kita memerlukan keadaban digital yang lebih masif. Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi mengingatkan, penggunaan istilah-istilah peyoratif dan bernuansa polarisasi politik yang tajam di media sosial mungkin akan terulang lagi, seperti pada masa Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

“Nanti pun juga sama ketika ada capres atau cawapres. Kalau pandangan atau narasinya mendukung pemerintah, itu biasa dicap sebagai ‘cebong.’ Kemudian, yang cenderung oposisi biasanya disebut ‘kadrun’,” kata Ismail Fahmi saat dihubungi Republika baru-baru ini.

Karena itu, anak-anak muda perlu menjadi netizen yang mengedepankan akhlak dan sekaligus pemilih yang kritis. Dengan demikian, mereka tidak akan mudah terpancing kampanye-kampanye bernada emosional saja yang sering kali menjadikannya luput untuk memeriksa program-program kerja ke depan.

“Ada banyak yang bisa disorot anak-anak muda, semisal masalah tenaga kerja, perumahan, dan isu lingkungan. Konten-konten (kampanye) kemudian mereka jadikan sebagai referensi, capres atau caleg mana yang kemudian berpikir ke arah program-program kerja,” kata dia.  

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Presiden: Hilirisasi akan Berbuah Manis

Hilirisasi menjadi kunci bagi Indonesia untuk menjadi negara maju.

SELENGKAPNYA

Bacakan Pidato Kenegaraan, Jokowi Kenakan Pakaian Adat Tanimbar

Presiden Jokowi menyampaikan pidato pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2023 dan pidato kenegaraan HUT RI.

SELENGKAPNYA

Beda Tipis-Tipis Adiksi Medsos dan Narkoba

Penggunaan medsos yang berlebih bisa menurunkan performa di sekolah dan juga pekerjaan.

SELENGKAPNYA