Cahaya Pendidikan | Dok Quipper

Opini

Peran Pendidik dalam Transformasi Kelas Ajar

Pendidik beserta seluruh peserta didiknya harus terbiasa bekerja sama dan sama-sama belajar dalam kedudukan yang sama.

 


Oleh Agung Pardini

Master Teacher Sekolah Guru Indonesia dan GM Sekolah Kepemimpinan Bangsa Dompet Dhuafa


Era guru sebagai sumber belajar nyaris berakhir. Bahkan, peran guru sebagai fasilitator pembelajaran lambat laun akan ditanggalkan. Paradigma guru sebagai pengajar dan peserta didik sebagai subjek yang diajar merupakan cara pandang yang sudah terlalu usang.

Pada permulaan dekade ketiga dari abad ke-21 sekarang ini, pendidikan kita harus lebih berani untuk merumuskan kembali definisi terbaru tentang hakikat pembelajaran, tata kelola kelas ajar, dan konsepsi peran guru dalam konteks manajemen pembelajaran.

Babak baru pendidikan mendesak kita gelar. Kemendikbud dengan pimpinannya yang baru memulainya dengan wacana merdeka belajar. Namun, apakah kampanye ini cukup kuat menjawab semua isu pendidikan, khususnya pada ranah reformasi persekolahan?

Sama sekali tak ada jaminan kebijakan ini bisa menyelesaikan kompleksitas dalam sistem pendidikan kita. Jangan sampai gegap gempita kebijakan merdeka belajar berakhir antiklimaks, sebagaimana nasib pendidikan karakter dan gerakan literasi sekolah.

Di awal kemunculannya pada 2011 dan 2015, dua kebijakan ini seakan-akan membawa harapan baru bagi perbaikan pendidikan di Indonesia. Namun, keduanya justru menjadi layu sebelum bisa berkembang alias gagal!

Jika kita gagap melakukan lompatan besar, pendidikan kita bukan hanya akan tertinggal dari negara tetangga, misal Thailand atau Vietnam, melainkan juga dikhawatirkan akan kepayahan memanfaatkan bonus demografi yang berakhir 2030.

Desakan perubahan ini bukan latah atas euforia  Industri 4.0 yang ramai diperbincangkan. Upaya perbaikan pendidikan lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan dunia industri, tetapi menjaga misi hakiki pendidikan dalam menegakkan nilai kemanusiaan.

Internet of things (IoT), teknologi finansial, prospek usaha rintisan, purwarupa 5G, teknik otomasi, serta pengembangan kecerdasan buatan hanyalah fenomena tampak luar yang sama sekali belum menggambarkan secara utuh dunia yang sedang bergerak cepat.

Sampai-sampai tidak ada satu pun lembaga, negara, atau tokoh di dunia ini yang bisa memperkirakan ke mana zaman ini bergerak. Justru yang perlu diwaspadai adalah pergeseran nilai kemanusiaan akibat melebarnya ketimpangan pengetahuan di masyarakat.

Dalam kondisi seperti ini, jelas tak mungkin bagi para guru terus merasa bisa berperan sebagai sumber belajar bagi anak-anak didiknya. Sedangkan sumber belajar tersedia luas tanpa dihalangi batas ruang dan waktu.

Bapak ibu guru juga tidak perlu repot-repot lagi memainkan fungsi sebagai fasilitator pembelajaran. Peran ini bisa diserahkan ke setiap siswa secara bergantian. Konsepsi merdeka belajar semestinya bisa berangkat dari pandangan ini.

Pengalihan kewenangan dari guru kepada setiap siswa sebagai fasilitator pembelajaran adalah bentuk penguatan tanggung jawab agar peserta didik mampu mengelola kesadaran kritis sebagai bagian penting dari subjek perubahan di dalam masyarakat.

Para siswa sudah saatnya diberi porsi lebih besar dalam menentukan, merencanakan, melaksanakan, bahkan mengevaluasi sendiri apa yang hendak mereka kuasai. Konten materi ajar tidak semata dipelajari untuk mengejar ketuntasan kompetensi lewat soal ujian.

Pembelajaran di sekolah, harus bisa menyentuh hingga arah pembentukan kepribadian kokoh yang cakap menyelesaikan beragam permasalahan di kehidupan nyata. Inilah kompetensi yang sesungguhnya.

Inovasi digital dan perkembangan teknologi otomasi konon akan menghilangkan banyak profesi, di sisi lain justru memunculkan banyak varian baru pekerjaan. Tapi tidak dengan profesi keguruan. Peran guru diyakini tak hilang walau ada mesin pencari informasi.

Sebab guru bukan sekadar pekerjaan untuk mengajar, melainkan mendidik, memanusiakan manusia. Pendidikan membutuhkan roh hidup yang mampu memberi keteladanan dan juga kasih sayang dalam misi besar pengasuhan. Roh itu tentu bernama guru.

Memulai transformasi
Untuk mewujudkan lompatan besar dalam perbaikan pendidikan, perlu ada kemauan serta kemampuan mentransformasikan kelas ajar yang mengubah banyak pola interaksi antarelemen pembelajaran.

Relasi guru dan murid, tidak cukup hanya berpindah dari pendekatan monologis menuju dialogis, tetapi juga mesti kolaboratif. Pendidik beserta seluruh peserta didiknya harus terbiasa bekerja sama dan sama-sama belajar dalam kedudukan yang sama.

Pengetahuan sebagai konten pelajaran sudah tidak bisa dimonopoli lagi oleh para pendidik. Pada era keterbukaan informasi, tidak mesti guru yang bisa terlebih dahulu menguasai konten pengetahuan yang terbarukan.

Murid-murid dari generasi "google kids" memiliki kecepatan luar biasa dalam mencari, mengolah, bahkan memublikasikan suatu informasi. Akibatnya, guru memang tidak saja kalah oleh mesin pintar, tetapi niscaya juga dipecundangi oleh anak-anak didiknya.

Dalam konteks transformasi kelas ajar, diperlukan rekonsepsi peran guru di ruang pembelajaran yang terbarukan. Pendidik pada era transformasi kelas ajar, harus mampu mewujudkan ekosistem pembelajaran yang autentik.

Interaksi antara pendidik, peserta didik, dan sumber belajar, sebagai tiga prasyarat dasar terjadinya pembelajaran harus diwujudkan pada lokus yang tidak hanya terbatas di ruangan kelas.

Ruang-ruang baru pembelajaran bisa dikembangkan pada spektrum yang menjangkau semua sumber belajar, yang bisa dipelajari siswa secara langsung dan nyata. Ruang baru pembelajaran bisa berbentuk proyek pemecahan masalah yang ada di lingkungan sekitar.

Sehingga ruang kelas ke depannya tidak harus identik dengan bangunan ruang kelas sebagaimana yang kita pahami hari ini. Ruang baru pembelajaran juga memerlukan penyegaran paradigma tata kelola kelas ajar yang disebut manajemen kelas multiliterat.

Pendekatan manajemen kelas yang baru ini, terbentuk sebagai hasil sintesis dari penegakan adab, pemuliaan fitrah insani, penerapan manajemen pengetahuan, dan pencapaian kecakapan siswa berbasis pada proses. Sehingga, paradigama lama yang menyatakan manajemen kelas adalah berisi aturan dan prosedur untuk membangun kesadaran kelas yang tertib, sudah tidak lagi relevan. Manajemen kelas multiliterat butuh guru sebagai pemimpin bagi anak-anak didiknya.

Guru pemimpin tidak sama dengan guru sebagai pimpinan alias bos, tetapi maknanya bahwa guru adalah figur berpengaruh dalam menghidupkan semangat peserta didik sebagai jiwa-jiwa pembelajar mandiri.

Sebagai pemimpin, tugas guru adalah mendidik siswanya dengan nilai dan praktik kepemimpinan. Jika disimpulkan, transformasi kelas ajar memang tak mudah. Ini terkait erat dengan transformasi besar dari format guru sebagai fasilitator menjadi pemimpin pembelajaran.

Namun, membangun konstruksi pendidikan baru bagaimanapun bukanlah perubahan yang bersifat instan. Ini harus menjadi gerakan serius, bukan pekerjaan main-main. //Yuk//, bertransformasi menjadi guru pemimpin untuk anak-anak didik kita!

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat