Ngabenkan Kemiskinan | Daan Yahya/Republika

Sastra

Ngabenkan Kemiskinan

Cerpen Kevin Gautama Yacub

Oleh KEVIN GAUTAMA YACUB

Api meluapnya, merayap di kulit, kesakitan yang ingin mati terus-menerus tidak dapat dihindari. Terjebak dalam labirin kegelapan yang tak berujung, jeritan Adi bergema di kekosongan pikiran diri sendiri, tanpa ada satu pun yang mampu mendengarnya. Asap perlahan mengisi paru-paru, saat kematian abadi akhirnya menjemput…

“Sumpah Ma, cang yakin mataku tidak menipu, cang melihat tangannya Bapa bergerak sebelum diletakkan dalam patung.” Dewa berkata dengan permata yang meluncur lembut dari pelupuk matanya, Namun, tak seorang pun menghiraukan. Tentu saja, tak seorang pun bersedia mendengarkan, ia tampak terperangkap dalam ilusi-ilusinya, seorang pria yang telah dipastikan meninggal masih hidup, hal yang mustahil. Kata-kata Dewa bergema di udara, tapi terdengar oleh telinga tuli.

“Sudahlah nak, Bapa sudah tiada, raga sebaiknya tidak membicarakan tentang yang telah meninggal dunia” diucapkan ibunya Dewa. Di balik Dewa berdiri sebuah entitas yang menggema dan dengan suara yang berdenyut bak getaran, ia mengulangi kata-kata yang pernah diucapkan ibu, "Sebaiknya tidak membicarakan tentang mereka yang telah menghembuskan napas terakhirnya." Dalam keheningan, getarannya merambat hingga ke sudut-sudut jiwanya. Suara tersebut memberi rasa gemetar yang tak pernah dirasakan Dewa, seolah-olah berperangai seperti angin musim gugur yang mengusap daun-daun gugur dengan lembut, tapi menggetarkan dahan-dahan pohon yang tegar. Belum pernah ia mendengarkan suara yang begitu tua tapi begitu muda, begitu feminin tapi begitu maskulin, dan begitu dalam tapi begitu tinggi.

Dewa berusaha untuk menahan kengeriannya terhadap entitas yang tegak di belakangnya, sebuah keberadaan yang melahirkan aura ketakutan yang begitu nyata. “Wawa, ada ape? Cai terlihat begitu tegang tiba-tiba,” tanya ibu. Dewa tidak menjawab ibunya, ia terdiam dalam keheningan, merasa ketakutan dan kesepian di tengah keramaian, berusaha untuk memahami makna realitas setelah perjumpaan tersebut. Ia hanya memegang erat tangan ibunya, mengekalkan genggaman yang kuat, sambil memusatkan pikiran pada prosesi duka ita atas pergi ayah.

Cang melakukan semua ini agar keluargaku bahagia, agar mereka hidup tanpa beban, apakah cang benar-benar membuat pilihan yang tepat kali ini?” Adi bergumam dalam hatinya, merenung apakah ia sungguh-sungguh telah membebaskan keluarganya dari belenggu hutang dengan mengonsumsi obat-obatan yang berlebihan. Kematian Adi terasa menyayat hati dan tidak sesuai dengan yang ia rencanakan, tapi ia berharap bahwa semua yang telah dilakukan semata-mata demi kepentingan keluarganya yang tercinta.

Namun, realitas kehidupan bukanlah sebatas kisah dongeng dan tidak semua persoalan dapat diatasi dengan sekadar satu langkah. Kehidupan serupa lukisan abstrak yang kompleks dan solusi tidak selalu terlihat begitu mudah seperti menyapu kuas pada kanvas. Para kreditur yang dia berutang masih mengetahui alamat rumahnya serta catatan keuangan pribadinya.

Bagi Dewa, kematian ayah bukanlah suatu hal yang ringan dan melanjutkan kehidupannya tidak lebih mudah. Di dalam benaknya, terdapat perasaan kebencian yang memancar, seorang ayah yang memilih untuk mengakhiri kehidupannya sendiri. Sungguh ironi, ayahnya yang seharusnya menjadi pelindung justru memilih jalan yang penuh kelemahan. Kini, ia memegang peranan sebagai kepala keluarga, ia wajib mencari pekerjaan demi mendukung kondisi keluarganya yang kurang mampu.

Setiap malam, Dewa dilanda serbuan tugas-tugas yang merayap pikirannya, ditemani pengalaman yang tak kenal lelah, seperti bayangan-bayangan yang terus menghantuinya secara fisik dan mental. Dalam kontemplasi, Dewa diganggu oleh ketukan di pintu. “Adi, berikanlah pelunasan atas pinjamanmu, sudah tiga bulan, dan kesabaranku telah sampai pada titik terakhirnya!” Dewa menangis, rasa kebencian yang membakar terhadap ayahnya semakin merajai hatinya. “Maaf, bapaku sudah meninggal… jadi utangnya tidak bisa dilunaskan,” Dewa menjawab.

“Omong kosong, mana mungkin bapamu mati, pasti alasan lagi. Sudah, benjang kalau masih belum lunas. Lebih baik bapa cai tidur dengan satu mata terbuka.” Kreditur tersebut lalu meninggalkan ambang pintu, dengan setiap langkahnya semakin samar dari sebelumnya.

“Mengapa kau terperangkap dalam kesulitan? Ambilah sebilah pisau, gunakan sesuai keinginanmu, bahkan cang bisa memberikan jalan yang lebih mudah bagimu.” Sosok yang menghantui Dewa kembali muncul seperti petir yang menyambar dari langit gelap. Ia menawarkan suatu kesempatan yang memikat, sebuah kesempatan yang berpotensi untuk mengubah kehidupan. Tawaran tersebut begitu menggoda bagi Dewa, karena ia telah lelah dengan segala  yang harus dihadapi akhir-akhir ini. Ia merasa letih dengan berbagai permainan yang dipermainkan oleh takdir, seakan-akan hidupnya adalah panggung sandiwara yang tak kunjung berakhir.

“Dewa, maafkan Bapa, cang tidak sadar bahwa hutangnya akan menurun ke tangan cai,” ucap Adi, namun Dewa tidak dapat menangkap kata-katanya, sosok ayahnya hanya terperangkap dalam dunia yang tak mampu berdialog dengan kehidupan, hadir hanya sebagai bayangan redup yang tersembunyi dari pandangan manusia. Dia melihat putranya yang berdiri di hadapannya, berkeliling perlahan dengan langkah-langkah yang goncang. Wajahnya tecermin kepenuhan rasa duka dan keputusasaan yang memadat di dalam sorotan cahaya remang-remang.

Tanpa bersuara, Dewa meluncur ke dapur, mengambil sebilah pisau dan menekannya pada leher. Dalam keheningan yang mengisi ruangan, adegan yang menakutkan dengan potensi tragedi berdampingan keadaan batin ayah yang terombang-ambing oleh gelombang kecemasan dan kebingungan yang melanda. 

Detak jantung Dewa berdegup kencang di dadanya, sementara pikirannya berkecamuk dalam keputusasaan. Ia terjebak dalam konflik pikiran yang tak terurai, mempertanyakan hakikat dan tujuan di balik tindakan tragis yang dilakukannya. Dengan kesadaran yang penuh rasa bersalah, Dewa berkata, “Mengapa cang seperti ini?” Ia bertindak secara impulsif, tapi ia tak ingin menjadi seperti ayahnya. Ia berkeinginan untuk menyelamatkan ibunya dan dirinya sendiri dari lingkaran kekurangan yang menghimpit mereka. Namun, sebuah aliran cairan hangat dengan aroma besi terasa membasahi tangan Dewa. Pisau yang tidak disengaja terbenam dalam lehernya, menembus dengan kedalaman yang mengerikan. Ia terdiam tak mampu bernafas, terbaring lemah di lantai, nyala kehidupan di matanya mulai memudar. Ia berharap setidaknya, dengan dirinya dan sang ayah yang pergi, ibunya akan mampu bertahan hidup mengandalkan sisa-sisa uang yang tersisa sebelum ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya.

Glosarium

Cang: aku

Bapa: ayah

Raga: kita

Ape: apa

Cai: Kamu

Benjang: besok

Kevin Gautama Yacub, seorang siswa yang mengenyam pendidikan di kelas SMA 1 di Tzu Chi Secondary School.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat