Kisah
Meneladan Toleransi Khalifah Umar
Kala menaklukkan Baitul Makdis, Umar bin Khattab tidak menjadikan kota suci itu eksklusif untuk umat Islam saja.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, pengaruh Islam mencakup hingga ke luar Semenanjung Arab. Pasukan Islam berhasil membebaskan Mesopotamia (kini Irak) dan sebagian Persia dari kekuasaan kekaisaran Sassanid. Mesir, Palestina, Suriah, Afrika Utara, dan Armenia juga dibebaskan dari cengkeraman kekaisaran Romawi Timur (Byzantium). Khalifah Umar juga menerapkan sistem administrasi birokrasi sampai ke negeri-negeri taklukan.
Sejarawan, Maher Y Abu-Munshar, dalam bukunya, Islamic Jerussalem and Its Christian (2007) menjelaskan, pengaruh Umar bin Khattab dalam menstabilkan situasi wilayah yang dipimpinnya.
Menurut Maher, Khalifah Umar bertungkus lumus untuk bisa sesegera mungkin mengukuhkan keadilan di seluruh daerah kekuasaannya. Dialah yang memulai proses kodifikasi hukum Islam. Sahabat Nabi SAW bergelar al-Faruq itu juga membuat administrasi pengadilan agar efektif sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Khalifah Umar dikenal sebagai pribadi yang bersahaja, meskipun begitu keras dan tegas dalam menghadapi kebatilan. Di sisi lain, ia bersikap lemah lembut terhadap kelompok-kelompok yang tidak diperlakukan adil, sekali pun berbeda agama.
Keadilan bahkan harus tegak berdiri walaupun dalam suasana perang. Maher menuturkan, kisah penaklukan Baitul Makdis (Yerusalem) pada tahun 16 Hijriyah sebagai salah satu contoh gemilang sikap Umar bin Khattab dalam menegakkan keadilan. Prinsip demikianlah yang mendasari hidupnya toleransi di Tanah Suci itu.
Tanah suci dibebaskan
Semua bermula dari kesediaan Patriarch Sophronious, pemuka agama Kristen Ortodoks Yerusalem saat itu, untuk memberikan kunci kota kepada Khalifah Umar bin Khattab. Penyerahan kunci tersebut dilakukan tanpa paksaan, melainkan sebagai upaya diplomasi.
Sebagai balasannya, Khalifah Umar pun menawarkan perjanjian damai. Maka lahirlah deklarasi al-'Uhda al-'Umariyyah atau Jaminan Keamanan Khalifah atas Warga Aelia. Aelia merupakan nama yang diberikan kaum Kristen Ortodoks untuk wilayah Baitul Makdis saat itu. Kala itu, tanah suci ini sebenarnya sudah dalam genggaman pasukan Muslim. Umar memerintahkan mereka untuk menghormati hak-hak setiap warga sipil yang mereka jumpai di sana.
Khalifah Umar dan Patriarch Sophronious bertemu di Gereja Qiyâmah. Di sinilah perjanjian al-'Uhda al-'Umariyyah disepakati. Meskipun tampil sebagai penguasa, konsistensi Umar tetap terjaga dan menghormati pemuka agama Kristen Ortodoks itu sebagai pihak setara.
Patriarch Sophronious mempersilakan Umar untuk shalat di gereja itu. Namun, dengan lugas Umar menolak tawaran tersebut. Alih-alih, ia kemudian keluar dari Gereja Qiyâmah dan shalat di anak tangga. Gereja itu merupakan tempat suci di Baitul Makdis bagi umat Kristen Ortodoks.
Sebagai bentuk penghormatan, di titik anak tangga tempat Khalifah Umar mendirikan shalat kemudian dibangun sebuah masjid kecil. Toleransi yang dicontohkan Khalifah Umar tak berhenti di situ. Ia menganjurkan agar azan tidak dikumandangkan di dalam masjid kecil tersebut. Sebab, dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas umat Kristen Ortodoks di Gereja Qiyâmah, yang tak jauh darinya.
Khalifah Umar menjelaskan alasan dia tidak mau shalat di dalam gereja. Sebab, secara simbolis, bila sampai hal itu dilakukan, pasukan Muslim dapat menafsirkannya bahwa Gereja Qiyâmah boleh ditaklukkan sehingga diubah menjadi masjid. Mendengarnya, Patriarch Sophronious mengangguk takzim.
Membersihkan sampah
Kemudian, Patriarch menemani Khalifah Umar menyambangi tempat Nabi Sulaiman pernah mendirikan fondasi Masjid al-Aqsha. Ternyata, kekaisaran Romawi Timur telah mengubah lokasi tersebut menjadi tempat pembuangan sampah. Hal ini demi menghina bangsa Yahudi, yang menjadikan titik Masjid al-Aqsha sebagai kiblat ibadah, bukan Konstantinopel (kini Istanbul).
Umar marah. Ia meminta Patriarch mengimbau umatnya agar membersihkan tumpukan sampah. Bahkan, Khalifah Umar ikut dengan tangannya sendiri memungut sampah. Demikian pula dengan sejumlah pasukan Muslim. Setelah cukup bersih, lokasi tersebut menjadi lebih tampak nilai historisnya.
Umar melihat ada di sana batu suci yang pernah diceritakan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai tempatnya menjejakkan kaki ketika Mi'raj ke langit. Demikianlah sekelumit kisah Umar yang penuh bersikap toleran kala membebaskan Tanah Suci al-Quds dari jajahan Romawi Timur, sebagaimana disarikan dari buku Menyusuri Jejak Manusia Pilihan, Umar bin Khattab karya Abbas Mahmud Aqqad.
Menjelang kepemimpinannya usai, Khalifah Umar mewariskan ketegasan yang menginspirasi. Kepada khalifah penggantinya, Umar menuliskan pesan penting:
"Pertahankanlah lima ciri khas yang akan menyelamatkan agama Anda, sedangkan Anda sendiri akan mengambil manfaat dari hal itu lebih baik daripada nasib Anda. Apabila datang kepadamu dua orang yang sedang bersengketa, Anda harus meminta bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dekatilah orang-orang yang lemah supaya mereka lebih berani memberikan keterangan, karena hatinya akan mantap dan lidahnya akan lancar. Layanilah orang asing dengan baik, karena kalau Anda tidak melayaninya, dia akan meninggalkan haknya dan kembali kepada keluarganya. Dia meninggalkan haknya karena tidak ada yang memberikan kasih sayang kepadanya.
Lunakkanlah pandangan dan luangkan waktumu untuk orang lain. Semaikanlah perdamaian di antara orang-orang yang sedang menghadapi masalah yang tidak jelas."
Berpihak pada kaum tertindas
Meskipun dikenal luas sebagai sosok yang keras, tegas, dan berwibawa, hal itu tak menjadikannya jemawa. Khalifah Umar bin Khattab menjunjung tinggi prinsip toleransi. Kisah penaklukan Baitul Makdis tersebut menunjukkan sikap Umar yang memahami benar makna surah al-Kafirun ayat enam. Bagimu, agamamu. Bagiku, agamaku.
Abbas Mahmud Aqqad (2003) mencatat bahwa salah satu sikap Khalifah Umar yang paling dikenang adalah keberpihakannya kepada kaum minoritas yang tertindas. Pasukan Islam berhasil merebut Baitul Makdis dari cengkeraman kekaisaran Romawi Timur.
Namun, Umar tidak menerjemahkannya sebagai penaklukan Islam atas orang-orang Kristen sipil. Ia tetap menghormati mereka, termasuk hak-haknya untuk mempertahankan iman dan kepercayaan yang berlainan dengan Islam.
Prinsip toleransi tidak hanya menegaskan batas kami-kalian. Khalifah Umar bahkan menghadirkan sikap demokratis dengan menerima tawaran perjanjian damai. Umar tidak mau membisukan kaum minoritas. Ia menghormati hak-hak mereka untuk hidup damai berdampingan dengan umat Islam, antara lain, dalam membina Baitul Makdis.
Inilah esensi toleransi yang jarang ditemui dalam konteks kini. Seperti diketahui, Baitul Makdis merupakan kota suci bagi Islam, Kristen, dan Yahudi. Namun, kini otoritas Israel dengan pongah mengekang kebebasan beragama di tanah suci yang secara historis adalah bagian dari Palestina itu.
Jika kita menilai dan membandingkan, maka apa yang diperbuat Israel hari ini adalah kemunduran peradaban. Sikap toleransi Khalifah Umar telah mengganti kerugian, rasa takut, dan ketidakpastian kaum Kristen dengan kehormatan dan keadilan.
Umat Yahudi dahulu dihina kekaisaran Romawi Timur, antara lain dengan dijadikannya Bait Sulaiman sebagai tempat sampah. Al-Faruq tidak membiarkannya dan mengajak semua pihak untuk membersihkannya.
Dengan demikian, sikap toleransi bukanlah mengutamakan perbedaan, melainkan mengelola perbedaan itu menjadi jalan menemukan keadilan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Simbol Kejayaan Mamluk Mesir
Masjid Sultan Hasan di Kairo, Mesir, merupakan saksi kejayaan Dinasti Mamluk pada abad ke-14.
SELENGKAPNYAKeluhan Tingginya Biaya Masuk PTN Terus Meluas
Keluhan datang utamanya dari mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri.
SELENGKAPNYAMenakar Nasib Ribuan Santri Al-Zaytun
Penerimaan santri baru Al-Zaytun diselenggarakan pada 22-27 Juni.
SELENGKAPNYA