Ahmad Syafii Maarif | Daan Yahya/Republika

Refleksi

'Demokrasi Kedai Kopi'

Demokrasi tidak dapat dipisahkan dari perikemanusiaan.

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

Istilah "demokrasi kedai kopi" bukan asli dari saya. Moehammad Sjafei, seorang pendidik kelahiran Pontianak sekitar 1893, kemudian dijadikan anak angkat oleh pasangan Marah Sutan-Chalidjah, mantan menteri PPK tahun 1946, telah melontarkan istilah itu 49 tahun yang lalu di Kayutanam. Di tempat ini ia mendirikan sekolah Indonesisch Nederlandsche School (INS) yang terkenal dengan sistem kemandirian anak didiknya.

Menurut Sjafei (w. 1969), "demokrasi kedai kopi" yaitu demokrasi yang baru sampai pada upaya bagaimana menjatuhkan atau mencegah pihak lawan jangan menang, meskipun yang dikatakan lawan itu adalah benar. Para pendekar demokrasi itu seolah tidak mempunyai tanggung jawab akan keselamatan bangsa dan negara atau memiliki rasa perikemanusiaan yang sedikit sekali. (Lih. AA Navis, Filsafat dan Strategi Pendidikan M Sjafei, Jakarta: Grasindo, 1996, hlm 229).

Rasa-rasanya setelah hampir 60 tahun merdeka, secara fundamental dan kualitatif, belum banyak kemajuan yang diperlihatkan oleh perjalanan demokrasi Indonesia, masih saja pada status "kedai kopi". Adu jotos dalam parlemen kita baru-baru ini adalah di antara contoh yang masih sangat baru kita saksikan.

 
Para pendekar demokrasi itu seolah tidak mempunyai tanggung jawab akan keselamatan bangsa.
 
 

Sebenarnya anggota parlemen kita tahun 1950-an itu mungkin lebih bermutu daripada parlemen-parlemen yang datang kemudian, tetapi di mata seorang pendidik Sjafei, penilaiannya adalah seperti di atas. Sjafei adalah seorang pendidik nasionalis 24 karat. Ia rindu sekali melihat demokrasi Indonesia semakin dewasa agar rasa tanggung jawabnya kepada bangsa dan negara benar-benar terbukti.

Saya tidak dapat membayangkan bagaimanalah kira-kira reaksi orang tua ini sekiranya ia masih hidup dan menyaksikan perilaku anggota parlemen kita yang tampaknya belum juga dewasa secara emosional. Itu belum lagi kita bicara tentang cara mereka meraih rezeki, arwah Sjafei tentu akan semakin ngeri menyaksikannya.

Sebenarnya bukan hanya anggota parlemen yang belum dewasa, politisi yang bergelar doktor pun banyak yang temperamental, cepat memberi komentar tanpa dasar yang kuat, sehingga terasa bobotnya enteng. Fenomena semacam ini sebenarnya merupakan beban bagi sistem demokrasi yang telah kita pilih untuk dikembangkan, agar menjadi subur, berbuah, demi melebarnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

 
Demokrasi tidak dapat dipisahkan dari perikemanusiaan.
 
 

Bagi Sjafei, demokrasi tidak dapat dipisahkan dari perikemanusiaan yang harus ditanamkan sejak peserta didik masih duduk di bangku sekolah dasar. Kita kutip: ''Murid perlu diberi kesempatan untuk mau dan banyak bertanya. Jangan hanya guru saja yang bertanya. Di samping diberi kesempatan bertanya, akan lebih [baik] lagi apabila pelajar itu sendiri mencari jawabannya. Untuk itu, akan terjadilah tukar-menukar pendapat. Hilanglah perasaan benar sendiri. Dengan demikian, benih demokrasi sudah mulai ditanamkan semenjak dari sekolah.'' (Ibid).

Seterusnya dikatakan, ''Kalau demokrasi yang menjadi asas negara Indonesia, namun di sekolah murid tidak diberi kesempatan bertanya atau menyoal guru, sebenarnya sekolah telah mematikan jiwa demokrasi. Guru, secara sadar atau tidak, telah menjadikan dirinya sebagai diktator kecil di dalam kelas. Juga, secara sadar atau tidak, guru telah menghilang perasaan perikemanusiaan pada dirinya. Sifat guru seperti itu sangat berbahaya bagi pertumbuhan jiwa bangsa.'' (Ibid, hlm 229-230).

Bukan saja guru yang dapat merangkap jadi diktator, dua presiden kita yang pertama, sekalipun sering bertutur demokrasi, dalam praktik, sistem yang berjalan, bercorak otoritarian dalam bentuknya yang sempurna. Kalau Bung Rendra misalnya kita tanya tentang fenomena ini, tentu ia akan menjawab, "Karena kultur maritim yang bebas terbuka telah lama dikalahkan oleh kultur pedalaman yang tertutup dan feodal. Maka, jika demokrasi mau ditegakkan, feodalisme harus dibunuh sampai ke akar-akarnya. Prinsip daulat rakyat harus mengalahkan daulat tuanku." Bung Hatta, teman Sjafei, adalah yang paling depan membela prinsip daulat rakyat ini, dalam teori dan praktik. Dialah bapak demokrasi modern Indonesia yang sebenarnya.

Akhirnya, kita tentu berharap agar para politisi kita mau membaca karya-karya Hatta, Sjafei, dan karya para demokrat Indonesia lainnya. Jadikan itu acuan dalam membangun sebuah demokrasi yang sehat, kuat, dan mantap, demi pembelaan kita terhadap nasib rakyat kecil yang belum merasakan benar manfaat demokrasi selama ini. "Demokrasi kedai kopi" adalah demokrasi liar, dan karena itu jangan diteruskan, sebab pasti mendatangkan bencana demi bencana bagi bangsa ini secara keseluruhan. Akibatnya, tujuan kemerdekaan semakin menjauh dan menjauh jua.

Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 12 April 2005. Buya Ahmad Syafii Maarif (1935–2022) adalah ketua umum PP Muhammadiyah pada periode 1998-2005.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Dimensi Kultural Integrasi Bangsa (Bagian I)

Politisi kita kebanyakan hanya pandai bermain politik sehari-hari

SELENGKAPNYA

Momentum Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Semoga momentum Idul Adha 1444 H ini mampu mempersatukan kita semua dalam ukuwah Islamiyah.

SELENGKAPNYA

Dari Probolinggo Membela Bangsa dan Negara

KH Hasan Genggong mengizinkan gerilyawan pejuang untuk menyimpan senjata di dalam pesantrennya.

SELENGKAPNYA