
Mujadid
Dari Probolinggo Membela Bangsa dan Negara
KH Hasan Genggong mengizinkan gerilyawan pejuang untuk menyimpan senjata di dalam pesantrennya.
KH Muhammad Hasan merupakan sosok ulama karismatik yang tidak asing lagi di kalangan masyarakat Jawa Timur. Dia adalah pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo. Almarhum dikenal sebagai ulama yang zuhud, ringan tangan, dan memiliki empati tinggi terhadap sesama.
Dia juga turut berkontribusi dalam membela bangsa ini agar terlepas dari genggaman penjajah. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan tidak lepas dari peran ulama. Mereka mengobarkan semangat cinta Tanah Air kepada pemuda Indonesia, khususnya kaum santri.
Kiai Hasan Genggong merupakan salah satu ulama yang berada digaris depan dalam melawan penjajah. Pengabdiannya di jalan agama seiring dengan perjuangannya dalam proses meraih kemerdekaan Indonesia. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga masa kependudukan Jepang, Pesantren Genggong menjadi tempat persembunyian pejuang yang sedang bergerilya.
Kiai Hasan selalu memberikan dukungan moral, materi, dan tenaga untuk ikhtiar Indonesia meraih kemerdekaan sekaligus mempertahankan kedaulatan. Pada masa itu, Genggong merupakan tempat yang aman untuk dijadikan markas pejuang, khususnya pasukan laskar Hizbullah-Sabilillah Probolinggo. Bahkan, seorang gerilyawan bernama Brigjen TNI Wiyono pernah mengungsi beberapa waktu di Genggong.
Di samping itu, Kiai Hasan mengizinkan gerilyawan untuk menyimpan senjata di dalam Pesantren Genggong. Suatu ketika hal itu tercium oleh mata-mata Belanda. Namun, saat penggeledahan, tentara Belanda tidak menemukan sepucuk senjata pun. Pasukan Belanda pun kembali ke markasnya dengan tangan hampa.
Mengenai sikap Kiai Hasan pada Belanda, pada suatu hari tahun 1945 dia didatangi beberapa orang tamu. Mereka adalah Kiai Maksum dan beberapa rekannya. Kiai Maksum adalah pengasuh Pondok Pesantren Subulus Salam, Pajarakan, Probolinggo.
Kedatangan tetamu itu untuk menanyakan sikap Kiai Hasan terhadap Belanda, khususnya tentang hukum memerangi Belanda. Kiai Hasan pun keluar menemui tetamu itu dengan menggunakan kopiah hitam dan di pinggangnya terselip sebilah keris.
Tamu-tamunya pun tertegun dan heran terhadap sikap Kiai Hasan. Pasalnya, tak biasanya dia mengenakan kopiah hitam dan keris. Namun, tetamunya itu kemudian sadar bahwa sikap Kiai Hasan merupakan jawaban dari pertanyaan yang akan mereka ajukan.
Padahal, Kiai Maksum dan rekannya saat itu belum menanyakan apa pun. Namun, pertanyaan itu sudah terjawab melalui isyarat kopiah hitam dan keris sebagai simbol perlawanan dan rasa nasionalisme terhadap bangsa.

Profil sang alim
Kiai Hasan Syekh al-'Arif Billah KH Muhammad Hasan bin Syamsuddin bin Qoiduddin lahir pada 27 Rajab 1259 Hijriyah atau 23 Agustus 1840, bertepatan dengan peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Kiai Hasan dilahirkan di Desa Sentong, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo, dari pasang an Kiai Syamsuddin dan Nyai Khadijah.
Dia merupakan sosok panutan pada zamannya. Karamahnya tak terhitung. Semua orang mendambakan menjadi orang yang bisa diakui sebagai santrinya. Tanda-tanda keistimewaan Kiai Sepuh, sapaan akrab Kiai Hasan, sudah tampak saat masih di dalam kandungan sang ibu.
Saat itu ibunya bermimpi menelan bulan, yang menandakan janinnya ke lak akan menjadi orang mulia. Ayahnya, Kiai Syamsuddin atau yang lebih dikenal dengan panggilan Kiai Miri, adalah seorang pembaca sejarah Nabi dan para wali. Pernah suatu ketika Kiai Miri ceramah di daerah Condong dan pulang terlalu larut malam.
Di jalan mendaki, Kiai Miri kemudian melihat cahaya dari kejauhan yang memancar dari arah timur. Ternyata pancaran sinar itu dari rumahnya, yang mana saat itu Kiai Hasan sudah lahir. Kiai Hasan memiliki semangat dalam menuntut ilmu sehingga memantapkan dirinya untuk menjadi santri sejak usia belia hingga dewasa.
Kiai Hasan merupakan salah seorang santri angkatan pertama Syaikhona Kholil Bangkalan. Bahkan, Kiai Hasan ikut membantu Kiai Kholil dalam mendirikan pondok. Setelah mondok di sejumlah pesantren, Kiai Hasan melanjutkan studi ke Makkah dan Madinah untuk memperdalam ilmu agama.
Salah seorang gurunya di Makkah adalah Syekh Nawawi al-Bantani, kakek dari KH Ma'ruf Amin yang kini menjadi wakil presiden RI. Setelah menuntaskan belajar di Tanah Suci, Kiai Hasan Genggong pulang ke Tanah Air dan dijadikan menantu oleh KH Zainul Abidin, ulama yang mendirikan Pesanten Zainul Hasan Genggong pada 1839. Gabungan nama kedua ulama inilah yang kemudian ditetapkan sebagai nama pesantren yang memiliki ribuan santri itu.
Setelah Kiai Zainul Abidin wafat, Kiai Hasan Genggong kemudian mendapat amanat meneruskan perjuangan mertuanya tersebut. Di bawah kepemimpinan beliau, Pondok Pesantren Genggong mampu melahirkan ulama-ulama besar yang tersebar di mana-mana. Kiai Hasan Genggong mendidik santri di Pesantren Genggong kurang lebih selama 87 Tahun.
Kiprah di NU
Di kalangan ulama sepuh Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Hasan Genggong senantiasa dijadikan sebagai sosok yang selalu diminta nasihat dan pertimbangan persoalan NU dan umat. Saat proses awal pendirian NU, Kiai Hasan juga dimintai pendapat dan nasihat oleh beberapa ulama NU, seperti KH Wahab Hasbullah, KH As'ad Syamsul Arifin, dan pendiri NU yang lain, atas rekomendasi dari Syaikhona Kholil Bangkalan dan hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari.
Kiai Hasan dikenal sebagai sosok ulama yang dengan kezuhudannya selalu menjadi rujukan, termasuk ketika ulama pendiri NU akan mengambil keputusan. Ketika NU lahir pada 1926, saat bumi nusantara masih dicengkeram penjajah Belanda, Kiai Hasan Genggong menjadikan Pesantren Genggong sebagai basis perjuangan kemerdekaan.Sosok Kiai Hasan Genggong memang bermental baja, percaya diri, ditakuti penjajah, dan dikenal apa adanya.
Segala bujuk rayu dan siasat Belanda tak mampu menembus hati Kiai Hasan Genggong. Kiai Hasan Genggong pernah menyatakan bahwa berjuang ikhlas di NU akan mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Barang siapa yang menolong (berjuang ikhlas) NU maka hidup beruntung di dunia dan di akhirat, kata Kiai Hasan seperti dilansir laman resmi Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong.
Selain memperjuangkan kemerdekaan dan mengabdi di NU, Kiai Hasan Genggong juga merupakan sosok ulama yang produktif dalam menulis kitab yang meliputi bidang-bidang fikih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Salah satu karyanya adalah Syarah Kitab Safinatun Najah.
Tutup usia
Biasanya para santri Pesantren Genggong diminta kembali ke pondok pada 15 Syawal. Namun, saat mengisi pengajian kitab tafsir pada bulan puasa tahun 1955, Kiai Sepuh meminta kepada santrinya untuk datang lebih awal karena pada 11 Syawal akan ada pengajian besar.
Karena itu, Kiai Hasan memerintahkan santrinya untuk kembali ke Pondok Genggong pada 10 Syawal. Ternyata, pada 11 Syawal tersebut Kiai Hasan wafat di tengah-tengah santri yang sudah kembali ke pesantren. Tepatnya pada Kamis, 11 Syawal 1374 Hijriyah atau 1 Juni 1955, sekitar pukul 23.30 WIB. Usianya ketika itu 115 tahun.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Perseteruan Warek III Vs Mahasiswa Universitas Brawijaya Kian Keruh
Beberapa mahasiswa di fakultas mengalami intimidasi dan ancaman DO.
SELENGKAPNYAPemukim Yahudi Lancarkan Ratusan Serangan ke Palestina
Gaza masih berpotensi diserang Israel.
SELENGKAPNYAMelepaskan Warga Desa dari Jeratan Rentenir
Program EKI berfokus pada peningkatan dimensi ekonomi melalui pembukaan akses terhadap perbankan dan kredit.
SELENGKAPNYA