Stephanie Roy (kiri) memeluk Islam sesudah mempelajari ajaran agama ini sekira tiga tahun | DOK wordpress

Oase

Hidayah Datang Kala Bulan Puasa

Pada Ramadhan, Stephanie Roy akhirnya berikrar syahadat, sesudah beberapa tahun pelajari Islam.

Perempuan yang tinggal di Kanada ini ingin benar-benar paham dengan apa yang akan dipilihnya. Begitu juga dengan Islam. Ia tak langsung masuk dan menjadi bagian darinya sebelum ia benar-benar berkenalan dengan Risalah Samawi itu dan apakah Islam akan cocok dengan dirinya atau tidak.

Dari laman aquila-style, ia menceritakan pengalamannya hingga mantap memilih Islam. Kisahnya diawali ketika keraguan mulai muncul padanya dan ia mendapatkan pertanyaan, “Bagaimana caranya aku bisa hidup di sini?”

Kegelisahan pada eksistensi dirinya muncul sejak ia membaca novel berjudul The Alchemist karangan Paulo Ceolho. Ia membaca novel tersebut berulang-ulang dan sangat tertarik pada gambaran karakter di dalamnya yang saat sedang menghadapi kesulitan tetap berjalan teguh pada satu tujuan dan tidak memedulikan situasi ataupun yang menjadi penghalangnya. “Saat membacanya, aku kemudian tersadar, rasanya bagai kepala ini dipukul dengan hebatnya,” katanya.

Ia kemudian mengingat nasibnya sekitar 10 tahun lalu. Saat itu, kehidupannya jauh berbeda dengan sekarang. Ia tak lancar berbahasa inggris dan tinggal dengan ibunya di sebuah kota kecil di Kanada bagian timur. Saat itu, cita-citanya adalah menjadi seorang aktris atau penyanyi terkenal.

photo
Stephanie Roy menjadi Muslimah sejak 2012 - (dok ist)

Kehidupan yang dijalaninya kini jauh berbeda dengan yang dicita-citakannya. Ia telah memegang gelar sarjana dalam ilmu bahasa dan menjalani kehidupan sukses di ibu kota Kanada. Dalam masa kesuksesannya tersebut, ia dipertemukan dengan novel The Alchemist yang membuat kehidupannya jauh lebih sukses dari sebelumnya secara spiritual.

Tidak tertarik

Sebelumnya ia tak tertarik dengan Islam. Ia menganggap bahwa Islam adalah agama bagi orang-orang gila yang rela membunuh demi apa yang disembahnya tersebut. Ketika ia duduk di bangku kuliah dan mempelajari tentang Perang Salib, pikirannya menjadi terbuka.

Meski ia selama ini dibesarkan di lingkungan gereja Katolik, kisah Perang Salib ini dianggapnya sebagai tindakan ekstremis dari agamanya dan tidaklah benar. “Aku sendiri sebenarnya percaya bahwa hanya ada satu Tuhan,” katanya.

 
Aku sendiri sebenarnya percaya bahwa hanya ada satu Tuhan.
   

Bagaimanapun, ia selalu percaya dengan adanya Tuhan. Walau demikian, ia tak menemukan agama yang pas untuk diyakini. Ia kemudian mencoba berbagai agama dan berbagai bentuk paganisme. Satu hal yang ia percaya hanyalah bahwa ia bisa hidup di dunia ini karena adanya Tuhan, tapi ia tak tahu Tuhan yang mana.

“Saya terus mencari, tapi tidak pernah menemukan agama mana yang ingin saya pegang dan akhirnya saya pun menyerah. Pilihan saya adalah menjadi agnostik, percaya dengan adanya Tuhan, tapi tidak menentukan satu agama sebagai kepercayaannya,” jelasnya.

Hingga, keputusan tersebut mulai berubah ketika ia membaca novel The Alchemist. Ia sangat tertarik dengan bab-bab pertama dalam buku tersebut yang mengenalkan tanda-tanda adanya Allah.

Ia pun kemudian kenal dengan seorang pria Muslim. Hubungan mereka pun semakin dekat dan Stephanie kemudian berkata pada teman-temannya bahwa ia mulai tertarik untuk mempelajari Islam, meski tidak begitu serius.

Ternyata, ia justru ditarik dan terus didukung untuk masuk Islam oleh berbagai aliran Islam yang ada di kampusnya. Pertentangan kemudian muncul dari kawan-kawannya yang non-Muslim.

Mereka berkata pada Stephanie bahwa Islam itu berat dan ia tak akan sanggup menjalan ibadah-ibadahnya, terutama berpuasa. Ia pun bingung dan kemudian berkata akan menunggu selama tiga tahun untuk memantapkan dirinya ingin masuk Islam atau tidak.

Proses pencarian

Dalam tiga tahun tersebut, ia berusaha memahami apa inti dari ajaran Islam dan perbedaan berbagai aliran di dalamnya. Dalam masa tersebut, ia mencari apa yang selama 23 tahun ini tidak ada dalam hidupnya dan apa yang akan melengkapi hidupnya di masa depan. Tapi, dalam masa belajarnya untuk mengenal Islam, ia tetap bisa melanjutkan kuliah dan bisa meyakinkan orang tuanya bahwa ia akan memilih Islam suatu hari nanti.

 
Ia ditantang kawan-kawannya yang non-Muslim untuk berpuasa Ramadhan.
   

Dalam tahun pertama, ia ditantang kawan-kawannya yang non-Muslim untuk berpuasa Ramadhan. Stephanie pun menyanggupinya. Ia berpuasa dari pagi hari hingga senja pada hari pertama. “Namun, saat itu aku malah berbuka dengan bir dan burger bacon yang terbuat dari daging babi asap,” katanya.

Masa tantangan pun berlanjut hingga sebulan penuh dan Stephanie pun menyanggupinya. Tantangan yang tadinya hanya sebuah hal yang tidak serius, kemudian justru memberikan perubahan yang sangat berarti padanya.

Setelah 30 hari berpuasa, ia merasakan perubahan pada tubuhnya dan sadar bahwa puasa bukan membuat tubuhnya lemah meski tidak makan dalam waktu lama, justru membuat tubuhnya menjadi bertambah kuat. “Saat itu, mungkin saya belum yakin sepenuhnya pada Islam, tapisaya yakin dengan kekuatan Ramadhan,” kata Stephanie.

Pembelajarannya tentang Islam terus berlanjut, hingga sampai pada Ramadhan kedua. Saat itu, ia sadar, ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk memberikan perhatian pada Islam.

“Saat itu, saya yakin Allah telah memberikan petunjuk pada saya untuk datang pada Islam,” katanya.

Namun, ia belum mantap sepenuhnya. Ia justru berdoa setiap malam agar Allah menunjukkan dengan jelas apakah ia akan masuk Islam atau tidak. Hal ini karena kawan-kawannya yang Muslim ingin ia segera masuk Islam, sedangkan kawannya yang non-Muslim selalu mencegahnya.

 
Selepas berbuka puasa, pada 28 Juli 2012 Stephanie pun akhirnya mengucapkan syahadat.
   

Hingga, pada Ramadhan ketiga ia baru menemukan hidayah. Selepas berbuka puasa, pada 28 Juli 2012 Stephanie pun akhirnya mengucapkan syahadat. Tak ada pihak lain yang bisa menghalanginya untuk menapakkan kaki di jalan kebenaran. Ia pun yakin dengan kata-kata yang diucapkannya tersebut, “Tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Pembantaian dan Perlawanan di Jenin

Warga Palestina bertekad terus melawan penjajahan.

SELENGKAPNYA

Surat Diplomatik: Era Nabi Hingga Kekhalifahan

Praktik diplomasi via surat menyurat telah menjadi bagian dari sejarah Islam sejak era Nabi Muhammad SAW.

SELENGKAPNYA

Sejarah Diplomasi Dalam Dunia Islam

Diplomasi yang dilakukan para penguasa Muslim tidak selalu berjalan mulus.

SELENGKAPNYA