ILUSTRASI Sejarah Islam mencatat, pelbagai pemerintahan telah melakukan diplomasi, baik dengan tujuan syiar maupun dagang. | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Dunia Islam

Sejarah Diplomasi Dalam Dunia Islam

Diplomasi yang dilakukan para penguasa Muslim tidak selalu berjalan mulus.

Diplomasi merupakan suatu hubungan komunikasi yang dilakukan untuk mewujudkan pemahaman atas ide, budaya, dan norma-norma dengan negara terkait. Definisi lainnya, diplomasi adalah hubungan antar-negara yang dilakukan oleh agen-agen resmi dari masing-masing pemerintah dengan tujuan utama yakni perdamaian.

Ada pelbagai faktor di balik kesuksesan berdiplomasi. Di antara yang terpenting ialah strategi lobi dan negosiasi dalam hubungan antarnegara-negara terkait. Kedua cara itu mengandaikan sikap saling menghormati kedaulatan masing-masing negeri.

Dalam sejarah, praktik diplomasi sudah menjadi bagian dari politik Islam sejak berabad-abad silam. Umumnya kalangan sejarawan menilai, terdapat dua karakteristik diplomasi yang dipraktikkan umat Islam.

Jere L Bacharach dalam buku Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia memaparkan dua tujuan utama diplomasi dalam kaca mata Islam. Pertama, diplomasi yang bertujuan untuk urusan dakwah, sedangkan yang lain berlatar belakang lebih religius.

Diplomasi dalam artian yang awal adalah untuk mengajak kaum di luar Islam untuk memeluk Islam, beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Adapun karakteristik kedua lebih bersifat politis. Pada masa pemerintahan Islam, banyak ekspedisi dan perluasan wilayah.

Dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Sekh Shafiyyurahman al-Mubarakfuri disebutkan, bentuk diplomasi Rasulullah SAW, dalam pengertian dakwah melalui korespondensi surat, terhadap beberapa raja dan amir, antara lain, Negus Ethiopia, Binyamin (al-Muqawqis) di Mesir, Khosrau II Persia, Hercules Romawi, dan Uskup Dughathir.

Tak hanya cukup dengan penulisan surat, kata al-Mubarakfuri, Rasul mengutus utusan khusus yang diposisikan sebagai diplomat untuk menjelaskan maksud dari surat tersebut.

photo
ILUSTRASI Surat Nabi Muhammad SAW untuk penguasa Mesir. Korespondensi adalah salah satu cara diplomasi yang hidup dalam sejarah Islam. - (DOK WIKIPEDIA)

Beberapa nama sahabat yang pernah ditugaskan secarah khusus untuk mengemban misi ini, antara lain, Amr bin Umayyah adh-Dhamri untuk Raja Habasyah, Hathib bin Abu Balta'ah untuk Raja Mesir, Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi untuk Raja Persia, dan Dihyah bin Khalifah al-Kalbi untuk Raja Romawi

Surat-surat diplomatik dari Rasul kepada para amir dan raja itu berisi ajakan untuk memeluk agama Islam dan ditulis pada akhir tahun 6 Hijriyah, setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah.

Tradisi penulisan surat, sebagai media diplomasi tersebut, dipertahankan oleh keempat khalifah pengganti tugas kepemimpinan Rasul. Sejarah mencatat langkah diplomatik cerdas dari Umar bin Khatab melalui Land Reform dalam rangka membebaskan rakyat jajahan imperium Romawi dan Persia.

Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah menyebutkan, Sang Khalifah membuat kebijakan perihal tanah milik petani Qibthi tidak berstatus sebagai "ghanimah" atau harta rampasan perang. Bahkan, Umar mengembalikan hak kepemilikan tanah itu kepada kaum Qibthi walaupun pemiliknya beragama Kristen. Ia berdiplomasi dengan menggunakan instrumen ekonomi berupa "land reform system" untuk tanah para petani Qibthi.

Tak hanya dalam bidang politik, diplomasi juga dilakukan dalam urusan perniagaan. Para khalifah telah mengirimkan utusan niaga ke berbagai wilayah, bahkan hingga ke Kekaisaran Tiongkok.

 
Para khalifah telah mengirimkan utusan niaga ke berbagai wilayah, bahkan hingga ke Kekaisaran Tiongkok.
   

Mengutip buku berjudul Al-Ilaqat, yang ditulis oleh Badruddin, seorang Muslim Tiongkok, dalam bahasa Arab, Ahmad Mansyur Suryanegara menulis tentang penjelasan khalifah Islam menurut sejarah Tiongkok yang telah mengirimkan 32 utusan ke Cina.

Apabila masa Khulafaur Rasyidin berlangsung selama 29 tahun, 11-41 H/ 632-661 M, tidak mungkin hubungan dagang dengan 32 utusan itu hanya terjadi pada masa khalifah ketiga semata. Dapat dipastikan hal itu berlangsung pada masa keempat khalifah. Dan tentunya, selama ke-32 kali ekspedisi itu tentu singgah ke Indonesia. Sebab, satu-satunya jalan yang mudah untuk sampai di Cina Selatan adalah melalui kepulauan nusantara Indonesia.

Semasa Dinasti Umayyah, praktik diplomasi pun kian meluas. Perjanjian Damai antara Daulah Umayah dan Kekaisaran Bizantium mewarnai perkembangan diplomasi internasional dunia Islam.

Dalam buku berjudul, Legenda Empat Umara Besar: Kisah Seni Memimpin dari Penguasa Empat Dinasti Islam, Indra Gunawan Lc menulis tentang perjanjian damai antara kekhalifahan Bani Umayyah dan Kekaisaran Bizantium.

Perjanjian damai itu diawali dengan pertempuran panjang Khalifah pertama Bani Umayyah, Muawiyah bin Abu Sufyan RA, melawan Kekaisaran Byzantium melalui sejumlah pertempuran laut.

Setelah pengepungan itu gagal, Muawiyah bin Abu Sufyan sepakat untuk mengadakan perjanjian jangka panjang gencatan senjata dan saling menghormati batas wilayah dengan Kekaisaran Byzantium.

Diplomasi lainnya yang dilakukan Mu'awiyah untuk mempertahankan kedaulatan Daulah Bani Umayyah ialah program transmigrasi dan asimilasi secara besar-besaran di wilayah eks Kekaisaran Persia.

Secara khusus, diplomasi di dalam negeri ini lebih dimaksudkan untuk menstabilkan kembali gerakan pemberontak yang ingin mengembalikan kejayaan Kekaisaran Persia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Dunia Islam Kutuk Penyerangan Jenin

Sebanyak 190 warga Palestina gugur dibunuh Israel tahun ini.

SELENGKAPNYA

Situasi di Jenin Kritis

Rumah sakit penuh sesak dengan warga Palestina yang terluka.

SELENGKAPNYA

Manfaat Ekonomi Tata Kelola Dam Haji

Nilai dam jamaah haji Indonesia tidak kurang dari Rp 500 miliar.

SELENGKAPNYA