Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Ngambil Untung, Ada Batasannya?

Ngambil untung harus ditunaikan dengan tuntunan dan adab-adabnya.

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saya usaha jualan pakaian bayi dan balita, dijual offline dan online. Dalam menentukan harga jual, apakah ada batasan keuntungan bagi penjual? Bagaimana tuntunan syariahnya? Mohon penjelasan Ustaz. -- Fatimah, Tanah Abang

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Sudah menjadi fitrah dan kelaziman, setiap pebisnis dan penjual menginginkan keuntungan tinggi. Jika pilihannya penjual menawarkan berapa harga (price) kepada pembeli, pada umumnya penjual berkeinginan untuk menentukan harga yang tinggi agar ia meraup keuntungan besar.

Sesungguhnya, berikhtiar agar bisnis memberikan imbal hasil atau keuntungan maksimal itu bukan hanya sesuai fitrah, tetapi juga sesuai tuntunan syariah. Tetapi agar keleluasaan menentukan keuntungan yang tinggi tersebut sesuai dengan tuntunan syariah dan tidak merugikan pihak lain, maka harus ditunaikan dengan tuntunan dan adab-adabnya.

Di antaranya adalah sebagai berikut.

(1) Dari sisi kewenangan untuk menentukan harga itu disesuaikan dengan kondisinya, yaitu:

(a) Kondisi pertama, jika tidak ada peraturan tertentu yang mengatur harga, maka penjual boleh menentukan atau mengambil keuntungan atas setiap produk yang dijualnya dengan ketentuan: (i) Melibatkan pembeli atau pihak terkait, maksudnya mendapatkan persetujuan dari mereka. (ii) Mempertimbangkan harga di pasaran supaya tidak merugikan penjual atau produsen barang atau jasa yang lain.

Di antara contohnya adalah bank syariah saat melakukan penjualan KPR dengan skema murabahah, maka dituangkan dalam bentuk perjanjian, dijelaskan kepada pembeli. Setelah calon pembeli menyetujui seluruh klausul yang ada dalam perjanjian, maka disepakati harga jual dengan seluruh hak-hak dan kewajiban para pihak.

(b) Kondisi kedua, jika penjual tersebut dalam komunitas/perusahaaan/ada kesepakatan yang sudah ditentukan harganya, maka tidak boleh melebihi harga tersebut. Kondisi ini seperti di perusahaan multilevel marketing, di mana harganya sudah ditentukan oleh perusahaan. Oleh karena itu, setiap member atau agen tidak boleh menjual produk di atas harga yang sudah ditetapkan oleh perusahaan.

Di antara contoh lain, misalnya, seorang pemilik rumah yang ingin menjual rumahnya dan meminta broker untuk memasarkan dan menjualkan dengan fee nominal tertentu yang disepakati di awal dan disampaikan bahwa harga jualnya sekian. Maka broker tersebut tidak boleh menjual rumah di atas harga yang ditetapkan oleh pemilik rumah, karena haknya sebagai broker itu sudah ditentukan di luar harga rumah.

(c) Kondisi ketiga, jika berada dalam komunitas yang memiliki aturan yang disepakati bersama, seperti pasar online yang menghimpun penjual UMKM dan ritel dalam group WhatsApp, di mana ada beberapa produsen sejenis, maka ia harus mengikuti aturan dari admin WAG di pasar online tersebut.

(2) Transparan, dengan menjelaskan objek yang dijual secara terbuka. Jika menjual daging secara online, misalnya, maka dijelaskan jenis dagingnya apa, apakah semuanya daging atau juga ada jeroan, dan lainnya. Jika ia penjual jasa penginapan, maka ia menjelaskan fasilitas yang ada di penginapan tersebut.

(3) Memperbaiki kualitas barang atau jasa yang dijual agar harga yang cenderung tinggi yang diinginkan oleh penjual itu berbanding lurus dengan kualitas barang atau jasa yang dinikmati oleh konsumen.

Kesimpulan tersebut sebagaimana banyak tuntunan dan fatwa. Di antaranya, pertama, sebagaimana Fatwa DSN MUI, “Harga dalam akad jual beli harus sudah dinyatakan secara pasti pada saat akad, baik ditentukan melalui tawar menawar (bai' al-musawamah), lelang (bai' al-muzayadah), atau tender (bai' al-munaqashah).” (Fatwa DSN MUI No 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli).

Dan sebagaimana Fatwa DSN MUI, “Kuantitas dan/atau kualitas ujrah harus jelas, baik berupa angka nominal, prosentase tertentu, atau rumus yang disepakati dan diketahui oleh para pihak yang melakukan akad.” (Fatwa DSN MUI No 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah).

Kedua, kesepakatan kedua belah pihak. Berapa pun besaran margin dan upah itu diperbolehkan selama disepakati, diterima, dan diridhai oleh kedua belah pihak.

Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, “...Dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi).

Dan hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).

Dengan demikian, jika kedua belah pihak telah menyepakati tingkat margin, tingkat imbal hasil, dan fee tertentu, maka menjadi mengikat dan menjadi wajib ditunaikan oleh pembeli dan penyewa.

Ketiga, harga pasar. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW tentang tas’ir, “Diriwayatkan dari Anas RA pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW harga-harga barang naik, kemudian para sahabat meminta Rasulullah SAW menetapkan harga. Maka, Rasululah bersabda, 'Sesungguhnya Allah SWT, Zat Yang Maha Menetapkan Harga, Yang Maha Memegang, Yang Maha Melepas, dan Yang Maha Memberikan Rezeki. Aku sangat berharap bisa bertemu Allah SWT tanpa seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan tuduhan kezaliman dalam darah dan harta.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Teks hadis ini melarang penetapan harga (tas’ir) atas setiap komoditas ataupun jasa, tetapi kemudian Imam Malik menafsirkan makna (dilalah) hadis ini bahwa larangan menetapkan harga dalam hadis ini berlaku apabila kondisi pasar itu sehat dan harga ditetapkan oleh supply dan demand.

Namun, apabila terjadi monopoli dan harga ditentukan oleh pemain tunggal, intervensi boleh dilakukan oleh otoritas.

Berdasarkan penafsiran Imam Malik ini juga bahwa referensi untuk menentukan harga itu adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebijakan otoritas.

Keempat, juga didasarkan pada pendapat para ulama terkait dengan batasan maksimal keuntungan yang boleh diberlakukan oleh penjual. Mayoritas ulama berpendapat bahwa penjual memiliki hak untuk menawarkan harga berapapun besarannya menjadi dibolehkan selama disepakati oleh si pembeli atau pihak terkait.

Berbeda dengan sebagian, seperti Imam Malik yang melarang keuntungan yang berlipat-lipat karena itu termasuk ghabn fahisy yang dilarang. Saat ini umumnya lembaga fikih dan fatwa memilih pendapat yang pertama, dan didasarkan pada kelaziman dan kesepakatan para pihak.

Wallahu a’lam.

Membantu Sesama

Betapa beruntungnya orang yang senantiasa mempermudah urusan orang lain

SELENGKAPNYA

Ketika Raja Mengutamakan Tuhannya

Kisah ini mengingatkan akan makna kezuhudan.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya