Haji Agus Salim | DOK WIKIPEDIA

Kisah

Ketika Haji Agus Salim Diejek 'Kambing'

Dengan tenang dan lihai, Haji Agus Salim menyindir-balik mereka yang mengejeknya.

Haji Agus Salim dikenang sebagai diplomat yang ulung. Kecerdasannya mengesankan orang-orang, baik itu kawan maupun lawan.

Ada satu kisah tentang pahlawan nasional yang wafat pada 4 November 1954 itu. Seperti dituturkan Jef Last dalam In Memoriam. Suatu kali, pada 1923, Haji Agus Salim mesti menghadapi resistensi orang-orang komunis di Sarekat Islam (SI).

Pria yang berjanggut khas dan terkenal—(maaf) mirip kambing—itu akan memulai pidatonya. Namun, tiga kali dia mengucapkan salam, tiga kali pula muncul suara meledek “Mbek-mbek-mbek” muncul dari arah kelompok pemuda di barisan belakang.

Mereka itulah orang-orang yang berupaya mendelegitimasi pengaruh Haji Agus Salim di SI. Cara mereka meniru-niru suara kambing meledek tokoh Minangkabau itu.

Bagaimanapun, Haji Agus Salim sebagai pihak yang diledek, menghadapi masalah itu dengan tenang.

"Tunggu sebentar. Bagi saya sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambing pun telah mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya sayang sekali bahwa mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga mereka menyela dengan cara yang kurang pantas,” kata Agus Salim dengan tenangnya.

“Jadi saya sarankan agar untuk sementara mereka tinggalkan ruangan ini untuk sekadar makan rumput di lapangan. Sesudah pidato saya ini yang ditujukan kepada manusia selesai, mereka akan dipersilakan masuk kembali,” sambungnya kemudian.

 
Orang-orang yang tadinya ribut sendiri itu menjadi malu bukan kepalang.
   

Orang-orang yang tadinya ribut sendiri itu menjadi malu bukan kepalang. Tak lagi terdengar suara mereka menggangu pidato sang poliglot yang kelak menjadi profesor tamu pada Cornell University ini.

Membujuk dengan bahasa isyarat

Kisah lainnya terkait dengan kehebatan Haji Agus Salim dalam membujuk lawan bicaranya dengan kata-kata persuasif. Pada saat yang sama, hal itu juga menunjukkan kepekaan rasa kemanusiaannya.

Cerita bermula dari ketika Jepang menduduki Indonesia. Berbeda dengan Belanda yang melanggengkan penjajahan atas Nusantara secara berkelanjutan, Dai Nippon ketika itu cenderung ingin mengeruk sebanyak-banyaknya sumber daya alam dan manusia setempat. Itu semata-mata demi kemenangan di kancah perang melawan Sekutu.

Pada zaman pendudukan Jepang, Haji Agus Salim diminta bekerja pada markas Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang yang terletak di bekas tangsi KNIL, Bogor. Walaupun hanya mampu pasif berbahasa Jepang, dia justru bertugas dalam tim penyusun kamus kemiliteran untuk serdadu Dai Nippon.

photo
ILUSTRASI Balatentara Nippon saat Perang Dunia II. - (DOK NU)

Di Bogor, dia bersahabat dengan Kapten Yamasaki. Seperti diceritakan Mochtar dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, para tentara Jepang menaruh respek terhadap suami Zainatun Nahar tersebut.

Sewaktu (pada akhirnya) Dai Nippon kalah perang, Yamasaki hendak mengakhiri hidupnya (harakiri), seperti ksatria-ksatria Jepang yang berprinsip Bushido. Orang-orang itu berkeyakinan bahwa lebih baik mati daripada harus menyerah di hadapan musuh--yakni Sekutu.

Kebetulan, Agus Salim memergokinya tepat ketika Yamasaki hendak mengayunkan katananya ke arah perutnya. Ketika itu, orang Minangkabau ini belum fasih berbahasa Jepang. Sementara itu, sang kapten juga tidak lancar berbahasa Melayu--apalagi Belanda atau Inggris.

Haji Agus Salim pun hati-hati dan menggunakan bahasa isyarat pula, dengan diselingi bahasa Indonesia dan sedikit Jepang. Ia berupaya meyakinkan Yamasaki bahwa bunuh diri adalah tindakan pengecut. Yang terpenting justru adalah berani-hidup, bukan berani-mati.

 
Yang terpenting justru adalah berani-hidup, bukan berani-mati.
   

Sang kapten akhirnya terbujuk. Beberapa hari kemudian, ia memutuskan pulang ke negerinya dan kembali menjadi guru—profesinya sebelum terjun di militer.

Buku Seratus Tahun Haji Agus Salim menukil kesaksian Zainatun Nahar. Pada 1955, ia berkunjung ke Jepang. Ketika itu, Haji Agus Salim sudah berpulang ke rahmatullah.

Yamasaki di Jepang ternyata masih sehat walafiat. Saat dikunjungi Zainatun, ia mengelola sekolah keterampilan rumah tangga. “Tampaknya Yamasaki tak menyesali keputusannya 10 tahun yang lalu,” kenangnya.

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Dinamika Haji Agus Salim dan Sarekat Islam

Semula ditugaskan menjadi mata-mata, Haji Agus Salim justru terpikat idealisme Sarekat Islam.

SELENGKAPNYA

Kala Kemenakan Berguru pada Paman

Merantau di Arab dalam usia muda, Haji Agus Salim berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

SELENGKAPNYA

Masa Muda Haji Agus Salim

Mashudul Haq alias Haji Agus Salim telah merantau ke luar negeri sejak usia muda.

SELENGKAPNYA