Rahmah El Yunusiyah, perempuan tokoh pendidikan Islam | DOK JATMAN

Mujadid

Pejuang Pendidikan Perempuan dari Ranah Minang

Rahmah El Yunusiyah berjuang di dunia pendidikan. Kiprahnya menginspirasi al-Azhar Mesir.

"Diniyah School Putri ini selalu akan mengikhtiarkan penerangan agama dan meluaskan kemajuannya kepada perempuan-perempuan yang selama ini susah mendapatkan penerangan agama Islam dengan secukupnya daripada kaum lelaki. [...] Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan dituntut dari diri saya. Jika lelaki bisa, mengapa perempuan tidak bisa?"

Ungkapan di atas keluar dari lisan seorang perempuan Minangkabau, Rahmah El Yunusiyah. Hatinya bergejolak melihat kaum Muslimah terjauhkan dari pendidikan agama Islam pada masanya.

Didorong kegalauan hatinya, perempuan yang lahir pada tahun 1900 M itu mendobrak kultur masyarakat lokal yang ketika itu cenderung mengabaikan kebutuhan perempuan akan pendidikan.

Rahmah dilahirkan di Bukit Surungan, Padang Panjang, sebagai bungsu dari lima bersaudara. Beragam versi menyebut tanggal kelahirannya secara berbeda. Ayahnya, Muhammad Yunus bin Imanuddin, adalah seorang ulama besar yang pernah belajar di Makkah al-Mukarramah. Sang ayah juga sempat menjabat kadi di Pandai Sikat, Padang Panjang. Adapun ibundanya bernama Rafi’ah.

Junaidatul Munawaroh dalam artikel "Rahmah El-Yunusiyah: Pelopor Pendidikan Perempuan" (2002) menjelaskan, Rahmah berasal dari keluarga yang berperan dalam pembaruan Islam di Sumatra Barat. Seperti kakek Rahmah yang bernama Syekh Imaduddin, sang ayah adalah ahli falak dan juga pemimpin Tarekat Naqsabandiyah.

 
Kakak sulungnya, Zaenuddin Labay El-Yunusi, adalah guru sekaligus motivator terbesar bagi perkembangan intelektual Rahmah.
   

Menurut Rahmah, Zaenuddin adalah seorang otodidak yang dikenal sebagai pembaru sistem pendidikan Islam model surau. Abangnya itu merintis Diniyah School pada 1915.

Sebagian besar pengalaman pendidikan Rahmah diperoleh dari bimbingan keluarganya. Karena itu meski tidak cukup mendapatkan pendidikan formal—hanya sempat menempuh pendidikan selama tiga tahun di Diniyah School—Rahmah adalah perempuan yang cerdas. Kemampuan baca-tulis ia peroleh dari dua orang kakaknya, Zaenuddin Labay dan Mohammad Rasyid, serta dari buku-buku karangan Labay.

Kecerdasan itu menjadikan Rahmah seorang yang kritis, tidak lekas puas, dan selalu mencari hal-hal baru. Ia merasa tidak puas dengan sistem koedukasi, yakni sistependidikan campuran: laki-laki dan perempuan belajar di dalam kelas yang sama.

Sistem demikian diterapkan pada Diniyah School yang dirintis kakaknya. Bagaimanapun, menurut Muslimah ini, sistem tersebut membatasi atau bahkan meniadakan penjelasan secara terbuka mengenai pembahasan-pembahasan yang memang khusus perempuan.

Karena itu, Rahmah lalu memperdalam pelajaran agamanya setiap sore pada Haji Rasul atau Abdul Karim Amrullah. Ayahanda Buya Hamka itu menggelar majelis di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang.

photo
Surau Jembatan Besi di Padang Panjang, Sumbar, kini. - (DOK WIKIPEDIA)

Munawaroh (2002) menuliskan, di surau itu Rahmah belajar bersama Rasuna Said dari Maninjau (kini dikenang sebagai seorang pahlawan nasional RI). Ada pula Nanisah dari Bulaan Gadang Banuhampu dan Jawana Basyir dari Lubuk Alung.

Surau Jembatan Besi hancur akibat gempa bumi yang menyapu Padang Panjang pada 28 Juni 1926. Peristiwa itu membuat Haji Rasul memutuskan kembali ke kampungnya di Sungai Batang, Maninjau.

Rahmah pun melanjutkan pelajaran agamanya pada beberapa guru, yakni Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padang Panjang, pengarang kitab fikih Al-Mu’in Al Mubin), Syekh Abdul Latif Rasjidi, Syekh Mohammad Djamil Djambek, serta Syekh Daud Rasyidi. Yang terakhir itu pernah berguru pada seorang imam Masjidil Haram, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Selain ilmu agama, Rahmah mempelajari sejumlah bidang ilmu lain dari para gurunya itu. Di antaranya, ilmu kesehatan (khususnya kebidanan) dan keterampilan kewanitaan, seperti memasak, menenun, dan menjahit. Ilmu-ilmu itu ia turunkan kepada para muridnya di kemudian hari.

Merintis sekolah

Mendirikan sekolah perempuan didorong dari rasa ketidakpuasannya. Rahmah merintis Madrasah Diniyah lil Banat (Diniyah School Putri) pada 1 November 1923. Semula, jumlah peserta didiknya sebanyak 71 orang. Mereka umumnya adalah ibu-ibu muda.

Dengan siswi-siswi yang ia himpun dari kalangan ibu muda, Rahmah mula-mula menggunakan bangunan Masjid Pasar Usang Padang Panjang sebagai tempat belajar mengajar. Karena pendidikan perempuan dianggap hal yang tidak penting kala itu, sekolah yang dirintisnya praktis mengundang cemoohan masyarakat. Namun, wanita ini tak menyerah.

 
Sekalian itu (cemooh) tidaklah mengecilkan hati saya. Telah terpatri di mata hati saya akan menyampaikan cita-cita Diniyah School Putri ini untuk seluruh anak bangsa, putri-putri Islam Indonesia ini.
Rahmah El Yunusiyah
 

Rahmah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikan itu. Selama 46 tahun di bawah kepemimpinannya, Diniyah School Putri berkembang pesat. Keteguhan dan kegigihan Rahmah berbuah manis. Sekolah yang berkembang menjadi perguruan itu telah menampung ribuan siswi dan mahasiswi hingga saat ini.

Dalam kurun waktu itu, Rahmah telah mendirikan lembaga pendidikan Alquran, Menjesal School untuk kaum ibu yang belum bisa baca-tulis. Ia pun memulakan Freubel School (Taman Kanak-kanak) dan Junior School (setingkat HIS). Seiring berjalannya waktu, Diniyah School Putri menerapkan jenjang pendidikan tujuh tahun, yakni tingkat ibtidaiyah empat tahun dan tsanawiyah tiga tahun. Selain itu, sebuah sekolah tenun juga didirikannya pada 1936 di kompleks Diniyah Putri.

Kemudian, pada 1937, berdiri pula program Kulliyyatu al-Mu’allimat al-Islamiyah (dengan jenjang pendidikan tiga tahun) untuk mendidik calon guru. Untuk tingkat perguruan tinggi, didirikan Fakultas Tarbiyah dan Dakwah atau Fakultas Dirasah Islamiyah pada 1967.

photo
Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang, Sumatra Barat. - (DOK DINIYAH PUTRI)

Gelar doktor kehormatan

Pada 1957, Rahmah diundang ke Universitas Al-Azhar Kairo untuk mendapat gelar kehormatan tertinggi, Syeikhah, yakni setara doktor honoris causa. Penghargaan itu diberikan sebagai pengakuan atas inisiasi dan peran luar biasanya dalam merintis pendidikan Islam bagi perempuan.

Ia menjadi perempuan pertama sekaligus satu-satunya wanita Minangkabau yang menerima gelar tersebut dari universitas Islam tertua di dunia tersebut.

Sebelumnya, pada 1955, Rektor Universitas al-Azhar Dr Syekh Abdurrahman Taj mengunjungi Perguruan Rahmah El-Yunusiyyah di Padang Panjang. Mencontoh perguruan rintisan Rahmah itu, Syekh Abdurrahman kemudian mengembangkan fakultas khusus perempuan di al-Azhar yang diberi nama Kulliyyah lil Banat.

 

 
Ia menjadi perempuan pertama (menerima doktor kehormatan dari al-Azhar).
   

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Situasi di Palestina Makin Gawat

Empat pemukim ilegal dibunuh sebagai balasan penyerangan Israel di Jenin.

SELENGKAPNYA

Merebut Keagungan Dzulhijah

Ada dua cara amal saleh yang direbut hamba-hamba Allah saat Dzulhijah,

SELENGKAPNYA

Islam dan Kekuasaan (II)

Kerapuhan dibungkus dengan kekejaman dengan mudah terbaca mereka yang cerdas.

SELENGKAPNYA