KH Ahmad Shofawi | DOK NU

Mujadid

Pebisnis yang Berjuang untuk Umat

Bukan hanya alim, KH Ahmad Shofawi juga merupakan seorang saudagar yang sukses.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di bumi Nusantara merupakan wadah pencetakan kader-kader Muslim. Mereka diharapkan tidak hanya memahami ajaran-ajaran agama, tetapi juga mampu menebar manfaat untuk sesama di bidang apa pun.

Pada akhirnya, tidak semua jebolan pondok pesantren (ponpes) mengambil peran sebagai alim ulama. Sejarah mencatat, sebagian alumninya menekuni pelbagai ranah kehidupan, tidak terkecuali dunia bisnis.

Nama KH Ahmad Shofawi termasuk satu dari sekian banyak santri yang terjun di bidang wirausaha. Setelah selesai nyantri di ponpes asuhan KH Ahmad Kadirejo, Klaten, Jawa Tengah, tokoh kelahiran tahun 1879 ini lebih tertarik menekuni dunia bisnis. Dan, dirinya bertungkus lumus di sana.

Usaha yang ia jalankan terbilang kelas berat, yaitu tenun kain. Modal yang besar dan persaingan yang ketat kala itu menjadi tantangan utama.

Namun, berkat ketekunan dan kejujurannya selama beberapa tahun, Kiai Ahmad Shofawi pun perlahan namun pasti menjadi seorang pengusaha sukses dan maju. Usahanya pun patut diperhitungkan dalam skala nasional karena dirinya memiliki karyawan banyak dan berbagai cabang di daerah-daerah.

 
Ketika itu, pengusaha di bidang yang sama masih manual dan tradisional, yakni memanfaatkan tenaga manusia. Sementara itu, Kiai Shofawi sudah selangkah lebih maju.
   

Produksi kain tenunnya menggunakan mesin. Pada waktu itu, yang memiliki mesin tenun masih langka. Alhasil, jumlah produksi yang dihasilkan perusahaan milik jebolan ponpes ini lebih banyak. Lebih-lebih, kualitas barang produksinya bisa bersaing dengan hasil tenun manual.

Keuletan berdagang dan menjalankan bisnisnya itu mengantarkannya sebagai tokoh santri yang hartawan. Kendati demikian, ia tetap sederhana dan tidak takabur. Bahkan, ia berpikiran progresif, yakni ingin memajukan dunia pendidikan lewat keberhasilannya berdagang.

Baginya, pendidikan lebih penting daripada mewariskan harta benda. Untuk itu, dia dengan beberapa sahabatnya mendirikan sebuah pondok pesantren yang diberi nama Ponpes al-Muayyad. Pondok pesantren ini berada di daerah Mangkuyudan, Solo, Jawa Tengah.

Kekayaan yang dimiliki Mbah Kaji Sapawi, begitu sapaan akrabnya, benar- benar dibelanjakan di jalan Allah SWT. Ia memiliki semangat tinggi (ghirah) untuk menumbuhkembangkan pesantren.

 
Ia memiliki semangat tinggi (ghirah) untuk menumbuhkembangkan pesantren.
   

Ia turut membantu pembangunan sarana dan prasarana pesantren. Di antaranya adalah, lahan seluas 3.500 meter persegi untuk membangun pesantren, madrasah, dan Masjid Al-Muayyad Laweyan-Solo, donasi kayu jati untuk masjid di Pesantren Krapyak Yogyakarta, dan Pesantren Sarang, Rembang.

Bahkan, konon Pesantren Gontor Ponorogo tak luput dari perhatian dan donasinya. Putra Mbah Kaji Sapawi, KH Idris Shofawi, mengisahkan, pendiri Pesantren Gontor Kiai Zarkasyi mengirim tiga utusan ke Solo untuk mencari tambahan donatur.

"Di sana bertemu Mbah Sapawi. Kemudian oleh Mbah Sapawi, dicukupi biaya yang dibutuhkan," kata Kiai Idris menerangkan, seperti dilansir dari situs resmi Nahdlatul Ulama (NU).

Donasi yang diberikan oleh Mbah Kaji Sapawi tak terbatas pada lembaga pendidikan. Kedermawanannya juga menyasar tempat-tempat ibadah dan lembaga yang berkhidmat pada kemajuan umat.

Ia adalah sosok berjasa di balik berdirinya Madrasah dan Masjid Tegalsari. Tanah lokasi masjid serta sebagian yang sekarang kompleks bangunan pesantren dan sekolah MI/SD/SMP Ta'mirul Islam di Tegalsari merupakan wakafnya.

Tanah seluas 2000 meter persegi (lebar 40 m, panjang 50 m) tersebut, dulunya disebut "gramehan", yaitu tempat untuk memelihara ikan gurami.

Bahkan, harta benda yang dititipkan Allah SWT kepadanya tidak sedikit dikeluarkan demi keperluan para pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam barisan Kiai Sabilillah maupun Hizbullah yang terkenal dengan "Pasukan Lawa- lawa".

Konsisten

Sebagai tokoh panutan di Tegalsari bahkan di wilayah Surakarta, Mbah Kaji Sapawi adalah sosok yang benar-benar konsisten menjaga dua prinsip, yaitu quu anfusakum wa ahlikum naran (jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) dan wata'awanu `alal birri wat taqwa (tolong-menolonglah kalian semua dalam kebaikan dan takwa).

 
Mbah Kaji Sapawi adalah sosok yang benar-benar konsisten menjaga dua prinsip.
   

Bahkan, hingga jelang akhir hayatnya, Kiai Shofawi masih ikut mengawasi corak pendidikan dan ibadah yang dilakukan putra- putrinya. Sering kali, ia shalat berjamaah di masjid, berada di saf belakang putranya yang masih kecil. Tujuannya adalah untuk mengawasi shalat mereka.

Khusus untuk pendidikan putri-putrinya, Kiai Shofawi mendatangkan ulama untuk mengajarkan langsung pendidikan Islam kepada mereka. Di antara ulama-ulama itu ada KH Djauhar Keprabon, KH Mawardi Sepuh Keprabon, KH Masjhud Keprabon, dan KH Asy'ari Tegalsari. Pada 1962, tokoh dermawan ini tutup usia dan dimakamkan di Laweyan, Solo.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kunci Kejayaan Umat di Jabal Nur

Saya terus mendaki, mengejar waktu agar bisa melaksanakan sholat Subuh di Gua Hira.

SELENGKAPNYA

Bejatnya Poliandri

Poliandri merusak kehidupan keluarga sehingga nasab manusia menjadi tidak jelas.

SELENGKAPNYA

Memanjangkan Shalat

Rasulullah memanjangkan bacaan shalat Subuh dibandingkan shalat-shalat yang lain.

SELENGKAPNYA