
Kisah Mancanegara
Perang, Damai, Muslim, dan Viking
Bangsa Nordik sudah sejak lama berhubungan dengan peradaban Muslim.
Oleh FITRIYAN ZAMZAMI
Di Museum Nasional Denmark di Kopenhagen, ada replika perahu raksasa. Ia dibangun dengan rangka-rangka dari besi dan sejumlah kayu-kayu tua yang masih tersisa dari perahu aslinya.
Kerangka besi tersebut merentang sepanjang 37,4 meter. Puing-puing kayu dari perahu asli ditemukan di pelabuhan Roskilde, sekitar sejam perjalanan dari Kopenhagen, pada 1997. Perahu besar itu diyakini para arkeolog berasal dari awal abad ke-11.
Pada masanya beroperasi, ada layar segi empat tunggal raksasa di bagian tengah kapal. Ia dibuat dari bahan wol dan dilapisi ramuan supaya tahan air. Sekitar 80 pasukan Viking bisa muat didalamnya. Mereka mendayung tanpa lelah dan tidur seadanya beratapkan biru langit, awan, dan bintang gemintang.

“Perahu ini yang paling maju di wilayah ini pada masanya,” tutur Henrik Hoist-Anderson, salah satu juru penerangan Museum Nasional kepada Republika, Selasa (13/6/2023) lalu. Ia dibangun dengan lebar badan yang ideal sehingga lebih fleksibel dan tak mudah patah saat diterjang ombak. Perahu jenis ini bagian dasarnya juga tak terlampau dalam tenggelam di air sehingga bisa bermanuver dengan ligat.
Pada pertengahan abad ke-9, tepatnya pada 559, seorang pangeran Kerajaan Swedia, Bjorn Ironside, bertolak menuju selatan dengan kapal serupa yang dipamerkan tersebut. Ada kepala hewan mitologis Ular Dunia alias Jormungandr di ujung depan perahu seperti layaknya perahu-perahu perang kaum pagan Nordik kala itu.
Bjorn Ironside didampingi Hastein, seorang kepala suku dari Denmark yang terkenal hebat bertempur. Mereka membawa serta ratusan Viking, alias para perompak berperahu kala itu. Tujuannya, mencoba menjarah Roma di Italia.
“Jadi Viking ini sebenarnya bukan nama etnis, tapi kegiatan orang-orang di wilayah Skandinavia yang melakukan penjarahan dari laut dan sungai,” kata Hoist-Anderson. Pasukan Ironside dan Hastein ini sangat efektif. Kebanyakan bersenjatakan kapak khas Nordik. Hanya bangsawan dan pasukan elite yang menggunakan pedang panjang.
Mula-pula, pasukan dengan kekuatan 60 perahu itu merangsek melalui jalur Eropa bagian barat dan turun ke selatan. Francia, yang kini merupakan wilayah Prancis jadi korbannya yang mula-mula. Gereja-gereja serta kekayaan di dalamnya dirampas, orang-orang dibunuh, dan perempuan diperkosa.
Dari Normandia, para Viking kemudian menuju Semenanjung Iberia, wilayah yang sekarang meliputi Spanyol dan Portugal. Satu per satu, kota-kota tepi Laut Tengah yang saat itu merupakan wilayah kerajaan islam juga dijarah.

Mereka mulanya tiba di Algeciras, wilayah yang dulu bernama Aljazirah al-Khadra, di Andalusia. Di sana, Bjorn dan Hastein bersama pasukan mereka membakar masjid agung, merampok apa yang bisa mereka ambil dari rumah ibadah tersebut, juga membunuhi warga setempat. Pasukan Viking melakukan hal serupa di Mizzima, lokasi yang saat ini masuk wilayah Maroko di ujung utara Afrika.
Dari Iberia, para Viking menuju Laut Mediterania alias Laut Tengah untuk meneruskan penjarahan. Satu-satu kota tepi pantai di wilayah Italia saat ini jadi korban. Pisa dan Sisilia dijarah dengan mudah.
Di Luna, pasukan ini berpura-pura hendak menganut agama Kristen. Tiba di tengah kota, mereka membongkar samaran dan menghabisi pendeta-pendeta serta membunuh warga setempat dan melakukan pemerkosaan.
Kebrutalan Viking di Semenanjung Iberia dan Mediterania ini sedianya bukan barang baru. Sejumlah sejarawan Muslim di Andalusia abad pertengahan seperti Ahmad al Razi dan Muawiyah bin Hisam Assabinasi menuturkan bahwa pertamakalinya Viking menyerang kota Muslim terjadi pada akhir Muharram 230 Hijriyah yang bertepatan dengan September 844.

Saat itu, mereka menyerang Sevilla alias Isbiliyyah tanpa ampun. Kota tersebut kala itu tanpa pertahanan dan ditaklukkan dengan mudah. Sejumlah bantuan dari kerajaan Muslim sekitar kemudian berhasil mengusir para Viking pada 844 tersebut.
Menurut Ahmad al Razi, ekspedisi pada 859 adalah yang keduakalinya Viking mencoba menjarah wilayah-wilayah Muslim. Al Razi menempatkan kejadian itu pada 245 Hijriyah. Saat itu, penjarahan-penjarahan Viking sudah jadi ancaman yang berulang dihadapi wilayah-wilayah di Eropa dan terkadang Afrika Utara, baik di bawah kerajaan Kristen maupun Islam.
Emir Kordoba, Muhammad bin Abdurrahman alihat Muhammad I saat itu merasa jengkel dengan leluasanya penjarahan-penjarahan yang juga disertai pembunuhan dan pemerkosaan tersebut. Ia kemudian menyusun pasukan dan strategi guna mengalahkan para Viking. Strategi tersebut kemudian ia jalankan saat para Viking hendak kembali dari ekspedisi penjarahan.
Emir Muhammad I menyiapkan penyergapan di Wadi al-Kabir alias Guadalquivir di dekat Selat Gibraltar. Kapal-kapal penyergap disiapkan, dilengkapi dengan sejenis ketapel raksasa yang bisa melontarkan bola-bola api.

“Dalam perjalanan pulang, mereka (para Viking) bertemu dengan armada Muhammad, yang membakar kapal orang kafir dan menangkap dua lainnya. Muatannya diambil sebagai jarahan. Untuk semua ini, orang-orang kafir sangat marah dan mereka melawan dengan kekuatan dua kali lipat energinya, inilah mengapa banyak umat Islam yang syahid. Kapal-kapal Majusi (Muslim zaman itu menyebut Viking sebagai kaum Majusi karena mereka merupakan kaum pagan) itu kemudian melanjutkan menuju Banbaluna (Pamplona),” tulis Ahmad al Razi dalam kitab Akhbar muluk al-Andalus.
Museum Nasional Kopenhagen mendedikasikan program interaktif mereka berupa film pendek dan pameran artifak terkait ekspedisi yang berujung kekalahan Viking tersebut.
Pada akhir kisah, bola-bola api menerjang perahu-perahu Viking dan menenggelamkan banyak penjarah. Alih-alih mendapat Valhalla sebagai imbalan semacam surga pejuang Viking yang mati perang, mereka dijemput Ran, dewi Nordik yang menyandera mereka-mereka yang tenggelam.
Misi dagang
Tapi kisah Viking dan Muslim tak selalu soal peperangan. "Yang berangkat menjarah hanya sebagian kecil saja. Kebanyakan saat itu adalah petani. Mereka juga pedagang yang mengelana ke berbagai wilaya lewat sungai dan laut," kata Hoist-Anderson.
Ia menuturkan, perahu yang dipakai berdagang berbeda dengan perahu panjang untuk perang. Badannya lebih lebar agar bisa memuat banyak barang dagangan. Biasanya ada tenda juga untuk berteduh para awak kapal dan pedagang. Perahu lebar jenis ini yang sampai ke wilayah Amerika Utara lebih seribu tahun lalu, jauh melampaui Christopher Columbus.

Dengan perahu-perahu dagang ini juga, bangsa Rus, sebutan sejarawan Muslim untuk bangsa Nordik, berkelana ke wilayah-wilayah kerajaan Islam hingga ke Asia Barat dan Timur Tengah.
Ratusan koin-koin perak alias dirham dengan tulisan Arab yang dipamerkan di Museum Nasional Kopenhagen jadi saksi bisu hubungan damai lewat perdagangan itu. Koin-koin tersebut ditemukan jauh dari asal dicetaknya di wilayah Samarkand. Sebagian ditemukan di wilayah Skandinavia, Sungai Volga, sampai di Inggris.
Tak semuanya juga dalam keadaan utuh. Ada beberapa yang tinggal seperempat untuk memecah nilainya. "Koin-koin 'Islam' ini dipakai selama ratusan tahun pada masa Viking. Setelah masuk Kristen baru kemudian diganti," kata Hoist-Anderson. "Kita harus ingat, perekonomian ini insentif yang sangat baik untuk berdamai," ia melanjutkan.
Pada akhirnya, hubungan Muslim dan Viking tak ubah seperti hubungan bangsa-bangsa pada masa lalu. Terkadang ada konflik dan penjarahan-penjarahan, tapi hubungan dagangnya juga sangat kuat. Apapun yang terjadi di antara mereka pada masa lalu, ia semestinya dikenang. Ia adalah pengingat yang ampuh bahwa "Barat" dan "Timur" bukanlah jarak yang terlalu jauh.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.