Masjid Amr bin Ash di Kairo, Mesir. Sahabat Nabi, Amr bin Ash, berperan dalam melebarkan daulah Islam hingga ke Mesir. | DOK WIKIPEDIA

Kisah

Sosok Sahabat Nabi, Amr bin ‘Ash

Sebelum memeluk Islam, Amr bin ‘Ash termasuk kelompok penentang Nabi SAW.

Ada satu pertanyaan yang mengganggu benak Amr bin ‘Ash sepulang dari Habasyah. Waktu itu, dirinya selaku ketua delegasi kafir Quraisy Makkah ditanya oleh Raja Najasyi. “Mengapa kau tidak beriman kepada Rasulullah (Muhammad SAW), padahal kau dan kaummu sudah mengetahui tentang akan diutusnya rasul akhir zaman?”

Rupanya, pertanyaan itu menjadi perenungan baginya. Begitu sampai di Makkah, Amr berefleksi. “Benarkah Muhammad memang utusan Allah? Bukankah ia hanya mengincar kedudukan dengan pengaruhnya di Makkah?”

Sementara itu, hijrah telah terjadi. Kini, situasi antara umat Islam dan kaum musyrik berubah. Basis kekuasaan Muslimin berpusat di Madinah, sedangkan kaum kafir Quraisy dibiarkan di Makkah. Namun, dari kota itu para petinggi suku itu terus mengadakan upaya-upaya demi menyudutkan Rasulullah SAW.

Bukannya kemenangan, Quraisy justru jatuh dalam lembah kehinaan. Apalagi, kebanyakan perang yang memperhadapkan kaum musyrikin dan Muslimin berujung pada kemenangan di pihak Islam. Fajar kegemilangan semakin nyata bagi Rasulullah SAW dan umat beliau.

Kira-kira, delapan tahun setelah hijrah, tanda-tanda kemunduran kekuatan kaum musyrik kian nyata. Dalam perang Ahzab, betapapun kaum musyrik bersekutu dengan kubu-kubu lain yang memusuhi Nabi SAW, tetap saja kekalahan terjadi.

 
Dalam kondisi demikian, Amr bin ‘Ash berubah haluan.
   

Dalam kondisi demikian, Amr bin ‘Ash berubah haluan. Dia menuju ke Madinah untuk menyatakan sumpah setia kepada Rasulullah SAW. Peristiwa ini terjadi hanya selang enam bulan sebelum umat Islam membebaskan Makkah tanpa pertumpahan darah (fathu Makkah).

Amr bin ‘Ash kemudian berpapasan dengan dua orang tokoh Makkah lainnya, Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah. Amr lantas menyadari keduanya memiliki niatan yang sama dengannya. Sesampainya di Madinah, ketiga orang ini diterima dengan baik oleh Rasulullah SAW. Bahkan, Nabi SAW sampai-sampai bersabda, “Makkah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita.”

Amr bin ‘Ash melakukan sumpah setia setelah Khalid bin Walid kepada Rasulullah SAW. Namun, sebelum itu ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, saya akan berbaiat kepada Tuan, asalkan Allah mengampuni dosa-dosaku yang telah lalu.”

“Wahai Amr, berbaitlah. Karena, Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya,” sambut Rasulullah SAW. Sejak masuk Islam, tidak ada yang menyurutkan langkahnya demi menegakkan panji-panji tauhid.

 
Sejak masuk Islam, tidak ada yang menyurutkan langkahnya demi menegakkan panji-panji tauhid.
   

Berperan besar

Sejak menjadi Muslim, Amr bin ‘Ash turut membersamai perjuangan Islam. Bahkan, perannya tetap berkibar pada masa setelah wafatnya Rasulullah SAW.

Dalam era kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, ia diamanatkan sebagai gubernur, secara berturut-turut, di Palestina, Yordania, dan kemudian Mesir. Sempat pula Amr menjadi pemimpin perpanjangan tangan Madinah di Oman, atas perintah Rasulullah SAW.

Jasa Amr bin ‘Ash terutama di balik pembebasan Mesir. Negeri tersebut berhasil menjadi salah satu kawasan yang menerima Islam. Sebelumnya, Kekaisaran Romawi mengendalikan politik dan ekonomi Mesir.

 
Pembebasan Mesir bermula ketika Khalifah Umar memerintahkan Amr bin ‘Ash dan pasukannya untuk menuju negeri itu demi menghadapi Romawi.
   

Pembebasan Mesir bermula ketika Khalifah Umar memerintahkan Amr bin ‘Ash dan pasukannya untuk menuju negeri itu demi menghadapi Romawi. Sejarah mencatat, saat itu Amr bin ‘Ash “hanya” disertai empat ribu orang tentara. Tentu saja, Khalifah Umar bukan tanpa perhitungan dalam merestui misi Amr bin ‘Ash ini.

Telah terjadi korespondensi surat-menyurat antara Madinah dan Amr bin ‘Ash selama perjalanannya. Selain itu, Khalifah Umar terus bertukar pikiran dengan para penasihatnya di Madinah, apakah mungkin pasukan Islam dapat memasuki Mesir tanpa didesak Romawi.

Sekali lagi, di sinilah insting kepemimpinan militer Amr bin ‘Ash teruji. Sampailah saatnya Khalifah Umar khawatir akan ketahanan pasukan Amr dalam menghadapi Romawi. Dalam prediksinya, pasukan Muslim itu belum tiba di Mesir atau masih di sekitar Palestina. Sehingga, sang khalifah mengirimkan sebuah surat yang kemudian dibawa seorang utusan agar sampai ke tangan Amr bin ‘Ash.

Rupanya, Amr bin ‘Ash dapat “membaca” kegelisahan sang khalifah. Begitu utusan menyerahkan surat itu kepada Amr, pemimpin pasukan Muslim ini meminta bawahannya agar menyimpan baik-baik surat tersebut. Dengan begitu, Amr bin ‘Ash masih belum membukanya.

Amr bin ‘Ash lantas memimpin pasukannya memasuki wilayah Arisy. Di sana, ia bertanya kepada seorang pasukannya, “Apakah sekarang kita sudah memasuki Mesir atau masih berada di Palestina?”

“Sekarang, kita sudah berada di Mesir,” jawab pasukannya itu.

Maka Amr bin ‘Ash meminta kembali surat dari Khalifah Umar itu. Beginilah isinya: “Wahai Amr bin ‘Ash. Jika engkau membaca surat ini sebelum engkau memasuki Mesir, maka kembalilah (ke Madinah)! Namun, bila engkau sudah memasuki Mesir, maka teruskanlah (misi pasukan Muslim) dengan keberkahan dari Allah.”

Menjadi nyata maksud Amr bin ‘Ash yang sebelumnya menunda untuk membaca surat Khalifah Umar. Oleh karena perintah tertulis sang khalifah dalam suratnya itu, Amr bin ‘Ash kian mantap melanjutkan pergerakan pasukannya ke sejumlah kota di Mesir. Misi ini bergerak mendekati kota Farma, Belbis, dan Ummu Danain. Selang waktu kemudian, Amr bin ‘Ash tiba di Alexandria (al-Iskandariah), di mana sekitar 50 ribu pasukan Romawi berjaga-jaga.

Seluruh tentara Muslim pimpinan Amr bin ‘Ash mengepung dinding kota al-Iskandariah. Dalam waktu itu, tibalah kabar bahwa ada pergantian penguasa Romawi Timur di Konstantinopel. Penggantinya merupakan adik dari raja terdahulu. Atas perintah penguasa baru ini, wakil Romawi di Mesir, Mauqaqis, diperintahkan mengadakan perjanjian damai dengan pasukan Muslim. Sebab, raja baru ini memandang pasukan Muslim sebagai kekuatan yang signifikan.

Isi perjanjian damai itu terdiri atas beberapa poin. Di antaranya adalah bahwa umat Islam harus menghormati keberadaan rumah-rumah ibadah orang Kristen. Selain itu, orang Romawi bebas kembali dengan harta bendanya ke manapun dari al-Iskandariah. Amr bin ‘Ash menyanggupi perjanjian damai tersebut.

Dengan demikian, wilayah Mesir dapat ditembus daulah Islam. Amr bin ‘Ash segera mengirimkan utusan ke Madinah untuk mengabarkan berita baik ini. Kepada penduduk Mesir, Amr bin ‘Ash menyerukan panji-panji Islam.

Katanya, sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW, para penduduk sipil akan dihormati dan dilindungi hak-haknya. Islam membebaskan Mesir dari penderitaan yang dialami selama berada di bawah rezim Romawi.

Bahkan, hadis menyebutkan sabda Rasulullah SAW tentang negeri ini: “Jika kalian menaklukkan Mesir, maka aku wasiatkan agar kalian berbuat baik kepada orang-orang Qibthi (Mesir) ini. Mereka berhak atas perlindungan dan kasih sayang.”

photo
ILUSTRASI Masjid Amru bin Ash di Mesir.  - (Republika/Agung Supriyanto)

Ujung usia

Amr bin ‘Ash wafat dalam usia sekitar 90 tahun. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia sempat berwasiat, “Anakku, aku telah mengalami tiga tahap dalam hidupku. Awalnya, aku termasuk para pembenci Rasulullah SAW. Saat itu, betapa bahagianya aku jika sampai bisa menangkap dan membunuh beliau dengan tanganku sendiri. Seandainya Allah mewafatkanku ketika itu, pasti aku termasuk penghuni neraka.

Namun, Allah kemudian menghadirkan rasa cinta di dalam hatiku kepada Islam. Maka aku mendatangi Nabi SAW. Aku berkata kepada beliau, ‘Ulurkan tanganmu. Aku akan membaiat engkau.’ Rasulullah kemudian mengulurkan tangan kanan beliau. Namun, kemudian aku menahan sebentar tanganku.

‘Ada apa, wahai Amr?’ tanya beliau.

‘Aku ingin engkau memberikan satu syarat kepadaku.’

’Apa syarat yang engkau inginkan?’ tanya Rasulullah kemudian.

‘Aku ingin agar dosa-dosaku di masa lampau diampuni Allah,’ jawabku.

Maka Rasulullah bersabda, ‘Apakah engkau tidak mengetahui, Islam menghapus dosa-dosa yang telah lalu?’

 
Aku selalu segan bila berhadapan mata dengan beliau (Rasulullah SAW) karena aku sangat menghormati beliau.
Amr bin 'Ash
 

Sungguh, tidak ada satu orang pun yang lebih kucintai daripada Rasulullah SAW. Kedua mataku selalu membayangkan diri beliau. Aku selalu segan bila berhadapan mata dengan beliau karena aku sangat menghormati beliau.
Bila kiranya aku diminta menjelaskan bagaimana fisik beliau, mungkin aku tidak akan mampu. Jika aku wafat, aku berharap masuk sebagai penduduk surga kelak.”

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Amr bin Ash dan Misi Quraisy yang Gagal

Dahulu sebelum memeluk Islam, Amr bin Ash sempat menjadi utusan Quraisy menghadap raja Habasyah.

SELENGKAPNYA

‘Pernikahan Mendekatkanku pada Islam’

Seorang mualaf asal Amerika Serikat (AS) Anna Maidi mengenal ajaran Islam dari lelaki yang akhirnya menjadi suaminya.

SELENGKAPNYA

Dahulu Ateis, Kini Muslimah Berhijab

Seorang mualaf asal Denmark, Annette Bellaoui menemukan kebenaran dan kedamaian dalam Islam.

SELENGKAPNYA