
Kisah Dalam Negeri
Terdesak Ekonomi, Daenah Cedera di Luar Negeri
Korban-korban perdagangan orang terus bermunculan.
Oleh LILIS SRI HANDAYANI
Desakan kebutuhan ekonomi tak jarang memicu manusia untuk menempuh jalan-jalan yang berbahaya. Demikian juga yang dilakukan Daenah (32 tahun), warga Desa Pranggong, Kecamatan Arahan, Kabupaten Indramayu.
Ia menuturkan, beberapa waktu lalu melihat tawaran kerja di luar negeri di laman Facebook-nya. Setelah menghubungi empunya akun, ia kemudian ditawari bekerja di Uni Emirat Arab.
Daenah saat itu sedang membutuhkan uang untuk perbaikan rumah yang belum selesai. Ia bersama suami juga butuh dana untuk mengkhitankan anak lelaki mereka
Oleh sponsor itu, Daenah diiming-imingi gaji sebesar Rp 5 juta per bulan di UEA. Dia bahkan mendapatkan bayaran (fee) sebesar Rp 3 juta oleh sponsor sebelum berangkat ke UEA.

Tak menunggu lama, ia kemudian diberangkatkan secara ilegal ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada Januari 2022. Padahal, pemerintah telah menerbitkan moratorium pengiriman PMI ke Timur Tengah sejak 2015 hingga sekarang.
Janji manis yang ditawarkan ternyata berbuah pahit. Daenah hanya mendapatkan gaji sebesar 900 dirham (Rp 3,6 juta) dari yang awalnya dijanjikan 1.200 dirham (Rp 4,8 juta). Tenaganya pun diforsir selama bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di rumah warga Abu Dhabi yang mempekerjakannya.
“Jam kerjanya full, dari pagi pukul 05.00 sampai pukul 23.00. Majikan memang tidak melakukan kekerasan, tapi suka marah-marah,” tuturnya saat ditemui di kediamannya pada Jumat (9/6/2023).
Daenah pun berganti empat majikan dalam waktu tiga bulan. Saat bekerja di majikan keempat, dia terjatuh dari lantai dua rumah majikannya.

Setelah sempat dibawa ke rumah sakit dan KBRI setempat, Daenah pulang ke Indonesia dengan biaya sendiri. Untuk keperluan itu, suaminya, Casmana (35), mentransfer uang sebesar Rp 20 juta agar Daenah bisa pulang.
Daenah tiba di Tanah Air pada Juni 2022 dalam kondisi tangan yang luka hingga membuatnya cedera permanen. Tak ada tanggung jawab dari sponsor yang dulu memberangkatkannya.
Casmana menjelaskan, uang sebesar Rp 20 juta itu diperolehnya dari utang kanan-kiri ke saudara dan tetangganya. “Sampai sekarang utang itu belum lunas,” kata pria yang bekerja sebagai nelayan tersebut.
Casmana mengatakan tidak akan lagi mengizinkan istrinya pergi bekerja ke luar negeri. Apalagi, kondisi tangan istrinya kini tidak memungkinkan lagi untuk bekerja di luar negeri.

Hal senada diungkapkan Daenah. Dia juga mengaku sudah tidak mau lagi bekerja ke luar negeri. "Enggak ah, tidak mau berangkat lagi," ucapnya.
Aparat kepolisian di Indramayu meminta masyarakat yang menjadi korban TPPO di Kabupaten Indramayu untuk tidak takut melaporkan kasus tersebut. Polres Indramayu memberikan jaminan keamanan kepada korban maupun keluarganya.
Hal itu disampaikan Kapolres Indramayu AKBP M Fahri Siregar saat mengunjungi rumah Daenah. Fahri datang ke rumah Daenah dengan membawa dokter dan psikolog.
Kehadiran dokter dan psikolog itu merupakan bagian dari layanan Satgas TPPO Polres Indramayu terhadap korban TPPO. "Kami memberikan pelayanan rehabilitasi kesehatan dan pendampingan kesehatan, baik jasmani maupun rohani," kata Fahri.

Fahri meminta kepada korban dan keluarganya untuk tetap bersemangat dan tidak perlu merasa cemas. "Saya minta Ibu (Daenah) jangan cemas. Kalau ada yang mengintimidasi, mencoba mengganggu, laporkan kepada kami," ujar Fahri.
Fahri menyatakan, jajarannya akan memberikan jaminan keamanan. Tak hanya kepada Daenah, tapi juga kepada korban TPPO lainnya. "Pemberangkatan PMI secara ilegal harus dihentikan, jangan merajalela," kata Fahri. Untuk kasus TPPO yang menimpa Daenah, Polres Indramayu pun telah menangkap tiga orang pelaku. Ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Jajaran Polresta Cirebon juga mengungkap empat kasus TPPO. Dari hasil pengungkapan kasus TPPO tersebut, petugas berhasil mengamankan empat tersangka.
Kapolresta Cirebon Kombes Pol Arif Budiman mengatakan, modus para tersangka kasus TPPO bervariasi. Di antaranya menawarkan korban untuk bekerja di luar negeri, tapi penempatannya tidak sesuai seperti yang dijanjikan ketika perekrutan.

Bahkan, para korbannya juga cenderung mendapatkan perlakuan tidak manusiawi. Misalnya, mereka harus bekerja hampir 24 jam, gajinya tidak dibayarkan, tidak diberi makan dan minum, hingga mendapatkan kekerasan dari majikan dan agen di negara tempatnya bekerja.
“Para tersangka juga meminta uang hingga nominalnya mencapai puluhan juta rupiah kepada korban dengan alasan sebagai biaya awal untuk pemberangkatan ke negara tujuan,” kata Arif saat konferensi pers di Mapolresta Cirebon, Jumat (9/6/2023).
Arif mengatakan, korban dalam kasus TPPO tersebut diberangkatkan ke luar negeri secara nonprosedural. Karena itu, mereka tidak terdata secara resmi sebagai pekerja migran Indonesia (PMI).
Arif menyebutkan, salah seorang korban TPPO di Cirebon juga ditemukan meninggal dunia. Korban menderita sakit akibat dijanjikan awal bekerja di Korea Selatan, tapi justru diberangkatkan ke Turki. Selain itu, ada juga beberapa korban yang diberangkatkan ke negara konflik, seperti Irak dan Suriah.

Tak hanya menangkap tersangka, Polresta Cirebon juga menyita sejumlah barang bukti. Di antaranya berbagai dokumen, dari paspor dan tiket pesawat, ponsel, hingga mobil. Saat ini, petugas juga masih mengembangkan kasusnya untuk mengungkap jaringan TPPO di Kabupaten Cirebon.
Krisis Air di Tengah Ibu Kota
Wilayah Penjaringan sudah lama mengalami krisis air bersih.
SELENGKAPNYAWapres Akui Kemiskinan Picu Perdagangan Orang
Pemerintah mengeklaim bakal menangani kemiskinan.
SELENGKAPNYA