
Kisah Dalam Negeri
Krisis Air di Tengah Ibu Kota
Wilayah Penjaringan sudah lama mengalami krisis air bersih.
Oleh WILDA FIZRIYANI
Ibu kota Indonesia, Jakarta, umumnya selalu dikaitkan dengan sesuatu yang serbamaju dan berkecukupan. Namun, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar apabila melihat langsung kondisi nyatanya.
Wilayah RW 22 di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta, adalah satu di antara potret lain dari ibu kota saat ini. Wilayah itu padat dan sangat dekat dengan pesisir laut DKI Jakarta.
Rumah yang saling berdempetan disertai lumpur yang menggenangi alas tanah setelah banjir rob seolah menunjukkan bahwa ini adalah sisi lain dari Ibu Kota Jakarta sesungguhnya.
Ada banyak kebutuhan yang belum tercukupi bagi 6.000-an warga di RW 22. Namun, salah satu yang paling genting bagi mereka adalah air. Wilayah itu sudah lama mengalami krisis air bersih.

"Di ibu kota negara ini, air belum dapat. Gila kan? Saya 1966 lahir di Priok, lalu pindah ke sini, sampai sekarang belum dapat air bersih. Ini gila," kata Pengawas Koperasi RW 022, Munarto, saat ditemui di Balai RW 22, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta.
Semula, warga setempat berusaha mendapatkan air dengan mengebor tanah sedalam 160 meter (m). Hal itu terpaksa dilakukan meski muka tanah terus menurun hingga menyebabkan air laut lebih tinggi dari daratan. Dengan berjalannya waktu, kualitas air juga lambat-laun menurun, bahkan berdampak negatif pada kulit warga, seperti busik.
Mengetahui kondisi tersebut, warga setempat sebenarnya telah meminta kepada pemerintah dan PAM Jaya untuk dapat memberikan bantuan air bersih. Namun, permintaan tersebut sulit dipenuhi dengan berbagai alasan. Situasi itu akhirnya mendorong Ketua RW 22 Bani Sadar bersama sejumlah warga datang ke Balai Kota DKI Jakarta pada tahun lalu.

Saat itu, dia bersama perwakilan warga datang sembari membawa jeriken air. "Itu bentuk keprihatinan daripada warga kepada pemerintah, dalam hal ini Pemprov DKI, yang di mana sangat miris sekali di Ibu Kota Jakarta ternyata masih ada krisis air bersih," kata Bani Sadar.
Setelah mengunjungi Balai Kota DKI Jakarta, keinginan warga setempat akhirnya terpenuhi beberapa bulan kemudian. Bantuan yang diterima berupa lima kios air yang masing-masing berisi 4 ton air. Menurut Bani Sadar, volume air itu masih belum mencukupi kebutuhan warga setempat.
Menurut Bani Sadar, 80 persen sumber air bersih warga RW 23 masih berasal dari air tanah. Artinya, bantuan air bersih dari pemerintah belum seutuhnya membantu kebutuhan warga setempat. Oleh karena itu, dia berharap bantuan kios air terus berlanjut dan bertambah ke depannya.

Di sisi lain, Ketua RT 02, RW 22, Imadun, juga mengungkapkan ironi lain dari bantuan tersebut. Hal itu terutama mengenai biaya yang harus dikeluarkan warga untuk mendapatkan air. Kendala itu diperparah oleh tidak adanya bantuan pipanisasi yang bisa mengalirkan air ke rumah-rumah warga.
Menurut Imadun, distribusi air dari kios air kepada warga setempat menggunakan gerobak. Artinya, ada tenaga pikul yang perlu dibiayai.
Lebih terperinci, Imadun mengungkapkan, satu pikul dihargai Rp 4.000 untuk mendistribusikan air dalam jarak dekat. Sementara itu, satu pikulan untuk mendistribusikan air dalam jarak jauh sebesar Rp 5.000. Setiap satu pikul setidaknya ada dua jeriken yang masing-masing berisi 20 liter air.

Namun, jika warga mengambil langsung ke kios air, satu jeriken dibanderol sekitar Rp 400. "Karena harga mahal, kemungkinan ada warga yang pakai air itu buat cuci piring dan masak. Umumnya kalau air bor masih pakai, termasuk saya sendiri juga pakai," ungkapnya.
Pengeboran air tanah secara berlebihan sebenarnya tidak direkomendasikan, apalagi jika sumur bor tersebut berada di wilayah yang permukaan tanahnya terus menurun.
Peneliti dari Amarta Institute, Nila Ardhianie, mengungkapkan, sebanyak 134 kota di Indonesia dilaporkan mengalami penurunan tanah. Sebagian besar wilayah yang mengalami penurunan tanah berasal dari pinggir pantai. Itu berarti termasuk wilayah RW 22 yang berada di pesisir utara Jakarta.

Menurut Nila, penurunan tanah bisa terjadi karena terdapat proses ekstraksi tanah yang berlebihan. Kemudian, hal itu juga bisa terjadi karena adanya beban bangunan di atas tanah. Penurunan juga bisa dilatarbelakangi adanya aktivitas bawah tanah dan aktivitas tektonik.
Namun, pada kasus penurunan tanah di Indonesia, Nila mengatakan, salah satunya karena penggunaan air tanah yang berlebihan. Oleh sebab itu, dia pun turut menyinggung keberadaan program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) yang dimiliki pemerintah. Program tersebut diketahui menggunakan air tanah secara mendalam.
Dibandingkan dengan air tanah, Nila justru merekomendasikan masyarakat dan pemerintah untuk lebih menggunakan air permukaan. Air tanah dapat digunakan apabila air permukaan benar-benar sulit dimanfaatkan.
“Kalau setiap kelurahan ada sumur tanah yang digunakan warga, ditambah lagi semakin banyak Pamsimas, maka penurunan tanahnya kian tinggi," ungkapnya.
Terlelap di Antara Gemerlap Ibu Kota
Dulu saya sempat bekerja sebagai buruh di salah satu konveksi di Jakarta Barat, gara-gara pandemi saya di PHK, akhirnya saya mulung untuk menghidupi keluarga, dan saat ini saya tinggal di mana saja.
SELENGKAPNYAPembelian Solar di Ibu Kota Segera Dibatasi
Mulai 25 Mei, pembeli solar harus terdaftar di MyPertamina.
SELENGKAPNYAJangan Datang ke Ibu Kota dengan 'Tangan Kosong'
Pendatang harus memiliki bekal keterampilan untuk mengadu nasib di kota.
SELENGKAPNYA