Petugas KPPS melihat tanda bukti pencoblosan pada perhitungan hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) di TPS 24 Kelurahan Watubangga, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (27/4/2019). | ANTARA FOTO

Nasional

‘Penentuan Sistem Pemilu Bukan Ranah MK’

Tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang menyatakan sistem apa yang harus digunakan.

JAKARTA – Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyoroti gugatan uji materi sistem pemilu yang segera diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut dia, jika MK memutuskan sebuah sistem pemilu yang konstitusional, sama saja para hakim mengambil alih kuasa lembaga pembentuk undang-undang.

Zainal menjelaskan, pada dasarnya, pilihan antara sistem proporsional tertutup atau sistem proporsional terbuka bukanlah isu konstitusional dan bukan ranah MK untuk menentukannya. Sebab, tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang menyatakan sistem pemilihan legislatif apa yang harus digunakan.

Bahwa Pasal 22E UUD 1945 menyatakan peserta pemilihan legislatif adalah partai politik, bukan berarti sistem yang harus digunakan adalah proporsional tertutup. Baik dalam sistem proporsional tertutup maupun terbuka, pesertanya tetap partai politik.

Zainal mengatakan, karena pilihan sistem pemilu bukanlah isu konstitusional, MK seharusnya menyatakan bahwa pilihan sistem adalah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka.

Artinya, penentuan sistem pemilu merupakan domain lembaga pembentuk undang-undang, yakni DPR dan presiden. Biarkan pilihan sistem menjadi bagian dari kesepakatan politik dengan mempertimbangkan untung ruginya ketika diterapkan.

photo
Warga membaca nama-nama caleg di papan pengumuman TPS 30 Cipagalo, Bandung, Rabu (17/4/2019). - (Yogi Ardhi/Republika)

Apabila MK tetap memutuskan sistem pemilu yang harus digunakan, lanjut dia, berarti hakim konstitusi masuk ke dalam ranah kuasa lembaga demokrasi. Demokrasi pun berganti menjadi yuristokrasi.

"Ini bisa menggeser sistem demokrasi menjadi yuristokrasi, yakni ketika keputusan politik ditentukan oleh para hakim yang jelas adalah orang yang tidak dipilih secara demokratis," kata Zainal dalam diskusi daring yang digelar Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, dikutip Kamis (8/6/2023).

Menurut dia, menguatnya yuristokrasi membahayakan kepentingan publik. Sebab, masyarakat cenderung tidak bisa menyalurkan aspirasi politiknya kepada para hakim. Lain halnya dengan proses legislasi di parlemen, masyarakat bisa menyampaikan aspirasinya kepada para wakil rakyat ataupun presiden.

"Dalam proses pengadilan agak jauh prinsip kedaulatan rakyat itu terjadi. Karena itu, sedari awal harus dibatasi betul yuristokrasi," kata ketua Departemen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum UGM itu.

Masalahnya, menurut dia, MK kerap tidak konsisten dalam memutus perkara terkait pasal open legal policy. Salah satu contohnya dalam memutuskan perkara masa jabatan. Biasanya MK menyatakan bahwa durasi masa jabatan adalah open legal policy. Namun, baru-baru ini MK memperpanjang masa jabatan komisioner KPK.

photo
Tampilan layar Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan Tahun 2020 yang digelar secara virtual di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (19/3/2021). - (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Melihat hal itu, Zainal khawatir MK akan memutuskan salah satu sistem pemilu yang konstitusional dan harus diterapkan. Apabila itu terjadi, dia menilai MK tidak lagi membuat keputusan berdasarkan isu konstitusionalitas, tetapi atas kepentingan politik. "Ini berbahaya," kata peraih gelar master ilmu hukum dari Northwestern University, Amerika Serikat, itu.

Gugatan uji materi atas sistem proporsional terbuka ini diajukan oleh enam warga negara perseorangan, yang salah satunya merupakan kader PDIP. Mereka meminta hakim konstitusi memutuskan sistem proporsional tertutup yang konstitusional sehingga bisa diterapkan dalam gelaran Pemilu 2024. Hingga kini, MK belum membuat putusan.

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota dewan adalah caleg dengan nomor urut teratas yang ditentukan oleh partai politik. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.

 

 
MK kerap tidak konsisten dalam memutus perkara terkait pasal open legal policy.
ZAINAL ARIFIN MOCHTAR, Ahli Hukum Tata Negara UGM.
 

 

Adapun dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg ataupun partai yang diinginkan. Caleg dengan suara terbanyak berhak duduk di parlemen. Sistem ini dipakai sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019, dan sedang digunakan dalam tahapan Pemilu 2024.

Pakar ilmu politik punya pandangan beragam terkait sistem mana yang paling tepat digunakan untuk pemilu Indonesia ke depan. Sebagian menilai sistem proporsional masih cocok digunakan. Sebagian lain menilai sistem proporsional tertutup yang baik. Ada pula yang menilai sistem proporsional tertutup yang tepat asalkan internal partai politik diperbaiki terlebih dahulu.

Ahli kepemiluan sekaligus dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Ferry Daud Liando, mengkritik strategi politik PDIP yang terus mengupayakan agar pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai. Menurut dia, PDIP telah menyeret MK dalam penentuan sistem pemilu yang seharusnya dilakukan di parlemen.

Evolusi Sistem Pemilu Indonesia - (Republika)

Ferry menjelaskan, sistem proporsional terbuka yang kini berlaku sebagaimana tertera dalam UU Pemilu, merupakan pilihan sistem yang dibuat DPR bersama pemerintah. Dalam pembahasannya, PDIP ngotot agar pemilihan legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup.

Namun, keinginan partai berlogo banteng moncong putih itu tidak disetujui partai atau fraksi lain. "Kalah berdiplomasi, kalah berkompromi dan segala macam, tapi setelah kalah di DPR datangnya ke MK," kata Ferry.

Menurut Ferry, seharusnya PDIP tidak membawa persoalan penentuan sistem pemilu ke MK. PDIP seharusnya tetap berjuang di DPR dengan mengupayakan revisi UU Pemilu. "Jangan sampai MK itu jadi lembaga cuci piring untuk membersihkan masalah-masalah (perbedaan pandangan politik) di luar," kata Ferry.

Peneliti BRIN: Proporsional Tertutup Lebih Baik

Kesimpulan tersebut merupakan hasil kajian secara ilmiah.

SELENGKAPNYA

Putusan Sistem Pemilu Baru Mulai Dirapatkan Hakim MK

MK menyatakan tidak akan mengusut

SELENGKAPNYA

MK Terjepit Opini yang Telanjur Liar

Denny menyebut informasi yang disampaikannya bukan rahasia negara.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya