
Nasional
Peneliti BRIN: Proporsional Tertutup Lebih Baik
Kesimpulan tersebut merupakan hasil kajian secara ilmiah.
JAKARTA – Peneliti Ahli Utama pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Siti Zuhro menilai sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai lebih baik untuk digunakan dalam pemilu di Indonesia daripada sistem proporsional terbuka. Kesimpulan tersebut merupakan hasil kajian secara ilmiah atas penerapan sistem proporsional terbuka dalam gelaran Pemilu 2019.
"Kebaikan proporsional terbuka masih kalah jauh dibandingkan dengan kebaikan proporsional tertutup. (Kesimpulan) ini sama sekali tidak ada nuansa politik, ya, karena ini tahun politik. Ini hasil kajian setelah Pemilu 2019," kata Siti dalam webinar yang digelar Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Rabu (7/6/2023).
Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota dewan adalah calon anggota legislatif (caleg) dengan nomor urut teratas. Sistem yang bertumpu kepada partai ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.

Adapun dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg maupun partai yang diinginkan. Caleg dengan suara terbanyak berhak duduk di parlemen. Sistem yang menitikberatkan personal caleg ini dipakai sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019.
Siti menjelaskan, kebaikan dari sistem proporsional terbuka "kalah" jika dibandingkan dengan proporsional tertutup setelah dianalisis secara komprehensif menggunakan kriteria memadai. Salah satu kelemahan sistem proporsional terbuka adalah soal derajat keterwakilan konstituen terhadap anggota dewan.
Dia menuturkan, tujuan penerapan proporsional terbuka adalah memberikan ruang kepada pemilih agar bisa mencoblos caleg yang diinginkan, ternyata tidak terbukti. Argumen bahwa sistem proporsional terbuka akan mendorong pemilih untuk mencoblos wakilnya atas dasar preferensi atau pengetahuannya, juga tidak terbukti.
"(Penyebabnya) karena sebagian besar pemilih kesulitan dalam menentukan pilihan dan kurangnya preferensi yang dimiliki, sehingga pada akhirnya pemilih justru memilih lambang partai atau calon nomor urut satu," kata Siti.

Untuk diketahui, ukuran kertas suara dalam sistem proporsional terbuka selebar koran karena banyaknya jumlah caleg. Pada Pemilu 2019, di daerah pemilihan (dapil) dengan jumlah kursi 10, misalnya, terdapat 160 caleg DPR.
Siti mengatakan, kebingungan masyarakat ketika mencoblos itu tampak dari hasil Pemilu 2019. Dari 575 anggota DPR terpilih, hampir 63 persen di antaranya merupakan caleg nomor urut satu. Sisanya kebanyakan adalah caleg dengan nomor dua sampai lima.
Dalam kesempatan itu, Siti mengungkapkan, sistem proporsional tertutup punya 10 keunggulan. Beberapa di antaranya adalah mudah digunakan karena hanya mencantumkan logo dan nomor urut partai dalam surat suara, politik uang kepada pemilih bisa ditekan, partai bekerja sebagai institusi dalam memenangkan pemilu, serta mendorong partai mencalonkan kader terbaik, bukan orang yang populer ataupun kaya.
Mahkamah Konstitusi (MK) kini diketahui sedang memproses gugatan uji materi atas sistem proporsional terbuka. Sistem yang sudah kadung digunakan dalam tahapan Pemilu 2024 itu digugat oleh enam warga negara perseorangan.
Para penggugat yang salah satunya adalah kader PDIP meminta MK menyatakan sistem proporsional terbuka bertentangan dengan konstitusi. Mereka meminta hakim konstitusi memutuskan sistem proporsional tertutup yang konstitusional sehingga bisa diterapkan dalam gelaran Pemilu 2024. Hingga kini, MK belum membuat putusan.
Delapan partai parlemen, yakni Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP, diketahui sudah berulang kali menyatakan penolakan terhadap penerapan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu 2024. Satu-satunya partai parlemen yang mendukung sistem tersebut adalah PDIP.
Dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Ferry Daud Liando, menduga partai politik ramai-ramai menolak pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup karena enggan memodali kampanye. Partai ingin kampanye tetap dibiayai masing-masing caleg sebagai konsekuensi logis sistem proporsional terbuka.

"Saya curiga, sebagian besar motivasi partai politik yang mendukung proporsional terbuka karena partai politik tidak tega mengobrak-abrik uang kas mereka atau ada juga partai politik yang memang tidak punya uang," kata Ferry dalam webinar yang sama.
Ferry menjelaskan, dalam sistem proporsional terbuka, para caleg biasanya membiayai kampanyenya masing-masing demi mendongkrak potensi keterpilihan. Sedangkan, dalam sistem proporsional tertutup, partailah yang membiayai kampanye karena para caleg enggan keluar modal apabila dapat nomor urut bawah.
"Makanya mereka ingin proporsional terbuka supaya caleg sendiri yang membiayai kampanye. Kalau proporsional tertutup, otomatis parpol yang biayai alat peraga kampanye dan segala macam," kata peneliti isu-isu kepemiluan itu.
Terlepas dari soal pembiayaan kampanye itu, Ferry mengakui, kedua sistem itu sama-sama punya kekurangan dan kelebihan. Baginya, pilihan sistem harus dipertimbangkan secara matang sesuai tujuan pemilu yang ingin dicapai. Penentuan sistem pemilu seharusnya diputuskan oleh lembaga pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Presiden, bukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kalau proporsional tertutup, otomatis parpol yang biayai alat peraga kampanye dan segala macam.
Ferry mengingatkan, ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus dilakukan apabila MK memutuskan penggantian sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. Pembenahan harus dilakukan terhadap kelembagaan internal partai politik.
"Jika MK memutuskan pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup, otomatis subjeknya adalah partai politik. Karena itu, kelembagaan partai politik harus dibenahi, diperkuat," kata Ferry.
Peneliti isu kepemiluan itu mengatakan, setidaknya ada empat hal yang harus dibenahi. Pertama, partai harus menyiapkan kadernya sebaik mungkin sebelum diusung sebagai caleg. Pelatihan dan pembinaan kepada kader harus diberikan sejak jauh-jauh hari sebelum dimulainya tahapan pemilu.
"Jangan seperti sekarang, baru jadi anggota partai politik lalu langsung ditetapkan sebagai caleg DPR RI. Makanya terjadi fenomena politisi kutu loncat dan jual beli kartu tanda anggota (KTA) partai," ujarnya.
Sekarang, lanjut dia, para caleg yang terpilih lewat sistem proporsional terbuka banyak yang terbukti tidak berkompeten ketika sudah menjadi anggota dewan. Jangankan untuk berdebat soal rancangan regulasi dan anggaran, berbicara dengan baik saja mereka tidak bisa. Musababnya, partai politik tidak serius melakukan kaderisasi. Adapun kader yang berkompeten tidak dicalonkan karena kalah uang dan popularitas dari kader yang tak berkualitas.
Jangan seperti sekarang, baru jadi anggota partai politik lalu langsung ditetapkan sebagai caleg DPR RI
Kedua, partai politik harus punya indikator yang jelas dalam penentuan nomor urut caleg. Sebagai catatan, dalam sistem proporsional tertutup, caleg dengan nomor urut teratas adalah yang berhak memenangkan kursi anggota dewan. Partai politik, kata dia, harus bisa menjelaskan kepada publik keunggulan seorang caleg sehingga layak diusung dan mendapatkan nomor urut tertentu. Ia mencontohkan Partai Golkar era Orde Baru yang punya indikator untuk menentukan nomor urut caleg.
"Dulu, sejelek-jeleknya Orde Baru, Partai Golkar itu menentukan daftar nomor urut ada kriterianya. Ada yang disebut PLDT, yakni prestasi, loyalitas, dedikasi, dan tidak tercela. Walau partai yang menentukan calon, tapi Golkar menjelaskan kepada publik standar yang digunakannya," kata Ferry.
Ketiga, partai politik harus membuat mekanisme yang dapat mencegah konflik antarkader dalam proses penentuan siapa yang akan diusung, penempatan daerah pemilihan (dapil), dan nomor urutnya. Keempat, regulasi atau partai politik itu sendiri harus memastikan tidak ada sistem lelang nomor urut caleg. Jangan sampai terjadi nomor urut 1 diberikan caleg yang menyetor uang paling banyak kepada partai.
"Partai politik akan jadi kaya raya karena nomor urut itu dilelang. Ini bahaya karena banyak partai politik kita yang belum kuat dari sisi kelembagaan, punya uang pun tidak. Potensi ini bisa terjadi. Kita lihat pengalaman setiap kali pemilihan ketua partai di daerah itu ternyata harus setor ke pengurus pusat partai karena suara DPP menentukan ketua partai daerah," kata Ferry.
MK Terjepit Opini yang Telanjur Liar
Denny menyebut informasi yang disampaikannya bukan rahasia negara.
SELENGKAPNYAKPU tak Terpengaruh Klaim Bocoran Putusan MK Denny Indrayana
Denny mengeklaim mendapat bocoran bahwa MK menetapkan pemilu proporsional tertutup.
SELENGKAPNYA