Warga memasukkan contoh surat suara ke dalam kotak suara usai dicoblos saat simulasi pemilu serentak 2019, di Jakarta, Rabu (10/4/2019). | ANTARA FOTO

Nasional

KPU tak Terpengaruh Klaim Bocoran Putusan MK Denny Indrayana

Denny mengeklaim mendapat bocoran bahwa MK menetapkan pemilu proporsional tertutup.

JAKARTA – Mantan menteri hukum dan HAM Denny Indrayana mengeklaim mendapatkan bocoran putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai.

Hanya saja, Komisi Pemilihan Umum (KPU) enggan berspekulasi terkait bagaimana pelaksanaan Pemilu 2024 berdasarkan informasi tak resmi tersebut. Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengaku mengikuti pemberitaan media massa bahwa Denny membocorkan putusan MK atas gugatan uji materi sistem proporsional terbuka.

Kendati begitu, kata dia, KPU tidak akan berpegang pada informasi dari Denny karena tidak diketahui kebenarannya. KPU juga tidak terpengaruh dan tetap melanjutkan tahapan pemilu sebagaimana yang telah dijadwalkan.

"KPU pegangannya nanti kalau sudah ada putusan MK dibacakan, karena dari situlah kita mengetahui yang benar. Kalau yang sekarang ini (bocoran Denny) wallahu a'lam, kita tidak tahu," kata Hasyim kepada wartawan di Jakarta, Senin (29/5/2023).

Evolusi Sistem Pemilu Indonesia - (Republika)  ​

Menurut Hasyim, hanya Denny yang mengetahui kebenaran klaim bocoran putusan MK tersebut. Karena itu, sepatutnya Denny menyampaikan dan menjelaskan kepada publik supaya persoalan ini menjadi jelas.

Kemarin, Ahad (28/5/2023), Denny Indrayana yang merupakan pakar hukum tata negara itu mengaku mendapat informasi penting terkait putusan MK dari orang yang sangat ia percayai kredibilitasnya. Namun, orang itu bukan hakim konstitusi.

"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," ujar Denny lewat keterangan tertulisnya.

Denny menuturkan, putusan MK menerapkan sistem proporsional tertutup itu disetujui oleh enam hakim konstitusi dan tidak disetujui oleh tiga hakim konstitusi. Menurut Denny, penerapan kembali sistem proporsional tertutup berarti Indonesia kembali pada sistem pemilu zaman Orde Baru yang koruptif.

photo
Warga membaca nama-nama caleg di papan pengumuman TPS 30 Cipagalo, Bandung, Rabu (17/4/2019). - (Yogi Ardhi/Republika)

Adapun Juru Bicara MK Fajar Laksono menegaskan bahwa MK belum membuat putusan atas gugatan sistem proporsional terbuka itu. MK baru menetapkan batas akhir penyerahan keterangan kesimpulan dari para pihak pada 31 Mei 2023. Setelah itu, barulah sembilan hakim konstitusi menggelar rapat permusyawaratan hakim untuk menentukan putusan dan mengagendakan jadwal sidang pembacaan putusan.

Sementara itu, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menduga akan terjadi kekacauan politik jika bocoran yang disampaikan Denny Indrayana itu benar. Sebab, partai politik sudah telanjur menyerahkan daftar bakal calon anggota legislatif (caleg) ke KPU dengan logika sistem proporsional terbuka.

"Kalau di tengah jalan (sistem) diubah oleh MK, (itu) menjadi persoalan serius. KPU & parpol harus siap kelola 'krisis' ini. Semoga tidak ganggu pelaksanaan Pemilu 2024. Kasihan rakyat," kata presiden keenam RI itu.

photo
Suasana kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Serang, Jawa Barat, di masa Orde Baru (30/4/1997). Foto: A Jarot/Republika - (Dokrep)

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota dewan ditentukan oleh parpol lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.

Adapun dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg yang diinginkan. Pemenang kursi ditentukan oleh jumlah suara terbanyak. Sistem ini dipakai sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019.

Sistem proporsional terbuka sebenarnya akan digunakan kembali dalam Pemilu 2024. Hanya saja, enam warga negara perseorangan menggugat sistem tersebut ke MK pada akhir 2022 lalu. Penggugat yang salah satunya kader PDIP meminta MK memutuskan pemilihan legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup.

photo
Massa Golongan Karya (Golkar) berkampanye di Jakarta (12/5/1997). Foto: Teguh Indra/Republika - (dokrep)

Ahli hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, meski putusan MK beberapa waktu terakhir ini memang menunjukkan ketidakkonsistenannya, menurutnya sulit jika hal ini juga diberlakukan pada sistem proporsional pemilu. Sebab, MK sendiri telah meligitimasi sistem proporsional terbuka melalui putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008.

"Meskipun MK sangat tidak konsisten akhir-akhir ini, sulit rasanya bagi MK membantah sendiri putusan mereka terdahulu yang menyatakan sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilu yang sesuai dengan UUD," ujar Feri kepada Republika, Senin (29/5/2023).

Feri menjelaskan, putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 menyatakan pasal yang diujikan oleh pemohon saat itu salah satunya tentang penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD berdasarkan syarat 30 persen BPP bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) ini menilai sulit bagi MK mengubah putusan tersebut dengan putusan lain.

"Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 sangat terang tidak bisa diubah dengan putusan lain karena putusan itu sudah final," ujar Feri.

 
MK sangat tidak konsisten akhir-akhir ini.
FERI AMSARI, Dosen Fakultas Hukum Unand.
 

Sebagaimana dikutip dari ringkasan putusannya, Mahkamah dalam pertimbangannya kala itu, yang dipimpin oleh hakim ketua Mahfud MD, menyebut ketentuan itu adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat dan dikualifisasi bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Selain itu, putusan itu juga didasarkan pertimbangan MK karena pada saat itu Indonesia telah menganut sistem pemilihan langsung untuk presiden dan wakil presiden, DPD, kepala daerah, sehingga menjadi adil pula jika pemilihan anggota DPR dan DPRD juga bersifat langsung memilih orang tanpa mengurangi hak-hak politik partai politik sehingga setiap calon anggota legislatif dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing.

Bagaimana Erdogan Kembali Menang Pemilu?

Sentimen antimigran dan rayuan kaum sekuler tak berhasil tumbangkan Erdogan.

SELENGKAPNYA

Anas Hingga SBY pun Bicara Dugaan Kebocoran Putusan MK

Denny Indrayana mengeklaim, pemilu akan diputuskan menjadi proporsional tertutup.

SELENGKAPNYA

Desakan Mengusut Dugaan Dana Narkoba untuk Pemilu Menguat

Penelurusan perlu dilakukan untuk memastikan kebenaran indikasi tersebut.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya