
Kabar Utama
Bagaimana Erdogan Kembali Menang Pemilu?
Sentimen antimigran dan rayuan kaum sekuler tak berhasil tumbangkan Erdogan.
Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) Turki yang digelar pada 14 Mei 2023 lalu, kondisinya tak begitu menggembirakan bagi Recep Tayyip Erdogan, kandidat pejawat dari Partai Kesejahteraan dan Keadilan (Partai AK). Berbagai hasil survei yang dilansir pada masa-masa itu mengindikasikan bahwa dua dekade kekuasaan Erdogan di Turki bakal berakhir.
Belasan hasil survei seragam dalam kesimpulan soal keungulan pesaingnya dari Partai Rakyat Republik (CHP) yang beraliran sekuler, Kemal Kilicdaroglu. Lembaga survei Polimetre, the Political Pulse, dan Politico bahkan menyimpulkan bahwa Kilicdaroglu bakal melewati batas 50 persen perolehan suara yang diperlukan untuk langsung memenangkan pilpres Turki.
Calon lainnya, Sinan Ogan dari kekuatan sayap kanan Turki, merujuk survei juga berhasil melampaui angka 5 persen, yang artinya dukungannya bakal berpengaruh jika pemilu digelar dua putaran karena tak ada calon melampui 50 persen suara. Sementara calon keempat, Muharrem Ince, sudah tersandung skandal pornografi lebih dulu dan dinilai tak bakal mendapat suara signifikan.
Sehari menjelang pemilihan, Erdogan dan Kilicdaroglu menunjukkan gestur yang mengukuhkan posisi politik dan ideologis mereka pada pemilu kali ini.

Erdogan mengakhiri masa kampanye dengan menunaikan sholat Maghrib di Hagia Sophia, Istanbul, yang menjadi simbol kejayaan Utsmaniyah atas Bizantium Romawi. Gereja megah itu diubah menjadi masjid pada masa Utsmaniyah, dan dijadikan museum ketika bapak sekularisme Turki Mustafa Kemal Ataturk berkuasa. Erdogan mengubahnya kembali jadi masjid pada 24 Juli 2021.
Dalam tindakan yang kentara kontrasnya, Kilicdaroglu menutup kampanye dengan mengunjungi Anitkabir, yang merupakan makam Ataturk yang juga merupakan pendiri CHP. Kedua kunjungan di akhir kampanye itu seperti menandai tarik ulur Islam dan sekulerisme di Turki.
Sekulerisme yang digaungkan Ataturk memang punya dampak luar biasa terhadap umat Islam. Pada dekade 1980-an, Turki pernah menerapkan larangan penggunaan hijab di institusi dan lembaga negara. Larangan tersebut memengaruhi staf universitas, mahasiswa, pengacara, politisi, dan kalangan lainnya di sektor publik.
Pada 1997, setelah kudeta militer menggulingkan pemerintahan Islamis yang dipimpin mantan perdana menteri Necmettin Erbakan, larangan penggunaan hijab diberlakukan sepenuhnya. Larangan tersebut baru dihapus pada 2013 ketika Erdogan dmenjabat sebagai perdana menteri.

CHP paham bahwa luka sekularisasi itu masih membekas. Mereka mengeklaim mengesampingkan sikap sekuler ekstrem. CHP mencoba meyakinkan kaum perempuan Turki bahwa hak mereka menggunakan jilbab bakal dilindungi. Perempuan berhijab terlihat pada acara-acara kampanye CHP dan poster pemilunya. Sejumlah politisi perempuan CHP pun sudah tampil mengenakan hijab.
Datang hari pemilihan pada Ahad (14/5/2023), prediksi lembaga-lembaga survei terjungkal. Rayuan CHP soal tak bakal kembali ke sekulersime ekstrem juga tak mempan. Erdogan masih memimpin dengan perolehan sekitar 49,52 persen suara, berbanding 44,88 persen yang diraih Kilicdaroglu. Pilpres harus diselesaikan dengan ronde kedua karena tak ada yang melampaui capaian 50 persen.
Kampanye negatif terhadap Erdogan soal kecenderungan tangan besinya belakangan, kondisi perekonomian Turki yang memburuk, penanganan gempa besar di perbatasan Suriah, tak mempan.
Menjelang putaran kedua, Erdogan justru mendapat suntikan suara dari Sinan Ogan yang berhasil meraup 5,17 persen suara. Ogan sempat mendekati Kilicdaroglu, namun kemudian berbelok ke kubu Erdogan.

Kilicdaroglu kemudian mencoba menggunakan taktik kampanye lain, dengan menyerang jutaan pengungsi Suriah yang membanjiri Turki sejak 2011. Ia menjanjikan bakal memulangkan seluruh pengungsi tersebut jika terpilih.
Keterbukaan Turki di bawah pemerintahan Erdogan terhadap pengungsi Suriah membuat lebih dari 3,7 juta warga Suriah tinggal di Turki. Jumlah tersebut menjadikan Turki negara tuan rumah pengungsi terbesar di dunia.
Kondisi perekonomian Turki membuat sebagian warga mempertanyakan kebijakan membantu para pengungsi itu. Erdogan yang sempat khawatir terhadap retorika pemulangan pengungsi kemudian mengumumkan kebijakan rencana pemulangan pengungsinya sendiri.
Lagi-lagi, kampanye antiimigran ini tak berhasil menggoyang Erdogan. Ketua Lembaga resmi penyelenggara pemilihan umum di Turki atau Ketua Dewan Pemilihan Tertinggi (YSK) Negara Ahmet Yener pada Ahad (28/5/2023), telah memastikan calon kandidat presiden dari petahana Recep Tayyip Erdogan terpilih kembali sebagai presiden Turki. Hal itu disampaikan Ahmet Yener melihat hasil sementara pemilu presiden putaran kedua yang diselenggarakan Ahad itu juga.

Menurut laporan YSK pada Senin (29/5/2023) pagi, sebanyak 99,85 persen suara telah dihitung. Erdogan memimpin dengan 52,16 persen suara. Sementara Kilicdaroglu mendapat 47,84 persen.
Lebih dari 64,1 juta orang warga Turki terdaftar untuk memberikan suara. Jumlah itu termasuk lebih dari 1,92 juta orang warga Turki yang sebelumnya memberikan suara mereka di tempat pemungutan suara di luar negeri.
Mengetahui hasil itu, Erdogan menyatakan, pemenang dalam pemilihan umum adalah seluruh warga Turki. "Satu-satunya pemenang hari ini adalah Türkiye. Tanpa mengorbankan demokrasi, pembangunan, atau tujuan kita, kita sekarang telah membuka gerbang Abad Turki, tetapi kita membukanya bersama," kata pejawat itu dikutip dari Anadolu Agency.
Dalam kesempatan itu, Erdogan meminta warga bersama-sama mewujudkan mimpi dan semangat semua sektor negara itu. "Dari laki-laki dan perempuan, dari tua dan muda, serta dari karyawan dan pensiunan,” ujarnya.
"Tidak ada yang bisa memandang rendah bangsa kita, menghina rakyat kita. Itu tidak bisa menyeret anak muda kita ke dalam kegelapan mereka sendiri yang luar biasa," kata dia semacam menunjuk pada negara-negara Barat yang belakangan mempertanyakan kepemimpinannya.
Erdogan lahir di Istanbul, Turki pada 1954. Saat berkuliah, ia aktif di Partai Kesejahteraan yang mencoba mengembalikan nilai-nilai Islam dan kejayaan Utsmaniyah di Turki yang ultrasekuler.
Ia memenangkan pemilihan wali kota Istanbul pada 1994. Ia kemudian berhasil menerapkan sejumlah reformasi pada infrastruktur dan perekonomian kota. Erdogan sempat disidangkan dan kemudian dipenjara pada 1998 karena dinilai rezim sekuler menyamakan masjid dengan barak militer dan umat Islam dengan tentara.
Sekeluarnya dari penjara pada 1999, Erdogan membentuk Partai Pembangunan dan Keadilan (Partai AK) pada 2001. Partai bercorak Islam-demokratik ini langsung memenangkan pemilu legislatif pada 2002, mengalahkan partai sekuler CHP.

Erdogan lalu terpilih sebagai perdana menteri pada 2003. Ia berhasil memulihkan Turki dari krisis ekonomi, membangun infrastruktur, dan perlahan menghapus kebijakan diskriminatif rezim sekuler terhadap umat Islam. Ia juga berhasil memasukkan Turki dalam Uni Eropa.
Pada 2014, Erdogan terpilih sebagai presiden Turki setelah masa jabatan PM-nya berakhir. Dua tahun kemudian, pada 2016, terjadi upaya kudeta militer. Kudeta gagal ini diikuti penangkapan ribuan orang oleh pemerintah.
Untuk melanggengkan kekuasaan eksekutifnya, Erdogan mendukung referendum pergantian sistem politik Turki menjadi presidensial pada 2017. Ia kemudian terpilih dalam pilpres langsung pada 2018. Erdogan semakin menguatkan peran Turki di kancah internasional.
Pertaruhan Islam dan Sekulerisme di Pemilu Turki?
Peluang Kilicdaroglu membalikkan perolehan suara tampak tipis.
SELENGKAPNYAErdogan Belum Tumbang, Barat Curigai Pemilu Turki
Lembaga pengawas Uni Eropa menuduh pemilu Turki tak transparan.
SELENGKAPNYAHijab dan Pemilu Turki
Terik menarik Islam dan sekularisme kembali warnai politik Turki.
SELENGKAPNYA