
Dunia Islam
Dunia Syair dan Penyair pada Zaman Nabi
Datangnya Islam turut mengubah dunia perpuisian Arab menjadi lebih inovatif.
Barangkali, penyair adalah satu-satunya “profesi” yang diabadikan menjadi nama sebuah surah dalam Alquran, yakni asy-Syu’ara’. Dalam ayat ke-277 surah tersebut, terdapat isyarat bahwa pekerjaan ini termasuk mulia.
“Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan berbuat kebajikan dan banyak mengingat Allah dan mendapat kemenangan setelah terzalimi (karena menjawab puisi-puisi orang-orang kafir). Dan orang-orang yang zalim kelak akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali.”
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, para penyair Muslim lantang bersuara. Mereka membela syiar agama tauhid dan menghadapi nyinyiran kaum musyrikin. Terlebih lagi, mereka yang memusuhi Islam memiliki ahli-ahli syair yang andal. Sebut saja, Abu Sufyan bin Harits.
Saat itu, ia merupakan penyair kebanggaan kaum musyrik Quraisy di Mekkah. Dalam bait-bait puisinya, Abu Sufyan bin Harits sering mengejek Islam. Namun, Rasulullah SAW meminta kaum Muslim membalasnya bukan dengan kekerasan, melainkan melalui puisi pula.
Dengan begitu, Rasulullah SAW secara implisit bermaksud mengubah makna tujuan deklamasi puisi. Menurut Sutiasumarga dalam buku Kesusastraan Arab: Asal Mula dan Perkembangannya, sastra Arab mengalami perkembangan pesat kala masa transisi, yakni dari zaman Jahiliyah ke era datangnya Islam.
Dalam masa pra-Islam, al-hija’ merupakan suatu jenis (genre) syair yang digunakan untuk mencaci-maki orang atau suku lain. Ketika Islam datang, al-hija’ perlahan mengalami modifikasi.
Penyair Muslim tetap dapat melontarkan kritik melalui genre puisi tersebut, tetapi tidak perlu dengan kata-kata yang bernada caci-maki. Selain al-hija’, ada lima genre lainnya dalam sastra Arab yang berubah berkat risalah Islam, yakni al-washfu, al-ghazal, al-fakhru, al-madah, dan al-ritsa.
Dalam Fadha`il Ashhab al-Nabiy, Imam Muslim menuturkan ihwal Nabi Muhammad SAW dan para penyair pendukungnya. Saat itu, sedikitnya ada tiga penyair yang mendampingi Rasulullah SAW, yakni Abdullah bin Rawahah, Ka’ab bin Malik, dan Hassan bin Tsabit.
Terhadap para penyair ini, Rasulullah SAW berkata, “Balaslah kritikan, ejekan, orang-orang Quraisy itu karena hal itu (kritik balasan) lebih memberatkan mereka dibandingkan tembakan anak panah.”
Awalnya, Abdullah bin Rawahah ditunjuk Nabi Muhammad SAW untuk membalas syair al-hija’ Abu Sufyan bin Harits. Namun, Rasulullah SAW kurang begitu puas dengan kritik balasan dari Ibnu Rawahah.
Kemudian, Rasulullah SAW menunjuk Hassan bin Tsabit. Di tengah penduduk Mekkah, sejak zaman jahiliyah Hassan memang dikenal sebagai seorang penyair ulung.
Begitu memeluk Islam, syair-syair yang digubah Hassan lebih didominasi pujian-pujian (al-madah) terhadap Nabi SAW. Selain itu, ia juga mengarang syair-syair yang mengenang para syuhada (al-ritsa). Seperti para penyair Muslimin pada umumnya, Hassan terpengaruh oleh keindahan gaya bahasa Alquran.
Untuk beberapa saat, Hassan berpikir mengenai kata-kata apa yang akan disampaikannya kepada Abu Sufyan bin Harits, penyair yang didukung Quraisy itu. Ia pun berkata kepada Rasulullah SAW, “Demi Allah yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku akan menghabisi mereka dengan lisanku sehingga mereka bagaikan kulit yang tercincang.”
Rasulullah SAW menilai Hassan saat itu masih dikuasai emosi yang tidak jauh beda daripada Abu Sufyan bin Harits. Oleh karena itu, Rasulullah menyuruh Hassan agar menggali hubungan antara dirinya dan kaum Quraisy Mekkah. Dengan begitu, kritik balasan terhadap Abu Sufyan akan lebih efektif.
“Jangan tergesa-gesa, wahai Ibn Tsabit. Abu Bakar adalah orang Quraisy yang paling mengetahui nasab Quraisy. Nasabku berasal dari mereka. Biarkan Abu Bakar menjelaskan nasabku kepadamu,” ujar Rasulullah SAW. Hassan kemudian memohon diri untuk mendatangi Abu Bakar.
Setelah mendapatkan penjelasan dari Abu Bakar, Hassan kembali menemui Rasulullah SAW dan menyatakan siap membalas al-hija’ penyair musyrik Quraisy tersebut. Seperti dirawikan dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Hassan mengkritik mereka dan mereka terdiam tanpa mampu membalas.”
Syair yang dideklamasikan Hassan kepada Abu Sufyan bin Harits berjudul Hija`un Abi Safyan. Berikut petikan isinya, seperti dimuat dalam makalah untuk Universitas Indonesia karya Muliani Setiawati (2013).
Engkau hina Muhammad, aku akan jawab hinaan itu.
Allah sediakan bahasa untuk hinaan itu.
Mengapa kau sanggup menghina Muhammad, sedang engkau tak sepadan dengan dia?
Kau hina sosok yang penuh berkah dan kemuliaan.
Semoga kepercayaan Allah bersifat amanah tak pernah ingkar janji.
Siapa di antara kalian menghina Rasulullah.
Memujinya serta menolongnya adalah sama.
Sesungguhnya ayahku, kakekku, dan harga diriku sebagai benteng.
Untuk harga diri Muhammad dari hinaan kalian.
Tidak ada aib dalam lidahku yang tajam ini.
Lautanku tidak pernah keruh walau ditimba.
Beberapa sejarawan menyebut, Hassan bin Tsabit berusia panjang yakni sampai 120 tahun. Adapun lawannya, Abu Sufyan bin Harits, pada akhirnya memeluk Islam setelah 20 tahun lamanya menghina Rasulullah SAW melalui syair-syair gubahannya.
Bersama dengan putranya, Ja’far, Abu Sufyan bin Harits berangkat ke Madinah untuk mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Nabi SAW. Sejak saat itu, Abu Sufyan selalu mendampingi perjuangan Rasulullah SAW.
Bahkan, dalam sebuah riwayat diungkapkan, Rasulullah SAW pada suatu hari berkata kepada istrinya, Aisyah RA, bahwa Abu Sufyan bin Harits kelak di akhirat akan menjadi ketua pemuda surga. Hal itu tak lain lantaran kecintaan sang penyair dalam memakmurkan masjid.

Laksana Oasis di Pesisir Alexandria
Masjid Abu Abbas al-Mursi bukan hanya indah, melainkan juga bernilai sejarah.
SELENGKAPNYARona Sejarah di Masjid Kalan
Kompleks tempat ibadah ini telah terdaftar sebagai sebuah situs warisan sejarah dunia versi UNESCO.
SELENGKAPNYAMengenal Sosok KH R As’ad Syamsul Arifin
Tokoh berdarah Madura ini turut mengembangkan jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
SELENGKAPNYA