Warga melintas di depan mural bertema antipolitik uang. | MOHAMMAD AYUDHA/ANTARA FOTO

Nasional

Bahaya, KPU Hapus Kewajiban Lapor Sumbangan Kampanye

Penghapusan kewajiban lapor sumbangan kampanye dikritik keras masyarakat sipil.

JAKARTA – Masyarakat sipil mengkritik keras kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menghapus kewajiban peserta pemilu melaporkan dana sumbangan kampanye. KPU didesak untuk membatalkan kebijakan tersebut karena pelaporan dana sumbangan kampanye merupakan praktik baik dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih mendesak KPU mencabut keterangannya dan tetap mengakomodir laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) untuk Pemilu 2024 mendatang," kata perwakilan koalisi, Kurnia Ramadhana, yang juga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam siaran persnya, Senin (5/6/2023).

KPU diketahui tidak memuat ketentuan mewajibkan pelaporan LPSDK dalam Rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Dana Kampanye. Beleid itu disetujui oleh Komisi II DPR. Dengan demikian, semua peserta Pemilu 2024 tidak perlu melaporkan dana sumbangan kampanye yang mereka dapat kepada KPU.

photo
Ketua KPU Hasyim Asy'ari (tengah) berbincang dengan Komisioner KPU Mochamad Afifuddin (kiri) dan Idham Holik (kanan) di sela konferensi pers perkembangan status pendaftaran partai politik calon peserta Pemilu 2024 di kantor KPU, Jakarta, Selasa (16/8/2022). - (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.)

Padahal, kewajiban LPSDK sudah diterapkan sejak Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. KPU RI beralasan, penghapusan dilakukan karena LPSDK tidak diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. Ketentuan itu juga dihapus dengan alasan masa kampanye Pemilu 2024 pendek, yakni 75 hari saja.

KPU juga berdalih bahwa penghapusan LPSDK dilakukan karena informasi mengenai penerimaan sumbangan dana kampanye akan termuat dalam laporan awal dana kampanye (LADK) dan laporan penerimaan pengeluaran dana kampanye (LPPDK).

Menurut Kurnia, sejumlah dalih KPU itu menunjukkan adanya kesesatan berpikir dan logika yang bengkok. Dia menjelaskan, meski LPSDK tidak disebut langsung dalam UU Pemilu, bukan berarti ketentuan tersebut bertentangan dengan undang-undang.

photo
Warga melintas di dekat spanduk berisi ajakan untuk menolak politik uang di Medan, Sumatra Utara, Senin (28/9/2020). - (Irsan Mulyadi/ANTARA FOTO)

Kurnia menegaskan, kewajiban penyerahan LPSDK harus diartikan sebagai mandat langsung dari tiga prinsip pemilu yang diatur dalam Pasal 3 UU Pemilu, yakni jujur, terbuka, dan akuntabel. Selain itu, ketentuan LPSDK juga memenuhi Pasal 4 huruf b UU Pemilu yang menyebutkan bahwa pemilu bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas.

Dia mengatakan, esensi filosofis kehadiran LPSDK adalah mendesak peserta pemilu bertindak jujur dalam melaporkan penerimaan sumbangan para calon anggota legislatifnya pada tengah waktu masa kampanye. "Hal itu akan membangun instrumen pengawasan secara paralel dari pemilih sekaligus menjadi preferensi sebelum mereka menentukan pilihan politik dalam gelaran pemilu," ujarnya.

Koalisi sipil ini juga menilai alasan durasi kampanye yang pendek adalah dalih tidak masuk akal. Sebab, beban pelaporan ada pada partai politik, sedangkan KPU hanya perlu memverifikasi laporan dan memublikasikannya.

"Kami khawatir tindakan para anggota KPU ini hanya untuk mengakomodir kepentingan politik peserta pemilu yang tidak ingin disibukkan dengan urusan administrasi pelaporan keuangan," ujar Kurnia.

 

 
Alasan durasi kampanye yang pendek adalah dalih tidak masuk akal.
 
 

 

Koalisi sipil menilai logika KPU bengkok ketika menyebut LPSDK dihapus karena sudah ada LADK dan LPPDK. Padahal, ketiga instrumen tersebut tidak bisa disandingkan. Sebab, LADK memuat sumber perolehan saldo awal rekening khusus dana kampanye sebelum masa kampanye dimulai. Adapun LPPDK adalah seluruh penerimaan dan pengeluaran selama masa kampanye yang dilaporkan setelah masa kampanye.

Sedangkan, LPSDK berisikan laporan penerimaan dan pengeluaran paruh waktu dalam masa kampanye. "Jadi, LPSDK hanya satu-satunya medium yang dapat dimanfaatkan oleh pemilih untuk melakukan pengecekan dari aspek transparansi dan keterbukaan, bahkan kesesuaian, kandidat politik sebelum pemungutan suara pada pemilu mendatang," ujarnya.

Kurnia menambahkan, ketentuan LPSDK ini bukan hal baru karena sudah diterapkan sejak tahun 2014. Artinya, semua anggota KPU telah menjalankan dan memanfaatkannya pada pemilu-pemilu yang lalu. Untuk diketahui, lima komisioner KPU saat ini sebelumnya juga menjabat sebagai komisioner KPU pusat maupun daerah, satu mantan komisioner Bawaslu RI, dan satu pengamat kepemiluan.

"Tak salah jika kemudian dikatakan bahwa seluruh anggota KPU RI seolah-olah amnesia akan pentingnya instrumen LPSDK ini," kata Kurnia.

photo
Massa Partai Golkar berkampanye di Jakarta (12/5/1997). Foto: Teguh Indra/Republika - (dokrep)

Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, pihaknya menghapus ketentuan tersebut karena LPSDK tidak diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. Ketentuan itu dihapus juga karena pendeknya masa kampanye Pemilu 2024. Masa kampanye Pemilu 2024 adalah 75 hari, sedangkan masa kampanye Pemilu 2019 berlangsung selama enam bulan tiga pekan.

"Singkatnya masa kampanye mengakibatkan sulitnya menempatkan jadwal penyampaian LPSDK," kata Idham dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR, beberapa waktu lalu.

Idham menambahkan, penghapusan LPDK juga dilakukan karena informasi mengenai penerimaan sumbangan dana kampanye telah dimuat dalam LADK dan LPPDK.

Dosen hukum pemilu Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menilai kebijakan KPU menghapus kewajiban melaporkan dana sumbangan kampanye ini tidak selaras dengan semangat antikorupsi dan tidak mendukung gagasan pemilu bersih.

Menurut dia, tidak semua kandidat punya uang banyak untuk mendanai kampanye, sedangkan ongkos politik tinggi. Alhasil, mereka bisa saja menerima sumbangan dari pihak ketiga yang tidak jelas legalitasnya.

Sumbangan tersebut pada akhirnya bisa mendorong kandidat terpilih untuk korupsi ketika menjabat. "Sangat mungkin ada peserta yang banyak aktivitas kampanyenya, tapi tidak jelas pemasukannya dari mana, mengingat harta kekayaannya tidak terlalu besar," kata Titi.

 

 
Justru karena makin pendek, sangat mungkin peserta pemilu akan jor-joran
TITI ANGGRAINI, Dosen Hukum Pemilu UI
 

 

Menurut Titi, makin pendeknya durasi kampanye seharusnya tidak dijadikan dalih untuk menghapus kewajiban melaporkan dana sumbangan kampanye. "Justru karena makin pendek, sangat mungkin peserta pemilu akan jor-joran mengeluarkan belanja kampanye untuk penetrasi pemilih agar di waktu yang sempit bisa optimal memengaruhi pemilih. Di situlah krusial dan strategisnya LPSDK," ujarnya.

Di sisi lain, Titi menyebut penghapusan LPSDK ini akan membuat tugas Bawaslu makin berat mengawasi aliran dana kampanye Pemilu 2024. Bawaslu harus mengawasi secara jeli semua aktivitas kampanye partai politik dan kandidatnya di setiap jenjang.

Setelah itu, hasil pengawasan harus dibandingkan dengan LADK dan LPPDK. Artinya, Bawaslu harus mengecek laporan dana masuk dan keluar itu sesuai dengan aktivitas kampanye yang dilakukan.

Titi pun mendorong Bawaslu untuk meningkatkan kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna menelisik aliran dana hasil kejahatan yang mengalir kepada peserta pemilu.

"Ini terkait dengan aliran dana mencurigakan atau dilarang yang melibatkan peserta pemilu atau orang dan lingkungan terdekatnya," kata pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.

KPU tak Terpengaruh Klaim Bocoran Putusan MK Denny Indrayana

Denny mengeklaim mendapat bocoran bahwa MK menetapkan pemilu proporsional tertutup.

SELENGKAPNYA

Ketua KPU: Ada Konsultan Tawarkan Paket Sebar Hoaks

Aktor intelektual paket sebar hoaks masih sulit ditindak.

SELENGKAPNYA

KPU: Menteri Boleh Nyaleg tanpa Harus Mundur

Delapan menteri dan wakil menteri mendaftar sebagai bakal caleg DPR RI.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya