ILUSTRASI Abdurrahman bin Auf merupakan seorang sahabat Nabi SAW yang kaya. | DOK PXHERE

Kisah

Ketika Abdurrahman bin Auf Memborong Kurma Busuk

Kurma busuk itu malah mendatangkan lebih banyak kekayaan kepada Abdurrahman bin Auf.

Tidak ada yang salah dengan menjadi seorang Mukmin yang kaya selama hartanya itu diperoleh melalui jalan yang halal. Yang keliru adalah mencurahkan seluruh pikiran, daya dan upaya untuk mengumpulkan harta sampai-sampai melalaikan diri dari kewajiban yang digariskan agama.

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, terdapat seorang sahabat yang saleh bernama Abdurrahman bin Auf. Ia termasuk dari 10 orang yang dijanjikan surga oleh Rasulullah SAW, sebagaimana disebut dalam sebuah hadis.

Sejak masih bertempat di Makkah, Abdurrahman bin Auf terkenal sebagai seorang pengusaha yang sukses. Reputasinya tidak hanya diakui masyarakat Hijaz, tetapi juga luar Arab. Ia termasuk yang menerima Islam melalui dakwah yang dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq.

Abdurrahman bin Auf turut serta dalam hijrah ke Madinah al-Munawwarah. Sebagai seorang Muhajirin, ia meninggalkan seluruh harta bendanya di Makkah. Semua itu dilakukannya dengan ikhlas agar dapat terus membersamai Rasul SAW, semata-mata mengharap ridha Illahi.

Di Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar. Adapun Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin ar-Rabi. Orang Anshar itu begitu senang dengan persaudaraan ini, sampai-sampai ia menawarkan kepada Ibnu Auf harta benda dan wanita.

Namun, dengan rendah hati dan tutur kata yang halus, Abdurrahman bin Auf menolak tawaran itu. Ia hanya minta ditunjukkan letak pasar di Madinah. Dari sanalah, sang sahabat Nabi memulai bisnisnya dari nol, sesudah segala aset dan modalnya ditahan musyrikin di Makkah.

Dengan ulet dan kecerdasannya menangkap peluang bisnis, Abdurrahman berhasil meraup untung. Bahkan, dalam hitungan beberapa bulan saja dirinya tidak hanya balik modal, tetapi juga kembali sukses. Kekayaannya kini melampaui dahulu ketika masih bertempat tinggal di Makkah.

 
Kekayaannya (Abdurrahman bin Auf) kini melampaui dahulu ketika masih bertempat tinggal di Makkah.
   

Semangat memberi

Pada suatu kali, penduduk Madinah geger. Sebab, ratusan kafilah dagang memasuki kota itu bak pawai. Berjejer-jejer, seribuan unta mengangkut pelbagai barang dagangan.

“Milik siapa itu?” tanya seorang warga.

“Kafilah-kafilah itu mengangkut barang dagangan milik Abdurrahman bin Auf,” jawab yang lain.

Ummul mukminin ‘Aisyah RA turut kagum menyaksikan pemandangan itu. Namun, kemudian ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Aku melihat Abdurrahman masuk surga dengan merangkak.”

Abdurrahman bin Auf kemudian mendengar berita dari ‘Aisyah itu. Ia tidak senang bila masuk ke surga dengan cara yang sedemikian lamban. “Kalau bisa dengan berjalan, aku ingin masuk surga dengan berjalan,” katanya.

 
Kalau bisa dengan berjalan, aku ingin masuk surga dengan berjalan.
   

Maka, Ibnu Auf yang sejak berislam memang sudah dermawan, menjadi kian suka memberi. Ia membebaskan 30 orang budak dan juga memberikan banyak hartanya kepada para fakir miskin.

Ia mewasiatkan agar 400 dinar miliknya dibagikan kepada setiap orang Muslim yang ikut dalam Perang Badar. Sebanyak seribu ekor kuda dan 50 ribu dinar miliknya juga diinfakkan untuk perjuangan di jalan Allah.

Membeli kurma busuk

Abdurrahman bin Auf masih saja memikirkan sabda Nabi SAW perihal dirinya itu. Lama kelamaan, ia menginginkan agar kembali miskin saja agar kelak di Hari Perhitungan tidak perlu menunggu waktu lama untuk masuk surga.

Tidak ada hari terlewatkannya untuk bersedekah secara masif. Bagaimanapun, bisnis dan usaha yang dijalankan Abdurrahman semakin menghasilkan banyak keuntungan. Bahkan, makin hari kekayaannya menjadi semakin banyak.

Kemudian, datanglah masa Perang Tabuk. Tentu saja, Abdurrahman ikut menjadi yang terdepan, bukan hanya dalam membersamai Rasulullah SAW di ekspedisi tersebut, tetapi juga menginfakkan harta bendanya untuk perlengkapan pasukan Muslimin. Misi yang dipimpin Nabi SAW itu sukses sehingga mereka kembali pulang.

Sesampainya di Madinah, sebagian Muslimin yang bekerja sebagai pekebun bersedih. Sebab, pohon-pohon kurma milik mereka lama ditinggalkan sehingga menghasilkan buah yang busuk. Tentu saja, harga kurma busuk pasti jatuh di pasaran.

photo
ILUSRTASI Buah kurma. - (Republika/Wihdan Hidayat)

Mendengar kabar itu, Abdurrahman bin Auf gembira. Tentu bukan lantaran melihat kesedihan saudara seiman, tetapi karena menemukan, inilah peluang besar baginya untuk bersedekah. Ia pun langsung menghampiri seluruh pemilik kebun itu. Semua kurma busuk milik mereka dibelinya dengan harga standar kurma normal.

Mereka pun bersyukur karena buah-buahan yang tadinya dikhawatirkan tidak akan laku, tiba-tiba diborong oleh Abdurrahman bin Auf. Para sahabat Nabi itu gembira karena mereka bisa menerima harga normal. Ibnu Auf justru lebih senang daripada mereka karena harapannya untuk menjadi miskin kian mendekati nyata.

Beberapa hari kemudian, Madinah kedatangan beberapa utusan dari kerajaan Arab di Yaman. Para utusan itu rupanya sengaja datang karena mengetahui, kota ini masyhur sebagai penghasil pohon-pohon kurma terbaik.

Uniknya, orang-orang itu justru mencari kurma-kurma busuk. Sebab, mereka menjelaskan, negerinya sedang dilanda wabah. Menurut tabib sang raja, salah satu obat untuk menangkal penyakit menular itu adalah ramuan yang terbuat dari bahan kurma-kurma yang busuk di pohon.

 
Obat untuk menangkal penyakit menular itu adalah ramuan yang terbuat dari bahan kurma-kurma yang busuk di pohon.
   

Mengetahui bahwa semua kurma busuk telah diborong Abdurrahman bin Auf, segera saja para utusan Yaman itu mendatanginya. Kepada sang sahabat Nabi, mereka menyatakan sanggup untuk membayar kurma-kurma busuk itu dengan harga 10 kali lipat!

Pada saat dirinya merelakan semua harta benda agar sengaja jatuh miskin, ketika itu pula Allah SWT memberikan keberlimpahan dan keberkahan berkali-kali lipat untuknya.

Di hari tuanya, Ibnu Auf mengenang akhir dari rekan-rekannya yang turut berjuang bersama Nabi SAW. “Mush'ab bin Umair telah gugur, dan ia lebih baik dariku. Ketika orang-orang hendak mengurus jenazahnya, mereka mendapati bahwa ia tidak memiliki kain (sebagai kafan) kecuali burdah yang apabila ditutupkan di kepala, kakinya menjadi terlihat—dan apabila kakinya ditutup dengan kain itu, kepalanya menjadi terlihat.

Hamzah juga gugur, dan ia lebih baik dariku. Ketika ia meninggal, tidak ada kafan yang menutupi jenazahnya selain burdah. Maka aku khawatir balasan kebaikan-kebaikanku diberikan di dunia ini,” katanya sambil menangis.

Mencari Luas Segitiga

SELENGKAPNYA

Kemenag Tagih Komitmen Garuda

Irfan menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang dialami.

SELENGKAPNYA

Ekonomi Pilpres

Efek persepsi tentang ekonomi lebih tinggi daripada efek faktor lain termasuk agama.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya