
Safari
Sampai (Juga) di Ujung Kulon
Ujung Kulon dikenal sebagai kampungnya badak jawa, tapi sang penghuni kampung tak selalu menunjukkan diri.
Sinar matahari mulai meredup. Bayang-bayang pohon semakin gelap. Mobil dengan jenis van itu tampak kesusahan melintas di jalan berbatu yang menanjak. Pada tanjakan yang curam, pintu mobil bagian belakang kerap terbuka dan mengeluarkan barang yang termuat di dalamnya.
Para penumpang pun terpaksa turun. Sebagian dari mereka kemudian berjalan kaki hingga menuju Desa Keramatjaya, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Dari desa ini, Gunung Honje yang termasuk dalam wilayah Taman Nasional Ujung Kulon jelas terlihat.
Seperti halnya gunung lain di dataran rendah, ketinggian Gunung Honje juga tidak menjulang, yaitu ‘hanya’ 620 meter dari permukaan laut (dpl). Lereng-lereng Gunung Honje yang melebar terhampar seluas 19.500 hektare.
Terbuka dan kritis
Di Gunung Honje, terdapat hutan hujan tropis dataran rendah. Hutan ini menjadi habitat badak jawa atau badak bercula satu (Rhinoceros sondaicus) yang diperkirakan jumlahnya hanya tersisa 46 ekor.

Beberapa satwa langka juga hidup di wilayah ini, seperti banteng (Bos javanicus), surili (Presbytis comata), lutung (Trachypithecus auratus), rusa (Cervus timorensis), macan tutul atau harimau daun (Panthera pardus), dan owa jawa (Hylobates moloch). Tapi, tidak diketahui berapa jumlah hewan-hewan itu.
Meski tampak hijau sejauh mata memandang, tidak seluruh kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) seluas 120.551 hektare ini berada dalam zona aman. Di Keramatjaya, misalnya, terdapat lahan-lahan kritis di satu dari 14 desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Ujung Kulon ini. “Masih ada kebun di dalam Taman Nasional,” kata Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Husen.
Husen mengatakan, seluas 3.400 hektare lahan di kawasan ini terbuka dan dapat dirambah manusia. “Sekitar 2.000 hektare berada dalam kondisi kritis,” kata dia. Lahan-lahan ini berupa kebun yang tidak ditanami pohon apa pun, kecuali rumput-rumputan.
Banyaknya area lahan kritis karena tidak dapat dilepaskan dari faktor sejarah. Sebelum ditetapkan kawasan yang dilindungi, kawasan ini merupakan hutan produksi yang dikelola Dinas Kehutanan dan Perusahaan Umum (Perum) Perhutani.

Pada masa itu, Dinas Kehutanan dan Perum Perhutani mengizinkan masyarakat untuk merambah hutan. Ketika itu, pendidikan masyarakat belum terlalu tinggi, lapangan pekerjaan di luar kawasan juga belum banyak. Masyarakat setempat pun menjadikannya sebagai lapangan pekerjaan. Mereka mendirikan rumah, membuka lahan, dan menanaminya dengan tanaman produksi.“
Terluas di Jawa
Kondisi kritis di TNUK membuat pemerintah mulai serius menggarapnya sebagai wilayah yang harus dilindungi. Pada 1979, pemerintah menetapkan kawasan Gunung Honje seluas 9.498 hektare sebagai cagar alam. Lima tahun berselang, pemerintah menetapkan Ujung Kulon sebagai taman nasional. Ini taman nasional pertama yang diresmikan pemerintah.
Departemen Kehutanan juga mengusulkan ke UNESCO agar area taman nasional ini menjadi situs warisan alam dunia pada kategori hutan tropis dataran rendah terluas di Jawa. Pada 1992, UNESCO menetapkan status itu.
Sejak itu, TNUK meliputi kawasan daratan seluas 76.214 hektare dan perairan laut 44.337 hektare. Wilayahnya terbentang dari Semenanjung Ujung Kulon seluas 39.120 hektare, Gunung Honje seluas 19.498 hektare, hingga Pulau Peucang dan Panaitan seluas 17.500 hektare.

Upaya reforestasi dilakukan. Rehabilitasi hutan dan lahan semakin gencar dilakukan sejak 2004. Pada 2010, pengelola Taman Nasional Ujung Kulon melakukan penanaman pohon sulangkar, pakan untuk badak jawa. Sehingga, kebutuhan hewan purba yang diperkirakan hanya tersisa 46 ekor ini tetap tersedia.
Pengelola juga mulai melakukan tindakan persuasif kepada masyarakat yang masih menempati pemukiman di lahan konservasi. Tahun lalu, pengelola berhasil mengajak keluar ratusan masyarakat yang mendiami perkampungan di Cimanggu yang termasuk dalam Wilayah III TNUK. “Mereka kembali ke kampung halaman,” kata Husen.
Akan tetapi, cara ini tidak selalu berhasil. “Bagaimanapun, kami harus menghormati sejarah. Mereka sudah tinggal di tempat ini bahkan ketika taman nasional belum ada,” kata dia.
Warga Baru Menyangga Hutan
Senyum mengembang tidak pernah lepas dari wajah Asep (61 tahun). Bibir yang menyungging itu mengaburkan kesulitan yang telah dialami warga Desa Kramatjaya, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten, selama 10 tahun terakhir.
Pada 2002, Asep harus melakoni perubahan drastis dari pemilik sebuah rumah makan beromzet Rp 15 juta per bulan di Aceh menjadi petani di daerah penyangga Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Perubahan itu harus dilakukannya menyusul konflik yang terjadi di Aceh, tujuannya bertransmigrasi pada 1986 lalu.

“Bagaimanapun, keselamatan keluarga paling utama,” kata pria empat anak ini.
Pindah ke lokasi terpencil dan mengubah pekerjaan bukan pekerjaan mudah. Pemerintah memang memberikannya lahan seluas 1.000 meter persegi untuk ditanami pohon mangga dan rambutan serta rumah.
Sebagai petani, penghasilan Asep tidak menentu. Apalagi, wilayahnya yang lebih dekat ke daerah konservasi membuatnya tidak mudah untuk memasarkan dagangan. Inilah yang membuat 164 keluarga lainnya yang juga eksodus dari Aceh memutuskan meninggalkan daerah penyangga tersebut.
Meski demikian, Asep memilih bertahan dengan tetap mengandalkan pemasukan dari ladangnya. Dia percaya, suatu hari keputusannya akan menghasilkan ‘buah yang manis’. “Pasti prosesnya tidak cepat. Ketika saya memulai di Aceh dulu juga sulit, tapi kemudian ada hasilnya,” kata dia.
Apalagi, Pemerintah Kabupaten Pandeglang berencana memprogramkan hutan rakyat seluas 25 hektare, termasuk 16,4 hektare yang sudah ditinggalkan eksodan dari Aceh, di Cimanggu. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pandeglang Tubagus Saprudin mengatakan, penanaman hutan rakyat itu akan mulai dilakukan pada Oktober atau November mendatang.
Pihaknya akan menyalur kan bantuan bibit dari pemerintah pusat. Selain itu, dari total lahan tersebut, upaya rehabilitasi lahan seluas lima hektare dilakukan oleh World Wide Foundation (WWF) Indonesia melalui program NEWtrees.

Organisasi nirlaba yang bermarkas di Swiss ini menggandeng PT Batara Indah, produsen peralatan kantor Bantex, untuk melakukan reforestasi. Direktur WWF Indonesia Wawan Ridwan mengatakan, masyarakat turut dilibatkan dalam program ini, mulai dari pemilihan bibit, penanaman, dan perawatan.
Cara ini juga diharapkan menjadi penghasilan tetap bagi masyarakat. Karena itu, masyarakat dipersilakan memilih jenis tanaman yang bisa menghasilkan.
“Seperti pohon manggis, melinjo, atau rambutan,” kata dia. Upaya diharapkan akan mengurangi tekanan terhadap taman nasional.
Disadur dari Harian Republika edisi 10 Juni 2012 dengan reportase oleh Ratna Puspita.
Berkano di Sungai Cigenter
Ular dan elang laut di atas pohon mengawasi orang yang melintasi sungai di bawahnya.
SELENGKAPNYA