Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Nostalgia

Tentang Pembahasan Sila Pertama Pancasila

Kasman Singodimedjo yang mengingatkan kembali tentang kesepakatan pada 18 Agustus 1945.

Oleh PRIYANTONO OEMAR

Pada 20 November 1956, Konstituante memulai sidang. Presiden Sukarno menyampaikan harapannya agar Konstituante segera menyusun dan menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) dalam masa kerja yang tidak dibatasi.

Menyusun dan menetapkan UUD RI memang sudah diamanatkan oleh Pasal 134 UUDS 1950. Konstituante menyusun UUD RI tentu bukan saja sebagai pengganti UUDS, melainkan juga karena UUD 1945 disusun secara kilat dan bersifat sementara.Pemerintah meminta Konstituante memilih UUD 1945 sebagai UUD RI.

"... Tuan-tuan semua tentu mengerti, bahwa undang-undang dasar yang (kita) buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara.Kalau boleh saya memakai perkataan ini, adalah untuk undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna," ujar Sukarno di dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.

 
Kasman Singodimedjo yang mengingatkan kembali tentang kesepakatan pada 18 Agustus 1945.
 
 

Namun, sebelum Konstituante melakukan pemungutan suara untuk menetapkan UUD 1945 sebagai UUD RI, terlebih dulu dilakukan pemungutan suara mengembalikan Sila Pertama Pancasila di Piagam Jakarta. Adalah Kasman Singodimedjo yang mengingatkan kembali tentang kesepakatan pada 18 Agustus 1945.

AA Maramis tak keberatan dengan Sila Pertama Pancasila di Piagam Jakarta. Pada 22 Juni 1945 ia ikut menandatanganinya. Mungkin waktu itu Mr AA Maramis cukup memikirkan bahwa bagian kalimat itu hanya untuk rakyat Islam yang 90 persen jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi, tulis Hatta dalam memoarnya.

Namun, Hatta telah didatangi opsir Angkatan Laut Jepang yang menyampaikan adanya keberatan dari pemimpin non-Muslim di wilayah pendudukan Jepang. Perwira itu memberitahu Hatta, jika Sila Pertama Pancasila di Piagam Jakarta ada di Pembukaan UUD 1945, mereka mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia. Tak ingin wilayah-wilayah Kristen/Katolik bergabung lagi ke Belanda, Hatta meminta opsir Jepang itu mendinginkan pemimpin Kristen/Katolik yang sedang panas hati dan panas kepala.

 
Dalam pembahasan di sidang PPKI, yang paling ngotot mempertahankan Piagam Jakarta adalah Ketua Umum Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo.
 
 

Dalam pembahasan di sidang PPKI, yang paling ngotot mempertahankan Piagam Jakarta adalah Ketua Umum Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo. Sukarno-Hatta tak mampu meluluhkan Ki Bagus. Diutuslah KH Wachid Hasyim dan Teuku Mohammad Hasan untuk membujuk Ki Bagus. Disampaikannya, pembahasan UUD 1945 ini bersifat sementara, enam bulan kemudian akan dilakukan pembahasan UUD yang bersifat tetap.

Tak juga luluh, lalu Kasmanlah yang membujuk. Menggunakan bahasa Jawa, berbekal janji enam bulan kemudian akan dibahas lagi, Kasman memengaruhi Ki Bagus betapa masyarakat akan memandang tak elok jika para pemimpin berantem di masa awal kemerdekaan.

"Kiai, tidakkah bijaksana kalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai Negara yang berdaulat, adil makmur, tenang tenteram, diridhai Allah," ujar Kasman kepada Ki Bagus setelah bicara panjang lebar.

Ki Bagus menerimanya, bersabar untuk enam bulan kemudian. Kendati Sila Pertama Pancasila sudah tak memakai yang ada di Piagam Jakarta, toh pada 1947-1948, Sumatra Utara dan wilayah-wilayah di Indonesia timur belum tergabung dalam wilayah RI, sehingga menjadi negara bagian dalam Negara Indonesia Serikat, negara kompromi Indonesia-Belanda.

 
Hingga 10 tahun kemudian, tak ada pembahasan sila pertama itu.
 
 

Hingga 10 tahun kemudian, tak ada pembahasan sila pertama itu. Ini yang mendorong Kasman mengingatkan kembali di Sidang Konstituante 1956, dua tahun setelah Ki Bagus meninggal dunia. Namun, sidang Konstituante tak memenuhi kuorum ketika mengambil suara, setelah Presiden Sukarno di pidatonya pada 22 April 1959 demi demokrasi terpimpin meminta Konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi UUD RI.

Pada 29 Mei 1959, pemungutan suara yang tak kuorum itu menghasilkan 265 suara menolak sila pertama Pancasila di Piagam Jakarta, 201 setuju. Kemudian, sidang 30 Mei 1959 juga tak kuorum ketika mengambil suara untuk kembali ke UUD 1945. Ada 269 suara yang setuju dan 199 suara menolak.

Karena tak kuorum, dilakukan pemungutan suara lagi pada 2 Juni 1959, tapi juga tak kuorum. Pada 3 Juni Konstituante reses. Mulai pukul 06.00 perintah KSAD atas nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat yang melarang kegiatan politik, diberlakukan. Ketua Umum PNI Suwirjo pada 16 Juni lantas berkirim surat kepada Sukarno yang ada di Jepang, meminta pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945.

Disadur dari Harian Republika edisi 29 November 2020.

Di Papua, Muhammadiyah dan Kristen tidak Bisa Dipisahkan

Menariknya, di tanah Papua tidak ada semacam fobia terhadap Muhammadiyah.

SELENGKAPNYA

Istiqamah: Antara Pancasila dan Pengurai Benang

Pancasila telah mengalami begitu banyak cobaan.

SELENGKAPNYA

Meluruskan Sejarah Pancasila

Pancasila sebenarnya bukanlah rumusan seorang Bung Karno sendirian.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya