
Refleksi
Istiqamah: Antara Pancasila dan Pengurai Benang
Pancasila telah mengalami begitu banyak cobaan.
Oleh KH HASYIM MUZADI
Pada bulan Juni 1945, Bapak Bangsa Indonesia, Ir Soekarno, dengan kebesaran jiwa dan keluhuran budi menegaskan bahwa ia bukanlah pencipta Pancasila. Tetapi, semua unsur kekuatan bangsa, setelah melalui perdebatan melelahkan dan menguras energi yang luar biasa, akhirnya bersepakat menjadikan hasil galian Bung Karno itu sebagai dasar negara RI.
Pada awal lahirnya republik, Pancasila berhasil mempersatukan founding fathers yang berasal dari aliran politik, agama, dan etnis mereka yang berbeda-beda. Pancasila yang menjadi alasan mengapa mereka harus bersikap istiqomah dalam memegang teguh prinsip "bersatu dalam keragaman."
Namun, dalam ikhtiar mempertahankan hubungan Pancasila dengan sikap istiqamah untuk bersatu dalam keragaman itu, serangkaian pergolakan politik harus dilalui. Bahkan ketika Bung Karno, Sang Penggali, masih di puncak kekuasaannya.
Ideologi ini beberapa kali mengalami rongrongan, tetapi dengan semangat kesatuan sikap dan beristiqomah dalam mempertahankan ideologi negara, hingga sejauh ini Allah masih menurunkan berkah-Nya. Bangsa Indonesia pun selamat dari ancaman perpecahan. Meski sejatinya, Pancasila tidak pernah benar-benar "hidup tenang".
Bahkan, di dalam rahim bangsanya sendiri, Pancasila telah mengalami begitu banyak "cobaan".
Bahkan, di dalam rahim bangsanya sendiri, Pancasila telah mengalami begitu banyak "cobaan" akibat tarikan dan gelombang politik kekuasaan sehingga harus digambarkan dalam banyak simbol dan dalam beragam tata laksana nilai-nilai luhurnya.
Pancasila juga berulang-ulang mengalami perkosaan pemaknaan, pemahaman, penghayatan, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari karena kepentingan kekuasaan yang despot.
Sejatinya, soal bagaimana mempertahankan Pancasila, amat bergantung pada kehendak baik para pemimpin. Kalau mereka istiqomah, Insya Allah, alat pemersatu ini akan hidup tenang, merangkul kita semua dalam landasan Bhinneka Tunggal Ika.
Tentu masalahnya tidak sesederhana ini. Apalagi, secara jujur harus diakui bahwa masih terdapat kendala besar yang bersifat sistemis dalam upaya penegakan Pancasila. Saat ini sistem yang berlaku di Indonesia justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, yang pada akhirnya menjadi kendala bagi penegakan ideologi negara.
Apakah penjualan aset-aset negara ke perorangan sesuai dengan sila kelima? Apakah otonomi dan otonomi khusus sesuai dengan konsep asli NKRI?
Apakah karut-marut hukum saat ini sesuai nilai-nilai Pancasila? Benarkah ada demokrasi kerakyatan seperti diamanatkan Pancasila, atau justru demokrasi elitis yang cenderung transaksional?
Kalau jawabannya minus, kita harus bersiap menerima segala risiko yang mungkin bakal datang. Boleh jadi ini semua akibat telah hilangnya sifat istiqamah kita mempertahankan kesatuan sikap dalam memaknai secara benar dan melaksanakannya secara sadar semua aspek nilai-nilai Pancasila.
Kita lebih senang bercerai-berai untuk kepentingan serta target tertentu dan sesaat dalam uniformitas yang eksklusif. Kita kerap mengabaikan harmoni hidup bersama dalam bingkai inklusivitas.
Kita lebih sering didera ambisi dalam mengidealisasi nilai-nilai agama sesuai cetak biru versi kelompok tertentu daripada berjuang bersama, mengajak semua kelompok hidup dalam satu bingkai kebangsaan.
Dalam banyak konteks, agama mengajarkan kita untuk selalu berada dalam bingkai istiqamah.
Dari kasus ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa lenyapnya berkah kehidupan bukan semata akibat hilangnya (1) lubbussya'i pada setiap peristiwa dan penciptaan, (2) meluasnya ilmu yang tidak didasarkan pada khasyatullaah, (3) kian dimakluminya praktik demokrasi yang telah menjadi industri,
(4) mewabahnya kematian hati para pemimpin, tetapi juga bisa disebabkan oleh (5) terlalu seringnya para pemimpin tidak bersifat istiqomah alias tidak konsisten. Terlalu lebar disparitas antara kata dan perbuatan.
Terlalu jauh jarak antara janji dan pelaksanaannya. Gambar yang memantul di cermin sangat jauh berbeda dengan warna aslinya. Begitu banyak bedak yang menempel di wajah dan begitu beragam topeng yang sering dipakai.
Dalam banyak konteks, agama mengajarkan kita untuk selalu berada dalam bingkai istiqamah karena ini amat erat kaitannya dengan konsistensi keterlibatan penghuni langit dengan kita sebagai penghuni bumi.
"Innalladziina qaaluu Rabbunal-Laahu tsummas taqaamuu tatanazzalu 'alaihimul malaaikatu allaa takhaafuu walaa tahzanuu (Sesungguhnya orang-orang yang berkata, 'Tuhan kami adalah Allah', kemudian mereka meneguhkan/istiqamah dengan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (sambil berkata, 'Hendaklah kamu sekalian tidak takut dan tidak gelisah')." (QS Fushshilaat: 30).
Agama mensyaratkan sifat istiqamah bagi kelangsungan hubungan antara penghuni langit dan penghuni bumi. Istiqamah atas keyakinan bahwa Allah semata tempat kita berlindung, hanya kepada-Nya kita mengabdi dan mengharap pertolongan.
Kalau istiqamah kita pegang dengan kuat, dan para pemimpin mengemban amanah dengan penuh istiqamah, insya Allah kita masih mungkin berharap tertanamnya berkah dalam kehidupan kita. Kalau tidak, dan pemimpin lebih senang membuat kita hidup di kotak-kotak kategori yang penuh intrik, itu tak ubahnya seperti wanita pemintal benang yang ketika sudah menjadi kain lalu mengurainya kembali menjadi benang-benang yang tak terikat satu sama lain.
Kita sebagai anak bangsa berharap, agar para pemimpin dapat melakukan taqwiim, sebuah langkah yang menyangkut disiplin jiwa.
"Walaa takuunuu kallati naqadhat ghazlahaa mim ba'di quwwatin ankaatsaa (Dan janganlah kamu seperti seorang wanita yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi tercerai-berai kembali)." (QS an-Nahl: 92).
Kita semua, terlebih para pemimpin, adalah wanita-wanita yang telah menguatkan Pancasila sebagai sebuah komitmen kebangsaan, tetapi kemudian kita juga yang menguraikannya kembali menjadi kelompok-kelompok kecil terberai akibat perbedaan furu'iyaah dan tercengkeram oleh ambisi tertentu.
Dalam konteks menegakkan kembali benang-benang Pancasila ini, sebagai golongan ulil-amri, para pemimpin sudah selayaknya memegang teguh tiga derajat istiqamah, yakni menegakkan segala sesuatu (taqwiim), meluruskan segala sesuatu (iqaamah), dan berlaku teguh (istiqaamah).
Untuk tujuan mulia ini, kita sebagai anak bangsa berharap, agar para pemimpin dapat melakukan taqwiim, sebuah langkah yang menyangkut disiplin jiwa. Lalu, dilanjutkan dengan iqaamah alias berkaitan dengan penyempurnaan hati dan istiqaamah berhubungan dengan tindakan mendekat kepada Allah dalam ikhtiar menguatkan komitmen persatuan dan kesatuan untuk tercapainya tujuan mulia, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan cita-cita Proklamasi.
Maka, siapa pun kita, jauhi sikap tidak konsisten alias tidak istiqamah agar kita masih bisa berharap Allah berkenan mempertahankan keberkahan hidup kita.
WalLaahu a'lamu bishshawab.
Disadur dari Harian Republika edisi 10 Juli 2011. KH Hasyim Muzadi (1943-2017) adalah ketua umum PBNU periode 2000-2010.
Biografi Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa memimpin perjuangan Banten melawan kolonialisme Belanda.
SELENGKAPNYAPerjuangan Habib Umar di Dunia Pendidikan
Reputasi al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz mendunia, termasuk di Indonesia.
SELENGKAPNYAKetika Ali ‘Kalah’ Lawan Yahudi di Pengadilan
Di muka pengadilan, Khalifah Ali bin Abi Thalib diperlakukan seperti halnya warga biasa.
SELENGKAPNYA