
Kisah
Ketika Nabi Menikahi Wanita Ahli Kitab
Seorang istri Nabi dikatakan berasal dari kalangan Ahli Kitab.
Islam mengajarkan bahwa pernikahan merupakan jalan yang diridhai Allah SWT untuk mempersatukan antara laki-laki dan perempuan dalam institusi rumah tangga. Hubungan antara keduanya yang sebelumnya haram menjadi halal dan bahkan mendatangkan pahala kebaikan.
Melalui pernikahan, akhlak Muslim dan Muslimah pun terjaga. Mereka juga menerima amanah, terutama sejak menjadi ayah dan ibu, untuk menjaga keturunan dan merawat anak-anak hingga menjadi manusia dewasa.
Dalam ajaran Islam, sebuah pernikahan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan persyaratan. Salah satu syaratnya adalah bahwa calon suami yang ingin beristrikan wanita Muslimah haruslah seorang Muslim. Tanda keislaman itu tampak, sekurang-kurangnya, dari pembacaan dua kalimat syahadat.
Bagaimanapun, sejarah mencatat, tidak selalu Muslim berpasangan dengan sesama pemeluk Islam. Tidak sedikit pria Islam pada masa dahulu menikah dengan wanita yang memiliki keyakinan religius berbeda. Bahkan, hal ini sudah terjadi sejak era kenabian.
Saat bertemu dengan Maria, beliau menyukainya. Dalam buku Beginilah Rasulullah Menggauli Istri-istrinya, Badrut Tamam menjelaskan, istri-istri Nabi SAW sempat menunjukkan rasa cemburu lantaran kehadiran wanita Mesir itu. Nabi SAW pun harus menitipkan Maria di rumah Haritsah bin Nukman yang teletak tidak jauh dari Masjid Nabawi.
Kemudian, Rasulullah SAW menawarkan kemerdekaan bagi Maria, yang saat itu masih berstatus hamba sahaya. Beliau pun menyampaikan keinginannya untuk menikahinya. Akan tetapi, Maria sempat menolak tawaran itu dan memilih tetap menjadi budak.
Dalam buku Biografi Istri-Istri Nabi, Ali Yusuf Subekti mengungkapkan, Maria saat itu masih meyakinkan dirinya bahwa statusnya hanyalah seorang hamba sahaya. Itu bertujuan agar dirinya tetap memiliki hati yang luhur, sesuai ajaran agama Kristen. Rasulullah SAW kemudian menerima pilihan Maria dan sama sekali tidak keberatan atas keputusannya itu.
Kendati demikian, Rasulullah SAW pada akhirnya mengubah status Maria menjadi istrinya di kalangan keluarganya (Ahl al-Bait). Beliau menempatkan Maria tidak tidak jauh dari rumah para ummul mukminin meski dengan status wanita itu yang tidak sama dengan istri-istri Nabi SAW yang lain.
Maria dikenal dengan sebutan Sariyyat Rasulullah. Maknanya, ia adalah seorang istri beliau yang absah menurut syariat, tetapi tidak berstatus resmi sebagai istri sepenuhnya. Dengan demikian, tidak bisa menyandang gelar ummul mukminin. Sebab, Maria dengan statusnya sebagai hamba sahaya merupakan wanita pemberian atau hadiah dari pihak lain kepada Rasulullah SAW.
Terdapat dua pendapat di kalangan cendekiawan mengenai dipilihnya Maria sebagai hadiah dari pemimpin Mesir, Muqauqis, kepada Rasulullah SAW. Pertama, Abu Shalilh al-Arman mengatakan bahwa Maria dikirimkan Muqauqis agar Mesir bisa menjalin kerja sama yang baik dengan Nabi SAW.
Kedua, agar Maria bisa menjelaskan kepada kaumnya tentang kebenaran, apakah Muhammad SAW sebagai nabi Allah atau sekadar raja biasa di tengah bangsa Arab.
Tugas seperti itu tentu sangat sulit bagi Maria jika tidak tinggal bersama Rasulullah dalam satu atap. Sementara, Raja Muqauqis tidak menemukan gadis lain yang lebih baik daripada Maria al-Qibtiyah guna menyelidiki Muhammad SAW. Sang raja Mesir juga mengirim saudari Maria yang bernama Sirin serta beberapa orang untuk melindungi wanita tersebut.
Dalam buku Biografi Istri-Istri Nabi dijelaskan, saat pergi ke negeri Hijaz, Maria mengenakan pakaian khas seorang biarawati. Kemudian, ia masuk ke dalam rumah Rasulullah SAW yang sederhana. Wanita ini juga melihat langsung pola hidup beliau yang bersahaja.
Di rumah Rasulullah SAW, Maria makan di meja makan yang terbuat dari kulit, makan makanan yang dimakan hamba sahaya. Maria mengetahui bahwa pola hidup Muhammad SAW yang sederhana itu sama dengan sifat-sifat yang ia baca dalam kitab Injil.
Setelah dijadikan istri, Maria merasakan betul perhatian dan kasih sayang Rasulullah SAW. Hatinya menjadi tenteram dan jiwanya menjadi tenang. Meskipun bukan seorang ummul mukminin, yakni hanya sariyyah, ia ridha diminta Nabi SAW untuk mengenakan hijab—sama seperti istri-istri beliau yang lain.
Dari pernikahan Rasulullah SAW dengan Maria, lahirlah seorang putra bernama Ibrahim. Betapa suka cita Nabi SAW menyambut kelahiran anak lelaki yang telah lama diidam-idamkannya.
Allah berkehendak usia Ibrahim bin Muhammad SAW tidak lama. Saat berumur kurang dari dua tahun, anak itu menderita sakit dan kemudian meninggal dunia. Rasulullah SAW bersedih hati, tetapi tetap tegar.
Status keislaman
Umumnya sejarawan belum dapat memastikan, apakah pada saat Rasulullah SAW menikahi Maria al-Qibtiyah, wanita itu sudah membaca dua kalimat syahadat ataukah masih belum. Riwayat mengenai pokok ini masih simpang siur.
Ada pendapat yang menyatakan, Maria belum masuk Islam ketika itu. Ada pula yang menyebut, sang wanita sudah memeluk Islam.
Bagaimanapun, hal itu tidak lantas menjadi masalah pernikahan beda agama. Sebab, status Maria ketika itu adalah seorang budak yang dihadiahkan raja Mesir untuk Rasulullah SAW. Wanita itu tidak dinikahi seperti pada umumnya pernikahan yang harus ada akad nikah.
Jadi, begitu dihadiahkan kepada Rasulullah SAW, Maria menjadi milik beliau. Sama halnya dengan saudari wanita tersebut, Sirin. Perempuan ini dihadiahkan Nabi SAW kepada salah seorang sahabatnya yang penyair, Hassan bin Sabit. Sirin tidak dinikahi sebagai pernikahan pada umumnya.
Menikahi wanita yang berasal dari kalangan Ahli Kitab banyak dilakukan para sahabat Nabi SAW. Barulah pada masa sesudah wafatnya Rasulullah SAW, perubahan kian tampak. Tepatnya pada era kepemimpinan Umar bin Khattab. Sang amirul mukminin mengeluarkan sebuah fatwa yang melarang umat Islam untuk menikahi wanita Ahli Kitab.
Umar menjadi seorang pemimpin Muslim pertama yang keras menolak pernikahan beda keyakinan, baik antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahli Kitab, maupun perempuan Muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. Ketika itu, tidak semuanya setuju.
Abu Hurairah, misalnya, menyuarakan keberatan bila sampai dirinya mesti menceraikan istrinya, yang seorang Ahli Kitab. Dalam argumentasinya, ia memandang bahwa Allah menghalalkan pernikahan antara Muslim dan seorang wanita Ahli Kitab.
Pada awal-awal perkembangan syiar Islam, nikah beda agama memang menjadi tren di masyarakat Arab, di mana mereka senang menikahi perempuan musyrik. Karena biasanya perempuan-perempuan itu mempunyai jabatan bagus di tengah masyarakat atau dengan kata lain mereka adalah perempuan yang berposisi sosial tinggi.
Nikah beda agama juga sempat menjadi tren pada era Khalifah Umar bin Khattab. Sebab, pada masa itu umat Islam gencar menaklukkan negeri-negeri luar Jazirah Arab, yang di dalamnya terdapat perempuan-perempuan Ahli Kitab.
Haji Lelah dan Penuh Derita
Nasib seperti itu akan dialami jamaah haji karena tidak fokus dalam melaksanakan ibadah tersebut.
SELENGKAPNYARupa-Rupa Kesukaran Naik Haji di Masa Silam
Jamaah Indonesia pada masa lalu menghadapi banyak aral untuk bisa menunaikan haji.
SELENGKAPNYAKristen Muhammadiyah: Menjadi Kristen Taat Meski Dididik Muhammadiyah
Kristen Muhammadiyah bukanlah penggabungan teologis antara Kristen dan Muhammadiyah.
SELENGKAPNYA