Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, Senin (9/5/2022). | ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

Ekonomi

Antisipasi Kebijakan Uni Eropa, Intensifikasi Sawit Digencarkan

Hingga 2022, luas penanaman program PSR baru mencapai 273 ribu hektare.

JAKARTA — Kebijakan antideforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) akan mulai diberlakukan pada Juni. Regulasi itu akan menghambat ekspor komoditas Indonesia, terutama sawit.

Seiring adanya pemberlakuan itu, Indonesia akan menggencarkan program intensifikasi sawit melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR).

Staf Khusus Menko Perekonomian Bidang Penguatan Kerja Sama Ekonomi Internasional Rizal Affandi Lukman mengatakan, dengan produksi sawit yang stagnan dalam empat tahun terakhir, pemerintah mengambil kebijakan untuk tidak memperluas lahan sawit.

Dia menjelaskan, intensifikasi juga dapat dilakukan dengan menerapkan tata cara bercocok tanam sawit yang baik, khususnya dengan pengendalian hama, penyediaan bibit yang unggul, serta sistem pengairan yang baik.

Selain itu, dilakukan melalui penyediaan sarana-prasarana perkebunan sawit yang dapat menghasilkan panen buah segar dengan kualitas yang bagus. Begitu juga dengan pengolahan yang efisien dan berproduktivitas tinggi serta logistik pengiriman yang baik.

photo
Sejumlah truk pengangkut tandan buah segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). - (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/rwa.)

“Ini tentu kita harapkan akan menghasilkan kualitas sawit yang baik pula. Apalagi kita mengantisipasi berlakunya peraturan EUDR, maka sawit yang diekspor ke negara-negara eropa harus memenuhi syarat,” kata Rizal dalam webinar Palm Oil Financing Forum, Selasa (30/5/2023).

Dia menjelaskan, syarat tersebut mengharuskan buah sawit yang dihasilkan harus berasal dari lahan sah dan ditanam di lahan yang telah menjadi kebun sawit sebelum Desember 2020, sesuai cut-off date dari kebijakan EUDR.

Selain itu, menurut dia, produksi juga harus mampu dibuktikan ketertelusurannya bahwa sawit yang diekspor ke Uni Eropa merupakan sawit yang ditanam berasal dari lahan, bukan hasil dari penggundulan hutan sejak Desember 2020.

Untuk itu, Rizal mengatakan, dilakukannya joint mission atau misi bersama antara Indonesia dan Malaysia ke Brussels yang dilakukan pada 30-31 Mei untuk bertemu sejumlah pengambil keputusan, yaitu komisioner dan anggota parlemen.

Pertemuan dilakukan untuk menyampaikan sejumlah hal yang dihadapi oleh negara penghasil kelapa sawit, termasuk di dalamnya adalah petani kecil yang bisa mempunyai potensi tidak dapat masuk dalam mata rantai sawit yang diekspor ke Eropa.

“Ini karena persyaratan-persyaratan ada masalah legalitas, cut-off date, dan traceability. Ini hal-hal yang diatur dalam EUDR,” ucap Rizal.

Rizal menambahkan, Indonesia memiliki total luasan lahan petani sawit sebesar 6,9 juta hektare dan membutuhkan program peremajaan sawit rakyat, “Dibutuhkan implementasi replanting sekitar 310 ribu hektare per tahun,” kata Rizal.

Rizal menilai hal tersebut menjadi tantangan bersama untuk merealisasikannya. Meskipun PSR terbukti mampu meningkatkan penghasilan petani, semua pihak perlu tetap bekerja keras untuk meningkatkan implementasi dan pencapaian PSR.

“Dari sekitar 6,9 juta hektare kebun sawit rakyat di Indonesia, setidaknya terdapat 2,8 juta hektare luasan sawit rakyat yang potensial untuk diremajakan,” ujar Rizal.

photo
Kinerja Industri Sawit - (Republika)

Hingga 2022, luas penanaman program PSR baru mencapai 273 ribu hektare. Angka tersebut baru mencapai 10 persen untuk 120.168 perkebunan dengan dana yang telah dialokasikan Rp 7,5 triliun yang tersebar di 21 provinsi. Dia menegaskan, dalam waktu kurang dari dua tahun ke depan, Indonesia harus bekerja keras dalam mencapai target PSR tersebut.

“Ini sebagai bagian dari upaya untuk meremajakan tanaman sawit di Tanah Air dan terus menjaga dan meningkatkan kesejahteraan dari petani kecil,” ujar Rizal.

Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) sebagai dewan negara-negara penghasil kelapa sawit mencatat, dengan berpedoman kepada umur tanaman kelapa sawit 25 tahun, dibutuhkan laju replanting atau PSR sebesar 4-5 persen per tahun dari total lahan yang ditanami kelapa sawit. Rizal menyampaikan, hal itu untuk menjaga hasil panen yang optimal.

Dia menegaskan, PSR merupakan program pemerintah dalam rangka meningkatkan produktivitas hasil kebun petani kecil. “Yang pada gilirannya nanti diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup para petani,” tutur Rizal.

Mengenai penerapan EUDR, Direktur PPH Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian Prayudi Syamsuri mengungkapkan, persyaratan yang ditetapkan Uni Eropa menjadi tantangan bagi negara yang mengirim komoditas sawit ke Uni Eropa.

Prayudi menjelaskan, posisi kebijakan EUDR saat ini telah disahkan Dewan Eropa pada 16 Mei 2023. Aturan itu oleh parlemen Eropa sudah disahkan sejak 19 April 2023 dan akan mulai berlaku pada Juni 2003.

Dalam masa transisi, Prayudi mengatakan masih ada yang perlu diperhatikan. "Yang pertama dalam implementasinya untuk operator itu diberikan waktu sampai 18 bulan ke depan setelah Juni 2023. Lalu, yang UMKM 24 bulan setelah EUDR mulai berlaku," ujar Prayudi.

Prayudi menjelaskan, kebijakan EUDR tersebut mengatur kegiatan ekonomi atau bisnis yang dilakukan oleh operator dan UMKM di wilayah Eropa. Hanya saja, ada pengecualian, yaitu komoditas tersebut bebas deforestasi.

Lalu, pengecualian kedua adalah telah produksi dengan ketentuan deforestasi nasional negara produksi, yaitu dari segi legalitasnya. Adapun pengecualian ketiga adalah hal yang terkait dengan uji tuntas.

"Tiga tantangan ini kami menurut kami bisa kita jawab dengan progres atau legalitas yang telah disiapkan," ucap Prayudi.

photo
Foto udara kendaraan melintas di areal perkebunan sawit milik salah satu perusahaan di Pangkalan Banteng, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Senin (7/11/2022). - (ANTARA FOTO/Makna Zaezar)

Di sisi lain, Prayudi menyebutkan, kebijakan EUDR tersebut memiliki beberapa konsekuensi yang bisa menimbulkan permasalahan di kemudian hari, khususnya apabila kebijakan tersebut diberlakukan pada delapan bulan ke depan atau 24 bulan ke depan. Menurut dia, kebijakan EUDR tersebut belum memiliki kerangka implementasinya secara detail.

"Oleh karena itu, bisa kita katakan ini masih dalam potensi-potensi yang bisa muncul bila nanti diturunkan dalam peraturan-peraturan yang lebih detail dari pemberlakuan EUDR ini," ungkap Prayudi.

Dia menuturkan, dalam implementasinya, kebijakan EUDR akan menetapkan standar risiko dari suatu negara atau dari suatu komoditasnya. Hal itu meliputi standar yang berdasarkan negara atau komoditas.

"Artinya bahwa kalau ini berdasarkan komoditas maka komoditas dari suatu negara tertentu yang akan menjadi perhatian masuk EU. Tapi, kalau ini berdasarkan negara, maka setiap komoditas jika komoditas kita masuk ke Eropa maka secara otomatis standarnya sama. Ini yang sebetulnya perlu kita diskusikan dengan pihak EU," tutur Prayudi.

Dia menuturkan, sistem tolok ukur tersebut memiliki risiko rendah, standar, dan tinggi. Dalam posisi tertentu, Prayudi menyebutkan, semua negara dalam posisi risiko standar. Dalam posisi standar, dilakukan penilaian bersifat independen dari Uni Eropa. Konsekuensinya, lanjut Prayudi, makin tinggi risiko maka persyaratan tersebut makin berat.

"Ini akan berpengaruh. Jadi, komunikasi kita penting bagaimana meyakinkan masyarakat di EU dan pemerintahnya, lalu kemudian eksportirnya atau pelaku usaha. Sehingga ini menjadi tantangan bagaimana posisi RI dalam posisi low risk," ujar Prayudi.

Sambangi Eropa, Indonesia-Malaysia Tegaskan Tolak Diskriminasi Sawit

Negara anggota CPOPC disebut sudah mengimplementasikan berbagai kebijakan di bidang konservasi hutan.

SELENGKAPNYA

Ternyata, Sawit Punya Peran Turunkan Emisi Karbon

Pemerintah terus meningkatkan penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar kendaraan bermotor.

SELENGKAPNYA

Ironi Sawit: Eropa yang Tanam, Eropa yang Larang

Industri sawit dan banyak komoditas sawit dipicu kolonialisme.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya