
Dunia Islam
Haji pada Masa Perang Dunia
Penyelenggaraan ibadah haji sempat terkendala, bahkan terhenti, akibat pecah Perang Dunia I.
Perang Dunia I pecah pada Juli 1914 M. Ketika itu, kawasan Asia barat (Timur Tengah) ikut terseret dalam palagan ini, antara lain, karena keterlibatan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Kerajaan Islam tersebut, yang wilayahnya mencakup Jazirah Arab, bergabung dalam kubu Poros (Axis).
Bagaimanapun, Turki Utsmaniyah pun mengalami keropos di sisi internalnya. Berbagai provinsi, bahkan jauh sebelum pecahnya PD I, telah dihinggapi ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat yang berkedudukan di Konstantinopel (Istanbul). Termasuk di antaranya adalah Hijaz. Perang akbar itu membuka peluang bagi petinggi Tanah Arab untuk membebaskan diri dari kendali Konstantinopel.
Seperti dijelaskan dalam buku Naik Haji di Masa Silam, gejolak politik yang muncul pada masa itu menyebabkan kesukaran pada penyelenggaraan ibadah haji. Bahkan, sempat terjadi keterputusan arus jamaah haji, utamanya yang datang dari negeri-negeri luar Jazirah Arab. Pada 1915, misalnya, untuk pertama kalinya tidak ada jamaah haji dari Hindia Belanda (Indonesia), setidaknya menurut data statistik.
Sebab, kapal-kapal dari Nusantara tidak bisa berlayar secara bebas. Lebih-lebih, pemerintah Belanda pun memberlakukan larangan naik haji pada 1915.
Orientalis yang juga pernah bertugas di Konsul Belanda di Jeddah, Snouck Hurgronje mencatat, aturan tersebut tidak hanya berimbas pada calon jamaah, tetapi juga mukimin, yakni orang-orang warga Hindia Belanda yang bekerja atau belajar di Hijaz. Mereka sempat menyuarakan protes walaupun tidak didengar Batavia (Jakarta).
Campur tangan Sekutu
Sementara Turki Utsmaniyah terjun dalam PD I, blok lawannya diisi Sekutu, yang terdiri atas negara-negara Barat—termasuk Britania Raya. Berkat kerja mata-matanya, TE Lawrence alias Lawrence of Arabia, Inggris dapat menjalin komunikasi dengan gerakan-gerakan anti-Utsmaniyah di Jazirah Arab. Namun, antargerakan itu tidak selalu padu, bahkan cenderung bertentangan satu sama lain.
Sejak 1908, Husain bin Ali (wafat 1931) menjabat sebagai syarif Makkah dengan sokongan Inggris. Kira-kira dua tahun sejak pecahnya PD I, lelaki keturunan Ahlu Bait itu memimpin pemberontakan Arab terhadap pemerintahan Utsmaniyah. Di Makkah, sendi-sendi kekuatan militer Turki dapat dipadamkan, tetapi tidak demikian halnya dengan di Madinah.
Setelah itu, syarif Makkah ini mendeklarasikan dirinya sebagai “raja seluruh bangsa Arab.” Namun, ia tidak diakui oleh pihak Sekutu, utamanya Inggris dan Prancis. Alhasil, Husain bin Ali hanya menyebut dirinya “raja Hijaz” dan menjadikan Makkah sebagai basis pergerakannya pada Oktober 1916.
Sementara itu, alih-alih mendukung syarif Makkah, Inggris bermain mata dengan kekuatan Arab anti-Utsmaniyah lainnya. Mereka berkedudukan di Arab tengah dan dipimpin Abdul Aziz bin Saud. London percaya, Ibnu Saud mampu membangkitkan seluruh tanah Arab agar melawan Turki, yakni saingan Sekutu dalam PD I.

Situasi menjadi kian rumit. Bukan hanya jalannya PD I yang memperhadapkan kekuatan-kekuatan Eropa, tetapi juga dalam negeri Arab dilanda konflik politik—yang kadang kala mewujud konflik terbuka. Akibatnya dirasakan pula oleh mereka yang hendak berhaji.
Para agen haji di Jeddah maupun dua kota suci cenderung memandang momen ini sebagai kesempatan meraup untung sebanyak-banyaknya. Laporan tentang pemerasan terhadap jamaah pun melonjak.
Para pemuka Islam di Hindia Belanda kian lantang mempertanyakan upaya-upaya perbaikan penyelenggaraan haji. Kesukaran tidak hanya disebabkan para agen haji, melainkan juga administrasi Hijaz dan maskapai-maskapai perkapalan Eropa. Bahkan, seperti dikutip Laffan (2003), pada Januari 1923 dalam harian Bintang Hindia, dinyatakan bahwa “naik haji tidak wajib dilakukan dalam kondisi separah itu.”
Pada akhir PD I, blok Poros menderita kekalahan. Babak belurnya Turki dalam perang itu tentu menguntungkan gerakan-gerakan nasionalisme Arab. Syarif Husain kembali mendeklarasikan dirinya sebagai raja pada Maret 1920. Kali ini, beberapa negeri Barat—termasuk Belanda—mengakui klaimnya itu.
Namun, situasi cepat berubah. Pada Maret 1924, Kekhalifahan Turki Utsmaniyah secara resmi berakhir. Beberapa hari kemudian, Syarif Husain memproklamasikan diri sebagai khalifah, tetapi reaksi negeri-negeri Muslim terhadapnya dingin saja.

Yang terjadi kemudian adalah konflik terbuka antara sang syarif dan kelompok Ibnu Saud pada September 1924. Sekira sebulan kemudian, jelaslah bahwa Husain bin Ali kalah. Ia pun mengungsi ke Akaba, dan kemudian Siprus. Dalam waktu yang relatif singkat, seluruh Hijaz berada dalam kendali Ibnu Saud.
Abdul Aziz bin Saud mengumumkan diri sebagai raja Hijaz pada 8 Januari 1926. Kerajaan baru ini seketika diakui Inggris, Prancis, dan Belanda. Kira-kira setahun kemudian, Nejd bergabung dengan kerajaan tersebut. Akhirnya, pada 1932 berdirilah Kerajaan Arab Saudi.
Kecaman untuk Kaum LGBT
Tanqih al-Qaul karya Syekh Nawawi al-Bantani cukup populer di pesantren-pesantren.
SELENGKAPNYAKemapanan Tasawuf di Tangan al-Ghazali
Berkat Imam Ghazali, tasawuf sebagai ilmu menjadi kian kukuh dan diterima luas Muslimin.
SELENGKAPNYALebih Dekat dengan Sang Pelopor Tasawuf
Al-Muhasibi disebut sebagai sang pelopor ilmu tasawuf.
SELENGKAPNYA