
Mujadid
Lebih Dekat dengan Sang Pelopor Tasawuf
Al-Muhasibi disebut sebagai sang pelopor ilmu tasawuf.
Di dunia Islam, tasawuf merupakan salah satu jalan bagi seorang Muslim untuk lebih mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah (ma’rifatullah). Orang yang melakukannya dinamakan sebagai sufi.
Secara kebahasaan, kata tasawuf atau sufi berasal dari shaff, yang berarti ‘saf’, ‘deret’, atau ‘baris.’ Sebab, para pelaku tasawuf dikatakan selalu berada pada saf pertama dalam shalat berjamaah. Ada pula yang mengatakan, istilah tersebut berakar dari kata shafa yang bermakna ‘bersih’ karena hati mereka yang selalu berisi harapan dan kerinduan terhadap Allah SWT.
Dalam perspektif historis, tasawuf dan sufi juga kerap dikaitkan dengan ahl ash-shuffah, yaitu para sahabat Nabi Muhammad SAW yang tinggal di bagian serambi Masjid Nabawi.
Kala itu, mereka menetap di sana lantaran berbagai faktor, semisal tidak memiliki hunian yang tetap atau semata-mata berkeinginan terus mengaji di masjid. Di antara sifat-sifat penghuni ash-shuffah adalah selalu hidup sederhana dan tawaduk.
Bahkan, ada pula yang menyatakan, sufi berasal dari kata shuf, yakni berarti ‘bulu domba.’ Sebab, orang-orang yang menerapkan tasawuf dalam keseharian sering mengenakan pakaian dari bahan tersebut. Mereka suka menutup auratnya dengan kain wol yang kasar. Secara simbolis, hal itu melambangkan lepasnya kecenderungan yang bersangkutan pada cinta berlebihan terhadap dunia.
Hingga ujung abad pertama Hijriyah, perkembangan ilmu tasawuf belum begitu pesat. Barulah pada paruh kedua abad selanjutnya, muncul tokoh-tokoh yang mengkaji bidang ini secara mendalam.
Abu Abdillah al-Harits bin Asad al-Muhasibi al-Bashri merupakan seorang ahli tasawuf kelahiran Bashrah, Irak, tahun 165 H. Bersama para sufi abad kedua ini, ia berandil besar dalam meletakkan fondasi tasawuf Islam.
Berbeda dengan para alim sufi sejawatnya, semisal Sirri al-Saqathi, al-Muhasibi menulis banyak buku. Secara umum, buku-buku tasawuf karyanya berisi perenungan dan refleksi diri yang didasarkan pada Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Karena itu, putra seorang ulama Mu’tazilah ini disebut-sebut sebagai pelopor ilmu tasawuf. Ia mendapat julukan al-Muhasibi lantaran senang melakukan muhasabah. Tokoh tersebut meninggal dunia di Badhdad pada 234 H/857 M.
Semasa hidupnya, al-Muhasibi mencoba merumuskan dan menawarkan dimensi moral dalam Islam, seperti kezuhudan, untuk disetarakan sebagai sebuah pengetahuan yang utuh dan sistematis. Dengan perkataan lain, ia ingin tasawuf diperlakukan seperti halnya ilmu fikih atau ilmu hadis yang sudah lebih dahulu terbentuk. Paradigma yang ditawarkannya tertuang dalam pelbagai karyanya yang hingga kini turut memengaruhi studi tentang tasawuf.
Semangat rasional yang dimiliki al-Muhasibi mendorongnya untuk melahirkan banyak gagasan mengenai ilmu tasawuf. Gagasannya tersebut dia tuangkan dalam beberapa karyanya, seperti Al-Wasaya dan Al-Ri'ayah lil Huquq Allah. Demikian pula dengan kitab-kitab Mahiyat al-Aql, Fahm Alquran, dan Ma'anihi.
Karya-karya tersebut merupakan prestasi besar al-Muhasibi yang sulit ditandingi karena ia hidup di era awal yang sangat jarang munculnya karya ilmiah. Di saat orang-orang masih berpikir tekstual terhadap agama, al-Muhasibi sudah melangkah jauh dan berpikir ke depan.
Al-Muhasibi adalah sosok yang cerdas dan cerdik. Dia membungkus ilmu kalam, filsafat dan tasawuf dengan simbol-simbol fikih. Dia kerap menggunakan terma-terma hukum fikih untuk menjelaskan persoalan teologis, filosofis, dan spiritualitas. Berangkat dari fikih, dirinya kemudian bergerak maju ke ranah filsafat dan menjadikan tasawuf sebagai tujuannya.
Tasawuf al-Muhasibi disebut sebagai tasawuf Sunni dan sesuai dengan Alquran dan Hadis. Dia mendapat label kesesuaian dengan Alquran dan hadis karena mampu membangun tasawuf berdasarkan norma-norma agama Islam. Selain itu, penyebabnya juga lantaran dirinya mampu mengakomodasi kepentingan para pakar fikih.
Setelah al-Muhasibi, upaya untuk menyejajarkan tasawuf dan ilmu keislaman lainnya dilakukan oleh Abu Nasr al-Sarraj. Dialah orang pertama yang dengan tegas mengatakan, tasawuf merupakan bagian dari Islam. Tidak ada kesesatan dalam tasawuf.
Al-Sarraj menyatakan, apabila ada seseorang mempunyai persoalan yang terkait dengan landasan, hakikat, dan hukum, selayaknya orang itu bertanya kepada ulama yang ahli di bidangnya, misalnya ulama ahli hadis, fikih, dan tasawuf.
Corak keilmuan yang ditangkap oleh al- Muhasibi kemudian juga menjadi petunjuk bagi Imam al-Ghazali ketika menyusun Ihya Ulumuddin. Dalam kitabnya itu, sang Hujjatul Islam menyebutkan hablum minallah dan hablum minannas sebagai ajaran pokok dalam tasawuf.
Jamaah Haji Kota Bandung Diberangkatkan dari Mapolda Jabar
Sebagian besar jamaah haji asal Kota Bandung ini merupakan jamaah lansia.
SELENGKAPNYA