Opini--Belajar Keabadian Dari Negeri Samurai | Republika/Daan Yahya

Opini

Belajar Keabadian dari Negeri Samurai

Pelajaran dari Negeri Samurai, sejatinya manusialah yang membentuk diri dan lingkungannya.

DEDY SETYO AFRIANTO; Mahasiswa Doktoral Bisnis dan Manajemen IPB University (DMB 18), Direktur Pendidikan di Nurul Fikri Boarding School Bogor

Nathan Algren, seorang konsultan perang dari Amerika Serikat yang disewa untuk memerangi Samurai itu akhirnya jatuh hati pada kebiasaan hebat para musuhnya. Setelah kekalahannya memimpin pasukan bersenjata pada satu episode pertempuran, dia ditahan oleh para Samurai.

Dalam masa penahanannya selama berminggu-minggu itulah, Nathan mengenal betul apa arti kesetiaan, disiplin diri, respek terhadap orang lain walaupun itu musuhnya, dan tetap diperlakukan dengan sangat baik dalam masa penahanannya.

Nathan memahami bahwa disiplin Samurai ini tidak dibentuk dalam satu malam, tapi sudah teruji ratusan tahun. Ditempa dengan latihan rutin, pembiasaan, sehingga kepribadian Samurai kokoh berakar menjadi pribadi pejuang yang tangguh serta memiliki semangat juang yang tinggi.

 
Nathan memahami bahwa disiplin Samurai ini tidak dibentuk dalam satu malam, tapi sudah teruji ratusan tahun.
 
 

Lambat tapi pasti, karena kekagumannya ini Nathan menjadi pejuang terakhir yang malah membela Samurai yang semula adalah musuhnya. Singkat cerita, Nathan menjadi Samurai yang dihormati dan disegani.

Tokoh Nathan dalam film Last Samurai yang diproduksi pada 2003 ini merupakan sosok fiktif. Tom Cruise berhasil memerankan karakter Nathan dengan sangat baik. Tidak hanya memperoleh nominasi aktor terbaik oleh The Saturn Award, bahkan Last Samurai berhasil juga memenangkan penghargaan sebagai film terbaik oleh American Film Institute (AFI) pada 2004, juga masuk dalam banyak nominasi Oscar, serta puluhan penghargaan bergengsi lainnya.

Walaupun film dan tokohnya merupakan sosok fiktif, film ini mengajarkan sekaligus menggambarkan ketangguhan jiwa ksatria Samurai yang diwarisi masyarakat Jepang hingga abad ini. Perkembangan teknologi dan peradaban yang ada merupakan penyelarasan antara kemajuan bangsa dan pemeliharaan budaya yang masih terjaga dengan sangat baik.

Bagi masyarakat Jepang, sejatinya tradisi bukanlah penghambat untuk mencapai modernisasinya. Justru tradisi menjadi “spirit” yang kokoh untuk membawa negaranya menjadi tangguh dan kuat dalam menghadapi persaingan dalam globalisasi serta tetap memelihara akar budayanya untuk tetap bertahan.

 
Bagi masyarakat Jepang, sejatinya tradisi bukanlah penghambat untuk mencapai modernisasinya.
 
 

Etika bushidou

Bangsa Jepang ini memiliki semangat bushidou. Secara sederhana, bushidou ini merupakan jalan terhormat yang harus ditempuh Samurai dalam pengabdiannya. Etika bushidou ini mengandung juga ajaran-ajaran moral yang tinggi terkait dengan tata krama, sopan santun, rela berkorban, kerja keras, disiplin, kejujuran, cinta kebersihan dan pengendalian diri.

Dalam beberapa generasi dan turun-temurun selama ratusan tahun, etika bushidou ini sudah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Jepang. Yang melekat tidak hanya sebagai identitas, tapi juga value yang menempati posisi luhur.

Tidak heran, selama hajatan Piala Dunia di Qatar yang lalu, para suporter Jepang selalu menjadi pusat perhatian karena kepeduliannya terhadap kebersihan stadion yang mereka datangi selesai bertanding.

Mereka rela bertahan beberapa jam untuk bebersih stadion terlebih dahulu, sebelum meninggalkan tempat mereka. Suporter Jepang sudah menjadi “pemenang” hati masyarakat dunia, bahkan ketika hajatan Piala Dunia belum selesai dilakukan.

Bushidou dan industri

Dalam perkembangannya, menurut Titiek Suliyati pada tulisan “Bushidou Pada Masyarakat Jepang: Masa Lalu dan Masa Kini”, para Samurai setelah era Meiji, banyak di antara mereka yang berubah peran sebagai industrialis.

Beberapa perusahaan besar bahkan dipimpin oleh keturunan para Samurai sehingga etika bushidou juga tertanam kuat. Para industrialis menerapkan sistem manajemen dengan landasan etika bushidou sebagai filosofi penting untuk mengelola budaya perusahaan mereka.

Di dalam negerinya sendiri, banyak perusahaan multinasional yang tumbuh dan berakar memiliki pengaruh kuat hingga ke seluruh dunia. Sebut saja dalam industri otomotif ada Toyota, Suzuki, Mitsubishi dan berbagai merek besar lainnya.

 
Para industrialis menerapkan sistem manajemen dengan landasan etika bushidou sebagai filosofi penting untuk mengelola budaya perusahaan mereka.
 
 

Yamaha juga merupakan salah satu perusahaan besar yang memiliki bisnis dalam industri otomotif dan juga alat musik ternama.

Internalisasi sikap bushidou pada produsen industri raksasa Jepang, menunjukkan pula bahwa dalam setiap aktivitasnya akan membawa pada kemampuan terbaik yang pada akhirnya akan menciptakan produk terbaik yang berumur panjang.

Juliusz Piwowarski dkk dalam artikelnya yang berjudul "The Basis of Security Management by Bushido Concept as a Premise of Toyota Way” terbit pada 2015 menyebutkan bahwa Toyota pada dasarnya dibangun dengan prinsip-prinsip bushidou dengan kaizen (perbaikan berkelanjutan) sebagai spiritnya.

Kaizen sendiri memiliki lima pilar yang disebut seiri (menyingkirkan yang tidak perlu), seiton (sistematis), seiso (bersih), seiketsu (standarisasi kuat), dan shitsuke (kontrol).

Penggunaan fasilitas produksi yang beroperasi dengan sistem untuk mendeteksi kesalahan, telah menjadi bagian strategis dari sistem produksi industri mobil, yang merupakan perjuangan “Samurai non-militer” modern demi kualitas keberadaan manusia yang lebih baik.

Kesungguhan Jepang dalam dunia industri dibuktikan dengan munculnya perusahaan-perusahaan besar mereka dalam rangking “Fortune Global 500” tahun 2022. Tidak tanggung-tanggung, tiga perusahaan mereka masuk peringkat 15 terbaik dunia. Bahkan satu di antaranya masuk pada peringkat kedua terbaik dunia.

Mengubah kebiasaan menjadi karakter dan budaya

Peran bushidou dalam diri masyarakat Jepang sejatinya tidak bisa dilepaskan dari peran struktural era Kamakura dari abad ke-12 hingga hari ini. Melembaganya disiplin diri yang awalnya digulirkan pemerintah, setelah ratusan tahun berjalan mewujud dalam diri warganya.

Namun tentang pembiasaan ini bukan tidak mungkin, hal ini bisa kita pelajari dan adaptasi dalam diri masyarakat kita.

James Clear dalam bukunya The Atomic Habit menjelaskan bahwa sesungguhnya karakter manusia itu merupakan akumulasi keputusan kecil yang membentuk dirinya hingga mendewasa dan menetap. Jika alarm pagi hari jam 4 membangunkan kita, maka keputusan kita harus diambil, apakah kita akan tetap tidur atau bangun.

Selanjutnya setelah bangun, kita dihadapkan pada pertanyaan apakah kita akan bermalas-malasan atau olahraga, keputusan kedua harus diambil. Kemudian kita dihadapkan pada keputusan berikutnya, apakah jalan cepat atau bersantai ke tempat kerja.

Di hari yang sama saja, mungkin bisa ratusan keputusan yang harus diambil. Hal inilah yang terakumulasi puluhan tahun dan membentuk “pribadi” kita hingga saat ini.

Salah satu teori paling terkenal berasal dari buku Maxwell Maltz Cybernetics Psychology. Sebuah buku yang diterbitkan pada 1960 mengatakan, pasien Maltz membutuhkan waktu 21 hari untuk terbiasa dengan wajah barunya setelah menjalani operasi plastik.

Namun, sebuah studi tahun 2009 terhadap 96 orang menemukan bahwa membentuk kebiasaan baru tidak harus memakan waktu 21 hari. Sebaliknya, para peneliti menemukan bahwa durasinya bervariasi, dari 18 hingga 254 hari, bergantung pada individu, meskipun rata-rata memakan waktu 66 hari.

 
Jika kebiasaan ini sudah menetap, maka akan terbentuklah karakter yang melekat yang tidak bisa dipisahkan dalam dirinya. Karakter inilah yang akan “mendrive” manusia menjadi dirinya, dan menjadi ciri khasnya.
 
 

Hal yang sama dapat dikatakan tentang mencoba menghilangkan kebiasaan. Kepribadian, motivasi, lingkungan, dan kondisi serta jenis kebiasaan yang ingin diubah, juga memengaruhi seberapa cepat seseorang mengubah kebiasaan.

Jika kebiasaan ini sudah menetap, maka akan terbentuklah karakter yang melekat yang tidak bisa dipisahkan dalam dirinya. Karakter inilah yang akan “mendrive” manusia menjadi dirinya, dan menjadi ciri khasnya.

Pada akhirnya, budaya akan terbentuk dari proses asimilasi dan akulturasi yang berjalan sangat lama, dan disepakati oleh komunitas tertentu. Proses ini berjalan karena adanya interaksi antar manusia satu sama lain. Budaya yang sudah terbentuk ini akan “mengabadi” dan beradaptasi seiring dengan perjalanan ruang dan waktu.

Semoga pelajaran dari Negeri Samurai ini berhasil memberikan inspirasi bahwa sejatinya manusialah yang membentuk diri dan lingkungannya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kisah Hijrah Eks LGBT, Berjuang Kembali ke Fitrah

Karim juga memutus seluruh komunikasinya dengan teman-temannya sesama gay.

SELENGKAPNYA

Menembus Hujan dan Petir demi Berjamaah di Masjid Nabawi

Pentingnya memperhatikan kondisi dan kesehatan diri selama pelaksanaan ibadah haji.

SELENGKAPNYA

Menjadi Tamu Allah dan Haji Mabrur

Ada perubahan diri menuju yang lebih baik bagi mereka yang mendapat predikat haji mabrur.

SELENGKAPNYA