Oeang Republik Indonesia | DOK Kemenkeu RI

Mujadid

Gunting Syafruddin: Ketika Uang ‘Dibelah Dua’

Kebijakan ini diambil ketika Syafruddin Prawiranegara menjadi menkeu di era Kabinet Hatta II.

Peran Mr Syafruddin Prawiranegara (ejaan lama: Sjafruddin Prawiranegara) dalam sejarah perekomonian Indonesia tidak hanya mengenai penerbitan Oeang Republik Indonesia (ORI).

Berbagai kebijakan yang diambilnya sebagai seorang pejabat juga dikenang luas. Salah satunya adalah langkah yang populer diistilahkan “Gunting Syafruddin.”

Ini adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara selaku menteri keuangan RI dalam Kabinet Hatta II. Keputusan itu mulai berlaku pada pukul 20.00 WIB malam tanggal 10 Maret 1950.

Kebijakan itu menyasar dua hal. Pertama, “uang merah” yakni uang yang dikeluarkan NICA—entitas bentukan Belanda yang hendak menjajah lagi RI pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945.

Kedua, uang yang dikeluarkan De Javasche Bank, cikal bakal Bank Indonesia. Menurut aturan “Gunting Syafruddin”, “uang merah” dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua.

 

 
“Uang merah” dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua.
   

 

Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula hingga tanggal 9 Agustus 1950 pukul 18.00 WIB. Dan, mulai tanggal 22 Maret sampai 16 April 1950, bagian kiri tersebut harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk resmi oleh pemerintah.

Apabila lewat dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Sementara itu, guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula. Obligasi itu akan dibayar pemerintah RI pada 40 tahun kemudian dengan bunga sebesar tiga persen setahun.

“Gunting Sjafruddin” juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan. Demikian pula halnya dengan uang ORI.

 

 
RI ketika itu menerapkan kebijakan tersebut demi mengatasi kemelut situasi ekonomi.
   

 

Pemerintah RI ketika itu menerapkan kebijakan tersebut demi mengatasi kemelut situasi ekonomi Indonesia. Negara sedang terpuruk lantaran banyak masalah; mulai dari utang yang menumpuk, inflasi yang melesat tinggi, hingga harga-harga kebutuhan pokok rakyat yang melambung.

“Gunting Syafruddin” merupakan kebijakan yang cukup kontroversial. Dengan itu, Kementerian Keuangan RI bermaksud sekali pukul menembak beberapa sasaran.

Diharapkan, ia dapat mewujudkan penggantian mata uang yang bermacam-macam dan, semuanya secara serentak, beredar di Indonesia. Pak Syaf hendak mengganti itu semua dengan mata uang baru.

Pada saat yang sama, “Gunting Syafruddin” diharap mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi. Imbasnya, berpotensi menurunkan harga barang-barang. Di samping itu, mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 miliar.

photo
Sjafruddin Prawiranegara. Tokoh dari Masyumi ini pernah mengusulkan escape clause UUDS 1950. - (DOK WIKIPEDIA)

Keteladanan

Patut pula diceritakan di sini keteladanan tokoh-tokoh dalam keadaaan sukar itu. Selaku perdana menteri, Mohammad Hatta tentu saja sangat mengetahui kebijakan “Gunting Syafruddin”, bahkan sejak masih rencana di atas kertas. Imbas kebijakan itu pun jelas: merosotnya nilai uang.

Sebenarnya, Bung Hatta sangat mampu untuk memberitahukan kepada istri dan keluarganya sebelum “Gunting Syafruddin” diumumkan. Bila demikian, tentu mereka dapat berantisipasi sehingga terhindar dari dampak yang tak diinginkan.

Bagaimanapun, Bung Hatta adalah sosok yang lurus. Standar moralnya tinggi. Tidak mau membocorkan rahasia negara hanya untuk kepentingan diri dan keluarga. Maka pada hari H pengumuman “Gunting Syafruddin”, Rahmi terkejut bukan kepalang.

Istri Bung Hatta itu lalu protes kepada sang suami. Sebab, uang tabungan yang telah dikumpulkannya sejak lama menjadi tidak cukup lagi untuk membeli mesin jahit idaman.

 

 
Bu, itu kan rahasia negara... Kalau Bapak kasih tahu Ibu, namanya bukan rahasia lagi.
   

 

“Bu, itu kan rahasia negara... Kalau Bapak kasih tahu Ibu, namanya bukan rahasia lagi,” ujar Bung Hatta menenangkan sang istri, seperti dikutip dari buku biografinya. 

Keluarga Syafruddin Prawiranegara juga mengalami “nasib” yang sama. Istri menteri keuangan RI itu terkejut karena Pak Syaf tidak pernah mengisyaratkan, apalagi memberi tahu, perihal kebijakan “gunting uang” itu. Dengan tenang, tokoh kunci dalam peristiwa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) itu berkata kepada istrinya, “Masa hanya rakyat yang kena?”

Pak Syaf mafhum, apabila dirinya membocorkan rencana kebijakan Kemenkeu itu, sang istri akan segera menghabiskan banyak uang untuk membeli barang-barang. Sebab, tidak mau memegang atau menyimpan uang yang nilainya akan merosot. Syafruddin Prawiranegara maupun Bung Hatta teguh berprinsip, kepentingan rakyat selalu menjadi prioritas utama.

photo
Mohammad Hatta - (DOK wikipedia)

Sikap berkeadilan (fair) juga ditunjukkan Pak Syaf ketika menjabat gubernur BI pertama. Waktu itu, masa transisi institusional terjadi: De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia.

Gubernur De Javasche Bank yang terakhir sebenarnya tidak masalah bila terus memimpin bank tersebut. Namun, orang Belanda bernama Dr A Houwink itu merasa, pemerintah RI kurang memercayainya. Sosok yang juga akrab dengan Syafruddin Prawiranegara itu pun memilih mundur.
Sebenarnya, Pak Syaf sempat menolak, tetapi akhirnya menerima penunjukan oleh pemerintah RI. Jadilah ia gubernur pertama BI.

Syafruddin berpendapat, kebijakan nasionalisasi seharusnya melalui langkah-langkah yang tidak membuat kalangan teknokrat Belanda merasa terusir. Oleh karena itu, ia cenderung pada kebijakan yang fair, yakni menguatkan kapabilitas teknokrat dan orang Indonesia pada umumnya melalui pendidikan dan pelatihan, termasuk yang diadakan orang-orang ahli moneter berkebangsaan Belanda.

Dengan begitu, ada kesempatan untuk kerja sama yang saling menguntungkan antara Indonesia dan Belanda sebagai dua negara berdaulat. Barulah ketika siap, lembaga-lembaga strategis peninggalan rezim kolonial dikelola sepenuhnya oleh orang-orang Indonesia.

Prinsip itu diutarakannya karena sejak awal Syafruddin memandang Belanda dari dua sisi, yakni sebagai entitas negara dan bangsa.

 
Saya merasa sudah berjuang, bukan melawan orang Belanda, tetapi rezim mereka. Saya tidak membenci mereka---saya tidak pernah membenci siapa pun. Itu bertentangan dengan prinsip-prinsip agama saya.
Orang Belanda di Negeri Belanda adalah orang-orang yang sangat sopan. Hanya, kalau berada di Indonesia dan memiliki kekuasaan untuk menindas rakyat, mereka berubah menjadi barbar.
Syafruddin Prawiranegara
 

 

Peran Syafruddin Prawiranegara di Lanskap Ekonomi Indonesia

Syafruddin Prawiranegara adalah menteri keuangan dan gubernur Bank Indonesia pertama.

SELENGKAPNYA

Ragam Karya Jalaluddin Rumi

Cinta Illahiah merupakan inti pesan karya-karya Jalaluddin Rumi.

SELENGKAPNYA

Jalan Cinta dan Sastra Rumi

Kepergian sang guru, Syamsi Tabrizi, sempat membuat Jalaluddin Rumi gundah dan bersedih.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya